- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Langkah Terakhir di Jalan Kenanga


TS
yantosau
Langkah Terakhir di Jalan Kenanga

Malam baru saja turun di kota kecil bernama Sindang Rasa. Udara lembap dan sejuk menyelimuti jalanan yang lengang. Di tengah kota, terdapat jalan kecil bernama Jalan Kenanga. Orang-orang jarang melintasi jalan itu, bukan karena sempit atau rusak, tapi karena jalan itu menyimpan kisah yang tak pernah selesai.
Adalah Nara, seorang mahasiswi jurusan arkeologi, yang baru saja pindah ke kota ini demi menyelesaikan skripsi tentang sejarah kolonial yang terkubur di kota kecil seperti Sindang Rasa. Ia menyewa kamar kos di rumah tua milik seorang nenek bernama Bu Rukmini, yang letaknya tepat di ujung Jalan Kenanga.
“Kalau malam jangan keluar ke Jalan Kenanga ya, Nak,” kata Bu Rukmini suatu malam saat menyajikan teh manis.
“Kenapa, Bu? Jalan itu kan dekat, tenang, dan sepi,” tanya Nara penasaran.
“Karena ada yang belum selesai di sana…”
Kalimat itu menggantung, dan Bu Rukmini tak mau melanjutkan. Tapi rasa penasaran Nara tak pernah bisa padam hanya dengan satu peringatan. Keesokan malamnya, Nara keluar membawa kamera dan catatan, berjalan menyusuri Jalan Kenanga seorang diri.
Langkahnya pelan. Lampu jalan temaram, hanya menyala setiap tiga tiang. Ia melihat rumah-rumah tua berjendela kayu, sebagian tertutup rapat, sebagian terlihat seperti tak berpenghuni. Di tengah jalan, ia melihat sesuatu yang aneh: sebuah bangku taman tua yang selalu bersih, padahal tak ada orang yang merawatnya.
Nara duduk di bangku itu. Angin malam mulai berhembus. Ia mengeluarkan catatan dan menulis deskripsi suasana. Tapi belum sempat selesai, terdengar suara langkah dari ujung jalan. Perlahan, ritmis, dan sangat ringan. Nara menoleh, namun tak ada siapa pun.
“Siapa di sana?” serunya.
Tak ada jawaban.
Langkah itu terus mendekat. Tapi bayangan siapa pun tak muncul.
Tiba-tiba, udara menjadi dingin. Sangat dingin.
Bangku di sebelahnya seperti tertekan. Seolah ada yang duduk di situ. Nara membeku. Ia memalingkan kepala dengan sangat pelan. Di sisi kanannya, samar, ada sosok perempuan berambut panjang mengenakan kebaya putih duduk dengan kepala menunduk. Wajahnya tak terlihat, tapi tangan pucatnya menggenggam erat sebuah surat tua yang terlipat.
Perempuan itu mulai berbisik. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi kata-katanya menggores dalam.
“Surat ini... belum pernah sampai.”
Nara ingin lari, tapi tubuhnya kaku. Sosok itu lalu berdiri dan berjalan menuju rumah tua di ujung jalan, lalu menghilang. Setelah detik-detik menegangkan itu, tubuh Nara bisa bergerak. Ia berlari kembali ke kosan, napasnya tersengal, wajahnya pucat pasi.
Keesokan harinya, Nara menceritakan semua kepada Bu Rukmini. Sang nenek menghela napas berat, lalu mengambil kotak kayu dari lemari.
“Dua puluh tahun lalu, ada gadis bernama Kenanga. Ia tinggal di rumah ujung jalan itu. Ia jatuh cinta pada tentara Belanda yang ingin kabur dari pertempuran. Tapi surat perpisahan yang ia tulis tak pernah sampai. Ia bunuh diri di bangku itu.”
Nara membuka kotak kayu itu. Di dalamnya, tersimpan surat tua… dengan tulisan tangan halus:
*"Kepada kamu yang kucinta, aku maafkan segalanya. Tapi aku tak bisa hidup tanpa menjelaskan ini. Jika kamu baca surat ini, mungkin aku sudah tak ada. Tapi cintaku… akan tetap tinggal di bangku itu."*
Tangan Nara gemetar. Surat itu… sama persis seperti yang digenggam sosok semalam.
Sejak malam itu, Nara tak pernah lagi melewati Jalan Kenanga. Tapi ia menuliskan kisah itu dalam skripsinya, dan menjadi bahan penelitian yang ramai dibicarakan. Tapi tak ada yang tahu satu hal:
Setiap malam, bangku tua itu tetap bersih, seakan dijaga seseorang yang tak pernah pergi. Dan sesekali, seseorang melihat bayangan perempuan duduk, menunggu… mungkin surat itu belum juga sampai.
---




riodgarp dan intanasara memberi reputasi
2
49
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan