- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Di Balik Warung Kopi Bu Sumarni


TS
yantosau
Di Balik Warung Kopi Bu Sumarni

Pagi itu di desa Karangjati, suara ayam jantan bersahutan memecah kesunyian. Embun masih melekat di ujung daun pisang, dan aroma tanah basah menyatu dengan wangi kopi yang mengepul dari sebuah warung sederhana di pinggir jalan desa.
Warung itu milik Bu Sumarni, seorang janda berusia lima puluhan yang telah mengelola warung tersebut sejak suaminya meninggal lima belas tahun lalu. Warung kopi miliknya bukan sekadar tempat ngopi—ia adalah saksi bisu segala keluh kesah, tawa, dan rahasia warga Karangjati.
Seperti biasa, warung Bu Sumarni mulai ramai sejak pukul enam pagi. Pak Dul, seorang pensiunan tentara, datang paling awal, duduk di pojok sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula. Di sampingnya, Mas Bowo, tukang ojek desa, memarkir motor dan ikut bergabung sambil membawa berita-berita terbaru dari pasar.
Tapi pagi ini berbeda.
Seorang lelaki asing datang. Tubuhnya tinggi, berambut gondrong sedikit beruban, dengan jaket kulit cokelat dan tas ransel lusuh. Ia memesan kopi dan duduk diam, menatap ke arah sawah yang membentang di seberang warung.
Bu Sumarni memperhatikannya. Wajah lelaki itu seperti mengenang sesuatu yang dalam. Tatapannya tidak asing. Ia seperti seseorang yang pernah ia temui… tapi kapan?
Setelah beberapa menit hening, lelaki itu berkata lirih, “Masih sama seperti dulu. Sawahnya masih hijau.”
Bu Sumarni tertegun. Ia menatap lelaki itu lebih seksama.
“Kamu… Surya?”
Lelaki itu tersenyum kecil, “Akhirnya Ibu mengenali saya.”
Surya adalah anak sulung Pak Karno, kepala desa lama. Dulu dia dikenal sebagai pemuda cerdas, bercita-cita jadi arsitek. Tapi saat SMA, ia tiba-tiba menghilang. Desas-desus menyebut ia kabur karena terlibat kasus pencurian motor. Ada pula yang bilang dia kabur karena malu tak lulus ujian akhir. Sejak itu, tak ada yang tahu kabarnya.
“Saya nggak percaya ini kamu…” gumam Bu Sumarni.
“Lima belas tahun, Bu. Saya keliling kota-kota, jadi buruh bangunan, pernah ngamen juga. Tapi saya pulang bukan karena kalah. Saya pulang karena ingin menebus.”
Air mata mengalir di pipi Sumarni. Ia ingat betapa hancurnya hati Pak Karno dulu, kehilangan anak yang tak berpamitan.
Surya melanjutkan, “Saya nggak curi motor, Bu. Tapi waktu itu saya dituduh teman. Saat semua orang menjauh, saya nggak punya keberanian membela diri. Saya hanya ingin lari.”
Obrolan pagi itu mengubah banyak hal. Pak Dul yang selama ini menyimpan prasangka, mulai membuka hati. Mas Bowo yang dulu sering menggoda adik Surya, akhirnya meminta maaf karena ikut menyebar fitnah.
Hari demi hari, Surya mulai membantu di warung Bu Sumarni. Ia memperbaiki atap bocor, mengecat dinding warung, bahkan membuat taman kecil di sampingnya. Warga mulai akrab kembali dengannya. Bahkan, kepala desa yang baru menawarkan proyek pembangunan jembatan desa—dan Surya ditunjuk sebagai perancangnya.
Warung kopi itu kembali ramai, tapi kini bukan hanya tempat curhat. Ia menjadi pusat rekonsiliasi dan harapan baru. Bu Sumarni tersenyum melihat perubahan itu.
Satu sore, saat matahari mulai tenggelam dan angin sore membawa aroma damai, Bu Sumarni duduk di samping Surya.
“Kamu tahu, Surya… warung ini dulu dibangun suamiku dengan harapan bisa jadi tempat yang menyatukan orang. Sekarang aku tahu harapan itu tidak sia-sia.”
Surya menatap langit jingga. “Terima kasih, Bu. Karena memberi saya kesempatan kedua.”
---


farid.surel399 memberi reputasi
1
27
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan