Kaskus

Regional

whyabd08Avatar border
TS
whyabd08
KRISIS LINGKUNGAN BUKAN HANYA SAMPAH: AKTIVIS JANGAN HANYA NARSIS, INI KRISIS !!!
KRISIS LINGKUNGAN BUKAN HANYA SAMPAH: AKTIVIS JANGAN HANYA NARSIS, INI KRISIS !!!

Krisis lingkungan bukan lagi ancaman masa depan—ia sudah terjadi hari ini. Ketika suhu bumi meningkat, ekosistem terganggu, dan bencana alam menjadi lebih sering terjadi, kita sering menunjuk satu penyebab yang paling mudah terlihat: sampah. Namun, menyederhanakan krisis lingkungan hanya sebagai masalah sampah adalah bentuk pengaburan yang menyesatkan. Sampah memang penting, tetapi ia hanya bagian dari persoalan yang jauh lebih kompleks.

Dalam konteks global, para peneliti telah menekankan bahwa degradasi lingkungan melibatkan berbagai faktor mulai dari eksploitasi sumber daya alam, perubahan tata guna lahan, hingga pertumbuhan urban yang tak terkendali (Steffen et al., 2015). Di Indonesia sendiri, terutama di daerah pesisir dan pertanian, transformasi lahan secara masif menjadi salah satu penyebab utama kerusakan ekologis yang sering diabaikan.

Banjir di Tengah Hujan Ringan: Sinyal Krisis dari Hulu

Kita ambil contoh Kabupaten Sumenep. Dalam beberapa tahun terakhir, banjir kerap melanda daerah ini, bahkan saat curah hujan tidak terlalu tinggi. Salah satu warga Desa Patean menceritakan, Apabila hujan tidak kembali turun, genangan air diperkirakan akan surut pada sore hari, sekarang hujan sebentar saja sudah masuk rumah” (MaduraPost, 2025). Fenomena ini menunjukkan ada perubahan signifikan dalam daya serap tanah dan sistem drainase alami.

Mengapa bisa banjir? Sampah memang menjadi kambing hitam yang paling mudah disebut, terutama di wilayah kota. Namun, di pedesaan, penyebab banjir lebih kompleks. Alih fungsi lahan yang awalnya merupakan perkebunan dan sawah kini banyak berubah menjadi tambak, tambang, hingga perumahan mewah. Pasir pantai dikeruk tanpa kontrol, lahan pesisir mulai dieksploitasi untuk berbagai kepentingan ekonomi jangka pendek.

Menurut penelitian oleh Hidayah dan Suharyo (2018), konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman di daerah pesisir Madura memperparah risiko banjir dan menurunkan kapasitas ekosistem dalam menyerap air hujan. Hal ini diperparah oleh kurangnya regulasi yang tegas dari pemerintah daerah.

Salah Arah: Ketika Edukasi Publik Terjebak pada Hilir

Di media sosial, banyak pemuda yang gencar menyuarakan pentingnya tidak membuang sampah sembarangan. Kampanye ini pada dasarnya baik, namun sayangnya seringkali berhenti pada permukaan. Tak jarang, semangat ini berubah menjadi ajang "pamer kepedulian" tanpa menyentuh akar persoalan. Bahkan beberapa dari mereka tampil di media mainstream dengan narasi tunggal: masyarakat bodoh karena buang sampah sembarangan.

Padahal, masyarakat hanya bagian dari ekosistem sosial yang dibentuk oleh kebijakan, infrastruktur, dan budaya yang ada. Jika kita amati, di ruang-ruang publik seperti Mal Pelayanan Publik, Taman Bunga, dan Tajamara di Sumenep, masih banyak yang tidak memiliki tempat sampah yang layak. Tak jarang orang kebingungan mau membuang sampah ke mana. Mereka akhirnya membuangnya sembarangan bukan karena tak peduli, tetapi karena sistem tidak memfasilitasi perilaku ideal.

Seperti yang disampaikan oleh Fadhilah dan Wijayanti (2023), pendekatan perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah harus disertai dengan penyediaan sarana prasarana yang memadai dan edukasi yang terstruktur. Tanpa dua hal itu, mengharapkan masyarakat bertindak ideal adalah harapan kosong.

DLH dan Ketimpangan Narasi: Mengapa Tambak dan Tambang Tak Pernah Disorot?

Di Sumenep, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) rutin menyuarakan pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Namun, publik jarang sekali melihat DLH atau institusi terkait secara lantang menolak proyek-proyek tambang pasir pantai, tambak di wilayah pesisir, atau konversi sawah menjadi bangunan komersial. Padahal, dalam jangka panjang, kegiatan tersebut lebih merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan lingkungan.

Kritik tajam disampaikan oleh aktivis lingkungan lokal, Zaitun, yang menyoroti ketimpangan dalam penegakan aturan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Ia menyatakan, “DLH dan instansi lainnya sering koar-koar buang sampah pada tempatnya, tapi mereka nggak pernah menolak keberadaan tambak dan tambang. Lahan sawah berubah menjadi perumahan mewah, pasir pantai dikeruk, dan wilayah pesisir dieksploitasi secara besar-besaran, yang semuanya berkontribusi pada krisis lingkungan,” ujarnya pada Kamis (29/05/2025).

Ketiadaan sosialisasi yang masif tentang jenis sampah—organik, anorganik, B3, dan lainnya—juga menjadi indikator betapa edukasi lingkungan belum menjadi prioritas. Banyak warga bahkan tidak tahu perbedaan antara sampah plastik dan sampah daun. Akibatnya, meskipun ada niat untuk membuang sampah dengan benar, mereka tetap tidak tahu harus bagaimana.

Akar Permasalahan: Ekonomi Ekstraktif dan Ketimpangan Akses

Kerusakan lingkungan kerap berakar pada model ekonomi yang bersifat ekstraktif—yakni mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan keberlanjutan ekosistem dan hak-hak masyarakat lokal. Model pembangunan seperti ini tidak hanya mempercepat degradasi lingkungan, tetapi juga memperparah ketimpangan sosial. Daerah yang kaya akan sumber daya justru sering menjadi korban alih fungsi lahan yang menguntungkan segelintir pihak, sementara masyarakat setempat kehilangan ruang hidup dan sumber penghidupan.

Fenomena ini tampak jelas di Kabupaten Sumenep. Salah satu kasus yang menonjol adalah pembangunan Hotel Myze di Desa Gedungan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumenep, Arif Susanto, mengakui bahwa bangunan tersebut berada di atas kawasan resapan air yang memiliki fungsi ekologis penting.

“Mulai dari Hotel Myze ke timur sampai ke perumahan, itu lahan resapan air semua memang,” kata Arif Susanto, dikutip dari Media Jatim, Senin (10/3/2025).

Pernyataan ini memperkuat kekhawatiran publik bahwa pembangunan di Sumenep semakin menjauh dari prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis. Alih fungsi lahan tanpa kajian mendalam sering kali mengorbankan kepentingan jangka panjang demi keuntungan ekonomi sesaat.

Solusi Parsial Bukan Jalan Keluar

Jika hanya fokus pada hilir seperti sampah, maka solusi yang ditawarkan akan selalu parsial. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama melihat akar permasalahan, mulai dari perencanaan tata ruang, pengawasan terhadap alih fungsi lahan, hingga pembangunan sistem pengelolaan lingkungan yang partisipatif.

Menurut laporan dari LIPI (2021), keterlibatan masyarakat dalam pengawasan lingkungan harus dimulai dari pendidikan kritis dan pemberdayaan komunitas lokal agar mereka mampu memahami dampak jangka panjang dari kerusakan lingkungan. Tanpa kesadaran kolektif dan sistem pendukung yang kuat, setiap kampanye hanya akan menjadi formalitas tanpa hasil berarti.

Penutup: Bukan Sekadar Sampah, Tapi Soal Sistem

Krisis lingkungan bukan sekadar persoalan orang buang sampah sembarangan. Ini adalah masalah sistemik yang berakar pada kebijakan yang timpang, pengelolaan yang amburadul, dan kepentingan ekonomi yang mengorbankan keberlanjutan. Menyalahkan rakyat kecil tanpa menyentuh penyebab struktural hanyalah cara licik untuk cuci tangan sambil mempertahankan status quo.

Kita terlalu sering melihat kampanye soal sampah yang hanya memotret individu sebagai biang kerok. Padahal, di balik tumpukan sampah itu ada ketidakseriusan pemerintah, minimnya infrastruktur, dan sistem tata kelola lingkungan yang penuh tambal sulam. Jika semua orang diminta sadar, maka yang paling pertama harus sadar adalah para pengambil kebijakan yang selama ini abai tapi gemar menyalahkan.

Jadi, sebelum Anda bikin konten kampanye seolah-olah rakyat adalah satu-satunya penjahat lingkungan, pikir dulu: siapa yang membiarkan sistem ini mandek? Siapa yang diuntungkan dari kekacauan ini? Dan satu kalimat dari saya: jika ingin jadi buzzer pemerintah, setidaknya jadilah buzzer yang cerdas—jangan cuma pinter nyalahin rakyat.

Ditulis oleh Wahyu Abadi, Mahasiswa dan Pegiat Literasi Digital.
Diubah oleh whyabd08 11-06-2025 20:42
zaitunbeningAvatar border
zaitunbening memberi reputasi
1
197
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan