- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Peron Terakhir


TS
yantosau
Peron Terakhir

Stasiun itu tidak terlalu besar, hanya ada dua jalur kereta yang membentang lurus ke arah pegunungan. Suasana sore menjelang senja terasa sendu. Angin membawa aroma logam dan hujan yang belum turun. Di antara hiruk-pikuk suara pengumuman dan derap langkah penumpang, seorang perempuan berdiri mematung di peron paling ujung, menggenggam erat tiket yang sudah agak lecek di tangan.
Namanya adalah Laras.
Ia menatap rel yang membentang jauh seperti menatap masa depan yang tak pasti. Di sampingnya, berdiri seorang pria muda—Ardi. Mereka tidak saling menatap. Hanya diam. Kata-kata sudah habis sejak beberapa menit lalu.
“Jadi ini benar-benar keputusanmu?” Ardi akhirnya bertanya. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara peluit dari kereta yang baru tiba di jalur sebelah.
Laras tidak menjawab segera. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh. “Iya. Aku harus pergi, Di. Aku sudah memikirkannya sejak lama.”
Ardi menunduk. Tangannya mengepal, berusaha menahan emosi yang bergolak. “Kita bisa cari jalan lain. Kamu nggak perlu jauh-jauh ke luar kota hanya karena pekerjaan. Kita masih bisa—”
“Kita?” Laras memotong, suaranya pelan namun mantap. “Kita sudah berubah. Hubungan ini tidak lagi sama. Aku butuh waktu. Aku butuh ruang.”
Diam lagi.
Hanya ada suara roda koper yang diseret, suara anak kecil yang menangis, dan suara angin sore yang mulai menusuk kulit.
“Tapi aku masih cinta kamu,” ucap Ardi, setengah berbisik.
Laras menatap mata pria yang sudah bersamanya selama empat tahun terakhir. Mereka tumbuh bersama, melewati masa kuliah, mulai membangun mimpi. Tapi akhir-akhir ini, mimpi mereka tidak lagi sejalan. Ardi ingin menetap di kota kecil mereka, membuka bengkel dan hidup sederhana. Sementara Laras… ia ingin sesuatu yang lebih. Ia ingin tahu bagaimana rasanya hidup mandiri, mengejar karier yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dalam tidur.
“Aku juga masih cinta kamu,” jawab Laras, dengan suara bergetar. “Tapi kadang cinta saja tidak cukup.”
Peluit panjang terdengar. Kereta tujuan Jakarta masuk ke jalur satu. Laras melirik jam di pergelangan tangan—17:45. Sudah saatnya.
Ia mengangkat koper kecilnya. Ardi hanya berdiri, seperti patung, seperti seseorang yang tidak tahu harus berbuat apa. Saat Laras mulai melangkah menuju pintu masuk kereta, Ardi memanggilnya.
“Laras!”
Langkahnya terhenti.
“Aku nggak akan menahan kamu. Tapi kalau suatu hari kamu kembali, kamu tahu di mana harus mencariku.”
Laras tersenyum tipis. Air matanya tumpah saat ia berbalik dan berkata, “Terima kasih karena pernah jadi rumah. Sampai jumpa, Di.”
Ia naik ke kereta. Pintu menutup perlahan. Ardi berdiri di peron, melihat wajah yang sangat ia kenal itu menjauh, menghilang di balik jendela kaca.
Kereta mulai bergerak. Perlahan, lalu cepat, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Peron kembali sepi.
Ardi masih berdiri di tempat yang sama, seolah masih menunggu sesuatu yang tak akan kembali.
---


intanasara memberi reputasi
1
90
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan