- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
YOU SAY RUN


TS
the.collega
YOU SAY RUN
1
Quote:
Langit berwarna senja, tampak kuning bercampur dengan warna kulit jeruk. Sinar matahari perlahan hilang, sebelum sang rembulan datang menggantikannya. Seorang pemuda memakai pakaian serba hitam berdiri di pagar jembatan penyebrangan. Tudung jaketnya menutup seluruh kepalanya, kecuali bagian ujung bawah rambut panjang sedikit mengintip. Di bawah kakinya banyak kendaraan sedang sibuk saling menyalip untuk sampai ke garis tujuan masing-masing. Sorot lampu tidak mampu memberinya penerangan tuk suasana pikirannya yang sedang kacau.
Biasanya banyak orang yang melewati jembatan penyebrangan ini, apalagi di jam-jam sibuk seperti waktu pulang kantor. Tetapi hari ini adalah hari keberuntungannya, tidak akan ada satu orang pun yang akan menggagalkan rencananya. Sebuah rencana yang sudah dipikirkan jauh-jauh hari lalu. Setelah menimbang baik-buruknya, keputusan akhirnya tetap dilaksanakan.
Tidak mudah melakukannya, kedua kakinya bergetar hebat, kepalanya mulai pusing, keseimbangannya tidak berada di titik yang tepat. Untuk menanggulanginya, kedua tangannya direntangkan, bagaikan sayap burung di angkasa. Waktu mulai melaju, jalanan sebentar lagi akan dipenuhi oleh kendaraan. Presentase kegagalannya pun akan semakin naik jika aksinya tidak kunjung dilakukan. Akhirnya dalam satu tarikan nafas, kakinya siap melompat menuju ke dunia tanpa akhir.
“Selamat tinggal duni---,” kepalanya reflek menoleh ke samping, ada seseorang memakai setelan olah raga sedang berlari cepat kearahnya. Tindakan kecilnya itu malah membuat badannya goyah, badannya condong ke depan, artinya kepalanya akan menghantam jalan terlebih dahulu, sangat jauh dari kalkulasinya.
BAK! Seseorang terpelanting dengan keras, untungnya tetap di area jalan jembatan, bukan ke perlintasan lalu lintas di bawah. Seseorang dengan setelan olah raga berhasil menarik kedua kaki pemuda ini. Keduanya berbaring, satunya mengerang kesakitan.
“WOY! KALAU GUE TELAT SEMENIT AJA, LO UDAH TERJUN BEBAS TADI!” nadanya sangat tinggi, urat menyala dikeningnya. Pemuda itu hanya bisa melotot saja, kejadian tadi sangat mengguncang bathinnya.
Orang tersebut kemudian bangkit, tubuhnya ikut merasakan kerasnya beton jalan jembatan. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah pemuda yang usianya lebih muda dihadapannya ini ingin mengakhiri hidupnya dengan terjun dari jembatan yang tingginya 5 meter. Lalu ia menjulurkan tangannya, memberikan bantuan lagi.
“Maaf ya, gue enggak seharusnya teriak begitu,” kini senyum terpancar dari wajahnya.
Pemuda ini tidak langsung menerima uluran tangannya, tetapi memandangi wajah penolongnya. Belum ada orang yang tulus memberinya senyum, bahkan orang tuanya sekalipun. Tangannya meraih uluran tersebut, badannya bangkit dari bawah, keterpurukan seakan-akan ikut lenyap darinya.
“Saran gue sih, jangan terlalu dipikirin, maksudnya tuh jangan banyak ngelamun sendiri, itu enggak baik,” kacamata di atas kepalanya turun menutupi kedua matanya. “EH?! Kacamatanya pecah!” teriak histeris setelah mengetahui kacamata olahraganya itu pecah.
“Maaf…,” akhirnya pemuda itu mengeluarkan suara, kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah kata maaf. Kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah, begitu dengan tudung dari jaket hitamnya.
Tepukan hangat di pundak diberikan kepada pemuda itu, “Kacamata bisa dibeli lagi, tapi nyawa enggak,” ucapnya. “maaf gue enggak bisa nganter lo pulang, jadi pastiin lo pulang dengan selamat. Karena gue mau lanjut---,” telapak kaki sebelah kirinya terasa begitu dingin, setelah matanya menghadap ke bawah, sepatu di kaki kirinya ternyata hilang. “EH?! SEPATUNYA?” dengan sigap dirinya mengintip ke area bawah, jalanan sudah mulai dipenuhi oleh kendaraan, sulit baginya untuk menemukan sepatunya.
Pertama, kacamata olahraganya pecah. Lalu sepatu di kaki kirinya pun hilang entah ke mana. Semua itu didapatkannya setelah menyelamatkan satu nyawa. Namun tidak ada penyelasan dalam dirinya. Benda-benda tersebut dapat digantikan dengan yang baru, masih bisa dijangkau. Pemuda itu semakin merasa bersalah, padahal sang penyelamat terus meyakinkan bahwa barang-barang itu sudah diikhlaskan.
“Oke, gue temenin sampai bawah, jaga-jaga biar lo enggak kepikiran hal konyol lagi.”
Keduanya turun secara bersama-sama, masih belum ada orang lain lagi terlihat dari kejauhan. Hari ini betul-betul ditakdirkan hanya untuk mereka berdua, pertemuan yang mengubah hidup pemuda tersebut. Langit pun sudah gelap, pupus sudah harapannya untuk mencari pasangan dari sepatu miliknya. Namun satu hal kembali diingatkan, semua permasalahan selalu ada jalan keluarnya, mengakhiri hidup bukanlah sebuah solusi, tapi hanya akan menambah masalah lain.
“Ngomong apa tadi gue?” ia hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Sebelah sepatu dibawa olehnya, membuat kedua kakinya hanya beralaskan kaos kaki saja.
“Terima kasih…,” ucap pemuda itu melihat penolongnya sudah berlari menjauh, kata itu tidak berani diucapkannya tadi. Matanya menghadap ke arah jembatan penyebrangan, tepat di pagar tempat kakinya berdiri. Pikiran-pikiran itu mulai dihilangkan dari benaknya, hanya kata-kata dari orang tadi menyangkut.
Sialnya, arah jalan menuju rumahnya berada tepat di seberang, terbelah oleh jalanan padat. Sehingga mau tidak mau pemuda ini harus menaiki jembatan penyebrangan sekali lagi. Karena jika memaksa mencari jalan lain, jaraknya begitu jauh, memakan waktu lebih lama lagi. Keberanian ditumpuk hingga menggunung, kakinya melangkah maju dan mulai menaiki anak tangga satu persatu.
Perasaannya sedikit lega karena mulai nampak orang-orang yang menggunakan jembatan ini juga. Pandangannya dialihkan ke arah lain, rasa malu hinggap dihatinya, suasana sepi barusan ada untungnya juga menurutnya. Setidaknya hanya ada satu orang yang menghakimi keputusannya.
Setelah perjalanan panjang karena waktu seakan sangat lambat di atas sana, pemuda ini sudah turun dari anak tangga terakhir. Ada sesuatu yang menarik pandangannya, meskipun agak samar-samar, tetapi ia hapal betul warna sepatu yang dikenakan oleh penolongnya itu. Warna hijau terang dengan aksen garis hitam. Tanpa ragu sang pemuda berlari menuju area semak yang terkena sorot lampu jalan.
“Ini sepatunya…,” di bagian bawah sampingnya, tertuliskan sebuah nama klub lari sebuah universitas. Terbesit sebuah niatan untuk mengembalikan sepatu ini, sekaligus untuk mengucapkan terima kasih secara benar karena telah menyelamatkan nyawanya.
Biasanya banyak orang yang melewati jembatan penyebrangan ini, apalagi di jam-jam sibuk seperti waktu pulang kantor. Tetapi hari ini adalah hari keberuntungannya, tidak akan ada satu orang pun yang akan menggagalkan rencananya. Sebuah rencana yang sudah dipikirkan jauh-jauh hari lalu. Setelah menimbang baik-buruknya, keputusan akhirnya tetap dilaksanakan.
Tidak mudah melakukannya, kedua kakinya bergetar hebat, kepalanya mulai pusing, keseimbangannya tidak berada di titik yang tepat. Untuk menanggulanginya, kedua tangannya direntangkan, bagaikan sayap burung di angkasa. Waktu mulai melaju, jalanan sebentar lagi akan dipenuhi oleh kendaraan. Presentase kegagalannya pun akan semakin naik jika aksinya tidak kunjung dilakukan. Akhirnya dalam satu tarikan nafas, kakinya siap melompat menuju ke dunia tanpa akhir.
“Selamat tinggal duni---,” kepalanya reflek menoleh ke samping, ada seseorang memakai setelan olah raga sedang berlari cepat kearahnya. Tindakan kecilnya itu malah membuat badannya goyah, badannya condong ke depan, artinya kepalanya akan menghantam jalan terlebih dahulu, sangat jauh dari kalkulasinya.
BAK! Seseorang terpelanting dengan keras, untungnya tetap di area jalan jembatan, bukan ke perlintasan lalu lintas di bawah. Seseorang dengan setelan olah raga berhasil menarik kedua kaki pemuda ini. Keduanya berbaring, satunya mengerang kesakitan.
“WOY! KALAU GUE TELAT SEMENIT AJA, LO UDAH TERJUN BEBAS TADI!” nadanya sangat tinggi, urat menyala dikeningnya. Pemuda itu hanya bisa melotot saja, kejadian tadi sangat mengguncang bathinnya.
Orang tersebut kemudian bangkit, tubuhnya ikut merasakan kerasnya beton jalan jembatan. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah pemuda yang usianya lebih muda dihadapannya ini ingin mengakhiri hidupnya dengan terjun dari jembatan yang tingginya 5 meter. Lalu ia menjulurkan tangannya, memberikan bantuan lagi.
“Maaf ya, gue enggak seharusnya teriak begitu,” kini senyum terpancar dari wajahnya.
Pemuda ini tidak langsung menerima uluran tangannya, tetapi memandangi wajah penolongnya. Belum ada orang yang tulus memberinya senyum, bahkan orang tuanya sekalipun. Tangannya meraih uluran tersebut, badannya bangkit dari bawah, keterpurukan seakan-akan ikut lenyap darinya.
“Saran gue sih, jangan terlalu dipikirin, maksudnya tuh jangan banyak ngelamun sendiri, itu enggak baik,” kacamata di atas kepalanya turun menutupi kedua matanya. “EH?! Kacamatanya pecah!” teriak histeris setelah mengetahui kacamata olahraganya itu pecah.
“Maaf…,” akhirnya pemuda itu mengeluarkan suara, kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah kata maaf. Kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah, begitu dengan tudung dari jaket hitamnya.
Tepukan hangat di pundak diberikan kepada pemuda itu, “Kacamata bisa dibeli lagi, tapi nyawa enggak,” ucapnya. “maaf gue enggak bisa nganter lo pulang, jadi pastiin lo pulang dengan selamat. Karena gue mau lanjut---,” telapak kaki sebelah kirinya terasa begitu dingin, setelah matanya menghadap ke bawah, sepatu di kaki kirinya ternyata hilang. “EH?! SEPATUNYA?” dengan sigap dirinya mengintip ke area bawah, jalanan sudah mulai dipenuhi oleh kendaraan, sulit baginya untuk menemukan sepatunya.
Pertama, kacamata olahraganya pecah. Lalu sepatu di kaki kirinya pun hilang entah ke mana. Semua itu didapatkannya setelah menyelamatkan satu nyawa. Namun tidak ada penyelasan dalam dirinya. Benda-benda tersebut dapat digantikan dengan yang baru, masih bisa dijangkau. Pemuda itu semakin merasa bersalah, padahal sang penyelamat terus meyakinkan bahwa barang-barang itu sudah diikhlaskan.
“Oke, gue temenin sampai bawah, jaga-jaga biar lo enggak kepikiran hal konyol lagi.”
Keduanya turun secara bersama-sama, masih belum ada orang lain lagi terlihat dari kejauhan. Hari ini betul-betul ditakdirkan hanya untuk mereka berdua, pertemuan yang mengubah hidup pemuda tersebut. Langit pun sudah gelap, pupus sudah harapannya untuk mencari pasangan dari sepatu miliknya. Namun satu hal kembali diingatkan, semua permasalahan selalu ada jalan keluarnya, mengakhiri hidup bukanlah sebuah solusi, tapi hanya akan menambah masalah lain.
“Ngomong apa tadi gue?” ia hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Sebelah sepatu dibawa olehnya, membuat kedua kakinya hanya beralaskan kaos kaki saja.
“Terima kasih…,” ucap pemuda itu melihat penolongnya sudah berlari menjauh, kata itu tidak berani diucapkannya tadi. Matanya menghadap ke arah jembatan penyebrangan, tepat di pagar tempat kakinya berdiri. Pikiran-pikiran itu mulai dihilangkan dari benaknya, hanya kata-kata dari orang tadi menyangkut.
Sialnya, arah jalan menuju rumahnya berada tepat di seberang, terbelah oleh jalanan padat. Sehingga mau tidak mau pemuda ini harus menaiki jembatan penyebrangan sekali lagi. Karena jika memaksa mencari jalan lain, jaraknya begitu jauh, memakan waktu lebih lama lagi. Keberanian ditumpuk hingga menggunung, kakinya melangkah maju dan mulai menaiki anak tangga satu persatu.
Perasaannya sedikit lega karena mulai nampak orang-orang yang menggunakan jembatan ini juga. Pandangannya dialihkan ke arah lain, rasa malu hinggap dihatinya, suasana sepi barusan ada untungnya juga menurutnya. Setidaknya hanya ada satu orang yang menghakimi keputusannya.
Setelah perjalanan panjang karena waktu seakan sangat lambat di atas sana, pemuda ini sudah turun dari anak tangga terakhir. Ada sesuatu yang menarik pandangannya, meskipun agak samar-samar, tetapi ia hapal betul warna sepatu yang dikenakan oleh penolongnya itu. Warna hijau terang dengan aksen garis hitam. Tanpa ragu sang pemuda berlari menuju area semak yang terkena sorot lampu jalan.
“Ini sepatunya…,” di bagian bawah sampingnya, tertuliskan sebuah nama klub lari sebuah universitas. Terbesit sebuah niatan untuk mengembalikan sepatu ini, sekaligus untuk mengucapkan terima kasih secara benar karena telah menyelamatkan nyawanya.
0
15
Kutip
0
Balasan


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan