- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sepatu Tua di Ujung Lorong


TS
yantosau
Sepatu Tua di Ujung Lorong

Lorong itu sepi. Udara dingin mengalir pelan lewat celah-celah jendela tua, membuat daun pintu kayu tua berderit lembut. Di ujung lorong, di bawah cahaya temaram lampu gantung yang mulai meredup, sepasang sepatu kulit cokelat tua tergeletak diam.
Tak ada yang menyangka, bahwa sepatu itu menyimpan kisah yang lebih dalam dari yang terlihat.
Dulu, sepatu itu milik Pak Surya. Seorang pensiunan guru yang tinggal sendiri di rumah tua peninggalan orang tuanya. Ia bukan pria kaya, namun seluruh anak-anak di kampung mengenalnya sebagai guru yang baik hati, murah senyum, dan selalu membawa sebungkus permen untuk muridnya setiap hari.
Sepatu itu, meski sudah tua dan penuh tambalan, selalu dipakai Pak Surya ke mana pun ia pergi. Katanya, “Sepatu ini menemani langkah-langkah penting dalam hidup saya. Dari pertama kali saya diterima mengajar, sampai hari saya pensiun.”
Setiap pagi, Pak Surya duduk di beranda, menyeruput kopi sambil memandangi anak-anak sekolah yang lewat. Kadang ia melambai, kadang hanya tersenyum. Tak pernah ada yang melihat ia keluar rumah tanpa sepatu itu. Hingga suatu hari, ia menghilang.
Tetangga mulai bertanya-tanya. Tak ada suara radio dari dalam rumahnya seperti biasa, tak ada aroma kopi pagi yang mengepul dari dapurnya. Setelah dua hari tak terlihat, warga akhirnya membuka pintu rumah itu.
Pak Surya ditemukan duduk tenang di kursi kayunya. Matanya terpejam, seolah tertidur. Tapi nafasnya telah lama berhenti.
Di bawah kakinya, sepasang sepatu tua itu tergeletak. Sepatu yang selalu ia rawat dan bersihkan, kini terlepas dari pemiliknya untuk selamanya.
Namun cerita tak berhenti di sana.
Malam-malam setelah kepergiannya, beberapa warga mengaku melihat siluet seseorang berjalan di lorong rumah itu, dengan langkah lambat dan suara sepatu tua yang menyeret pelan. Seorang anak kecil bahkan bersumpah melihat bayangan Pak Surya berdiri di jendela, tersenyum.
Tentu saja orang-orang menertawakannya. “Itu cuma imajinasi anak-anak,” kata sebagian. Tapi lorong itu tetap sepi. Dan sepatu tua itu tetap di sana, seolah menunggu kaki tuanya kembali.
Lima tahun berlalu.
Rumah Pak Surya kini menjadi rumah baca untuk anak-anak desa. Lorong itu dipenuhi buku-buku, dindingnya penuh gambar dan tulisan anak-anak. Tapi sepatu itu tetap ada. Tak ada yang berani memindahkannya. Seolah menjadi penanda, bahwa seseorang pernah tinggal di sana, mencintai anak-anak, dan memberi jejak yang tak pernah benar-benar menghilang.
Karena terkadang, yang kita tinggalkan bukanlah harta. Tapi kenangan, yang melekat kuat, seperti suara sepatu tua yang masih bergema di hati orang-orang yang pernah mencintai kita.




indrag057 dan intanasara memberi reputasi
2
122
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan