Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Seruan Ombak di Danau Limboto
Seruan Ombak di Danau Limboto

Sore itu, langit Gorontalo berwarna jingga keemasan. Angin bertiup lembut, menyapu permukaan Danau Limboto yang tenang. Di tepi danau, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun duduk sendirian sambil memandangi perahu kayu kecil milik kakeknya yang terikat di batang pohon. Namanya Aldi.

Aldi bukan anak kota. Ia dibesarkan di sebuah desa kecil bernama Pentadio, tak jauh dari danau yang luas itu. Sejak kecil, ia akrab dengan cerita-cerita rakyat yang dituturkan kakeknya sebelum tidur. Cerita tentang putri-putri dari kayangan, ikan raksasa penunggu danau, hingga legenda Hulondalo, sang pahlawan dari tanah Gorontalo.

Namun hari itu berbeda. Kakeknya baru saja dibawa ke rumah sakit karena penyakit yang sudah lama menggerogoti tubuh tuanya. Aldi takut. Ia belum siap kehilangan satu-satunya orang yang ia anggap sebagai ayah, sahabat, dan guru kehidupan.

Ia menatap danau dan mengingat pesan terakhir sang kakek:

*"Kalau kau rindu, dengarkan saja suara ombak Limboto. Di sana, aku akan selalu bersamamu.”*

Aldi menangis pelan. Namun tiba-tiba, angin meniup daun-daun kering dari pohon di belakangnya, dan ombak kecil mulai menggulung di permukaan danau. Suaranya lembut, seperti bisikan.

“Li… Aldi…”

Anak itu terdiam. Ia tahu itu hanya suara angin dan air. Tapi entah mengapa, ia merasa seperti benar-benar mendengar suara kakeknya. Ia berdiri, berjalan mendekati air, dan menatap bayangannya di permukaan danau. Di sana, ia melihat sosok kakeknya, tersenyum, sebelum bayangan itu hilang tertiup angin.

Malamnya, hujan turun deras. Dan kabar duka datang. Sang kakek meninggal dunia di rumah sakit kota. Aldi tidak menangis. Ia hanya diam, menggenggam erat kain sarung peninggalan kakeknya, dan memandangi langit dari jendela rumahnya.

Hari-hari berlalu. Aldi mulai sering mengunjungi Danau Limboto, duduk di tempat biasa, dan mendengarkan bisikan ombak. Ia mulai mencatat cerita-cerita yang dulu hanya didengar di mulut kakeknya. Ia menulis semuanya di buku bekas sekolah, dengan tulisan tangan yang belum rapi tapi penuh semangat.

Cerita itu ia kumpulkan: tentang Lumoli, roh penunggu hutan; tentang Boki Botu, wanita berkulit batu; dan tentang Huyula, filosofi gotong royong khas Gorontalo yang diwariskan sejak zaman kerajaan.

Saat usianya menginjak 18 tahun, Aldi membawa semua cerita itu ke kota. Ia ingin mengenalkan Gorontalo pada dunia. Ia tampil di forum-forum pemuda, membacakan kisah-kisahnya. Ia membuat video sederhana yang menampilkan keindahan Danau Limboto, Benteng Otanaha, hingga pantai Botubarani tempat hiu paus sering muncul.

Lambat laun, kisahnya menyebar. Orang-orang mulai tertarik kembali pada budaya Gorontalo yang nyaris terlupakan. Anak-anak mulai bertanya tentang legenda, dan sekolah-sekolah mulai mengundang Aldi untuk bercerita.

Kini, sepuluh tahun telah berlalu. Aldi menjadi penulis muda yang dikenal luas di Sulawesi. Tapi ia tetap kembali ke desa, duduk di tepi Danau Limboto, dan berbicara pada ombak. Karena ia tahu, suara itu tetap ada.

“Terima kasih, Kek. Kau tidak pernah benar-benar pergi.”

Dan ombak pun menjawab, lembut—seolah menyambut cucu kesayangan yang telah tumbuh menjadi penjaga cerita-cerita tua Gorontalo.

---
intanasaraAvatar border
mammendtzAvatar border
nancyconroy1129Avatar border
nancyconroy1129 dan 2 lainnya memberi reputasi
1
111
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan