Kaskus

Entertainment

marisa19Avatar border
TS
marisa19
Bayangan Besar Bermata Merah di Hutan Vandeering
Di ujung utara kota kecil bernama Laskwood, terdapat hutan lebat yang dikenal dengan nama Hutan Vandeering. Konon katanya, hutan ini menyimpan rahasia kelam sejak zaman kolonial. Warga sekitar enggan masuk terlalu jauh ke dalamnya, terutama setelah senja. Mereka bilang, siapa pun yang berani bermalam di sana akan "dipanggil kembali" oleh penghuni hutan.

Cerita tentang Hutan Vandeering lebih sering dianggap dongeng oleh generasi muda. Tapi tidak bagi Garet. Ia tumbuh dengan cerita-cerita itu, mendengarnya dari kakeknya, yang mengklaim pernah melihat “bayangan besar dengan mata merah” mengintai dari balik pepohonan saat ia masih bocah. Meskipun terdengar seperti kisah klasik untuk menakuti anak kecil agar tak main terlalu jauh, Garet selalu merasa ada kebenaran dalam cerita itu.


...Garet selalu merasa ada kebenaran dalam cerita itu.

Ia masih ingat bagaimana tangan kakeknya sedikit bergetar setiap kali menyebut Hutan Vandeering. Suara sang kakek berubah pelan, seolah ada sesuatu dalam ingatannya yang ingin dilupakan, tapi tak pernah benar-benar hilang. Malam-malam tertentu, Garet kecil pernah melihat kakeknya terbangun dari tidur sambil bergumam dalam bahasa yang tak ia kenali—sebelum cepat-cepat membaca doa dan membakar dupa.


Ia juga masih mengingat jelas seorang tetua desa, Nenek Soma, yang sering duduk di beranda rumahnya sambil menenun kain tua dan bercerita dengan suara pelan. "Kalau kau dengar bisikan dari hutan, nak... jangan jawab. Hutan itu tidak suka namamu dipanggil terlalu keras," katanya suatu malam. Nenek Soma menghilang semalam saat Garet berumur sembilan tahun. Tubuhnya tak pernah ditemukan, hanya sandalnya yang ditemukan di pinggir hutan. Sejak itu, Garet percaya bahwa hutan bisa memilih siapa yang ingin dibawanya.

Kini, di usianya yang ke-28, Garet bekerja sebagai fotografer dokumenter. Proyek terbarunya adalah mengeksplorasi tempat-tempat angker yang belum banyak dijamah orang. Ia ingin menguak mitos dan kenyataan, mempertemukan logika dan legenda. Dan tentu saja, Hutan Vandeering masuk dalam daftar teratasnya.

Sebelum berangkat, Garet sempat mampir ke rumah Pak Marnu, satu dari sedikit tetua yang tersisa di desa Laskwood. Lelaki renta itu menatap Garet dengan mata sendu. "Kalau kau niat masuk ke sana, jangan bawa apa pun yang punya kenangan buruk. Hutan bisa mencium luka hati," katanya. Lalu ia menyodorkan sebuah gelang dari akar beringin. "Ini bukan jimat. Tapi dia bisa tahu kalau kau mulai tersesat. Kalau warnanya berubah jadi hitam, jangan lanjut."

Malam itu, Garet berdiri di tepi hutan, tripod dan kamera tergantung di bahunya, tas carrier penuh perlengkapan menggantung di punggungnya. Di saku jaketnya terselip buku catatan kulit milik kakeknya, yang ditemukan di loteng rumah keluarga. Di dalamnya ada sketsa kasar peta Hutan Vandeering, catatan waktu-waktu tertentu di mana suara-suara aneh terdengar, dan kisah tentang “panggilan hutan.”

Ia menyalakan headlamp dan menyesuaikan lensanya. Udara malam menusuk, embun menggantung di udara dan aroma lumut basah memenuhi paru-parunya. Ketika kakinya melangkah melewati batas pohon pertama, dunia berubah. Cahaya lampu jalan dari kota kecil Laskwood menghilang seketika, digantikan oleh kegelapan yang tampak lebih tebal daripada malam biasanya.

Garet menapaki jalan setapak yang samar. Suara ranting patah di bawah sepatu botnya menyatu dengan bisikan angin dan decit jauh dari burung malam. Ia berjalan sekitar dua kilometer ke dalam sebelum menemukan sebuah area datar yang cukup terbuka untuk mendirikan tenda. Di sinilah ia akan bermalam. Dan menguji kebenaran legenda itu.

Pukul 23.00.

Tenda sudah berdiri. Kamera disiapkan dalam mode night vision dan diarahkan ke arah barat, tempat kakeknya menandai “lokasi suara.” Garet duduk di kursi lipat sambil mencatat pengamatannya. Hingga saat itu, belum ada hal aneh terjadi. Tapi udara semakin dingin. Tidak biasa untuk bulan Mei.

Lalu, suara itu datang.

Pelan. Seperti nyanyian. Tapi tidak dalam bahasa yang ia kenal. Garet mematikan headlamp-nya dan menajamkan pendengaran. Suara itu berasal dari arah timur, tidak jauh dari posisinya. Seakan seseorang—atau sesuatu—sedang bernyanyi, mengalun sendu dan merayap ke dalam jiwanya. Ia mengambil kamera dan mulai merekam.

Detik berikutnya, suara itu berhenti.

Dan keheningan menjadi lebih menakutkan dari suara tadi.

Tiba-tiba, dari balik semak-semak, terdengar suara langkah. Berat. Teratur. Seperti kaki telanjang menyentuh tanah basah.

Garet membeku.

Ia menyalakan kamera inframerah dan mengarahkannya ke semak itu. Layar menampilkan sosok samar. Tinggi, ramping, dengan kepala miring ke satu sisi. Matanya merah menyala. Wajahnya tidak jelas, seperti kabur oleh kabut yang hanya menempel padanya. Sosok itu menatap lurus ke arah Garet. Kemudian tersenyum.

Garet mundur perlahan, tubuhnya menegang. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri. Seolah menunggu. Kemudian, seperti asap, ia menghilang.

Pukul 01.30.

Garet masih terjaga. Ia menelusuri rekaman kameranya berulang kali. Sosok itu jelas tertangkap. Tapi di detik ketika ia menghilang, file video langsung rusak. Gambar menjadi statis, dan kemudian blank. Garet mencoba membukanya di laptop, tapi hasilnya sama. Seolah rekaman itu memang tak diizinkan untuk eksis.

Ia membuka buku catatan kakeknya. Di bagian belakang, ada halaman yang dulu tidak pernah ia perhatikan. Ada simbol-simbol aneh di sana, menyerupai huruf-huruf kuno. Di bawahnya tertulis: "Jika kau melihatnya, jangan jawab panggilannya. Jangan menoleh jika namamu dipanggil." Di sampingnya tertulis dalam catatan berbeda dan lebih miring: "Soma bilang mereka tak suka ditatap. Mereka hanya menjemput yang menyambut."

Garet menelan ludah. Lalu terdengar suara lain. Bukan nyanyian kali ini.

Melainkan gumaman pelan, seperti seseorang memanggil… namanya.

“Gaaa...ret…”

Suara itu datang dari balik tenda.

Ia membeku. Suara itu tidak seperti suara manusia. Terlalu berat. Terlalu bergema. Dan meskipun samar, itu benar-benar menyebut namanya.

Ingat pesan dari buku, Garet menutup matanya. Ia menahan nafas. Suara itu terus memanggil, makin dekat. Lalu, tenda mulai bergoyang, seolah disentuh dari luar. Garet tak bergerak. Beberapa menit kemudian, semuanya hening kembali.

Ia tidak tidur malam itu.

Pagi hari tiba dengan lambat. Sinar matahari menerobos dedaunan dan menyinari tenda Garet. Dengan tubuh lelah, ia keluar dari tenda dan mengecek sekeliling. Tidak ada bekas apa pun. Tidak ada jejak, tidak ada tanda bahwa seseorang atau sesuatu pernah berada di sana.

Tapi ketika ia melihat kamera yang masih tergantung di tripod, ia tertegun. Lensa retak. Seolah ada tekanan kuat dari luar.

Dan ketika ia membuka tasnya, ia menemukan kertas baru terselip di antara buku catatan kakeknya. Kertas tua, menguning. Tulisan tangan yang bukan miliknya. Bukan tulisan kakeknya juga.

"Langkahmu telah didengar. Pintu telah terbuka. Kembalilah sebelum bayanganmu diambil."

Garet merasa dadanya sesak. Ia memutuskan untuk segera keluar dari hutan. Namun setiap langkahnya seakan membuat hutan berubah. Jalur yang ia lalui semalam tidak lagi ada. Pohon-pohon terlihat berbeda. Hening. Tidak ada suara burung. Tidak ada serangga. Seolah-olah hutan menahannya.

Setelah berjalan lebih dari tiga jam, Garet menyadari bahwa ia berputar-putar di tempat yang sama. Ia menemukan kembali lokasi tendanya, meskipun ia merasa telah berjalan jauh. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia mencoba menggunakan kompas di jam tangannya—jarumnya berputar liar.

Langit mulai berwarna keabu-abuan. Hutan yang semula tampak alami kini seperti melipat dirinya sendiri, memutar ruang dan waktu. Garet merasa ada sesuatu yang mengamatinya, tak hanya dari kejauhan, tapi dari dalam tanah, dari akar-akar pohon, bahkan dari udara. Suara-suara samar mulai terdengar lagi—gumaman yang seperti doa atau mantra dalam bahasa purba. Ia mulai berbicara sendiri, memohon agar bisa keluar, agar semuanya hanya mimpi buruk. Tapi hatinya tahu, ini nyata.

Hari berganti malam lagi.

Dan di tengah rasa putus asa, Garet akhirnya melihat sesuatu: sebuah bangunan tua dari batu, tertutup sulur dan akar. Ia belum pernah melihat struktur seperti itu di peta mana pun. Di atas gerbangnya tertulis dengan huruf Latin: "Ad Altiora Nitimur." — "Kami berusaha menuju yang lebih tinggi."

Garet masuk.

Di dalamnya, bau tanah lembap bercampur dengan aroma logam. Dinding-dindingnya penuh simbol, sama seperti di buku kakeknya. Di tengah ruangan, terdapat lingkaran besar seperti altar, dengan bekas darah kering yang sudah berubah warna. Di sela-sela simbol itu, ia melihat wajah yang familiar.

Nenek Soma.

Namun kali ini, ia tidak tua. Wajahnya muda, tapi matanya kosong. Ia muncul dalam penglihatan sekilas, tersenyum, lalu lenyap.

Lalu terdengar suara lain. Kali ini bukan panggilan. Melainkan jeritan. Manusia. Penuh rasa sakit.

Garet berlari keluar.

Namun ia tidak lagi berada di tempat yang sama.

Sekelilingnya berubah. Hutan menjadi lebih gelap, langit tak lagi tampak. Kabut turun tebal. Ia merasa kakinya terbenam dalam lumpur, meski ia masih berdiri di tanah keras.

Dan di tengah kabut, sosok itu muncul lagi.

Kini lebih jelas.

Dan kali ini, ia tidak sendiri. Di belakangnya, bayangan-bayangan lain mulai bermunculan—seperti siluet manusia, tapi bergerak tidak alami, patah-patah, seperti boneka yang dipaksa menari. Beberapa merangkak di tanah, lainnya bergelantungan dari dahan pohon. Mereka tidak bersuara, hanya memandang Garet dengan mata kosong atau tanpa mata sama sekali.

Tinggi dua meter, kulitnya hitam seperti arang, matanya merah membara, dan dari punggungnya menjulur akar-akar yang bergerak sendiri. Ia tidak berjalan. Ia melayang. Dan senyumnya kini melebar sampai ke telinga, memperlihatkan deretan gigi yang tidak rata, tajam seperti pecahan kaca.

Ia tidak berbicara. Tapi Garet mendengar suaranya langsung di kepalanya.

"Kau telah memanggil kami. Maka kami datang. Kini giliranmu menjawab panggilan."

Garet ingin lari. Tapi tubuhnya tak mau bergerak.

Dan saat makhluk itu menyentuh dahinya dengan satu jemari panjang, semuanya gelap.

Dua minggu kemudian.

Tim pencarian menemukan tenda Garet. Peralatannya lengkap. Tapi tidak ada jejak dirinya. Rekaman kamera hanya menampilkan kegelapan, kecuali satu file yang berhasil dibuka. File itu hanya berdurasi 12 detik. Di dalamnya, suara Garet terdengar, berbisik:

"Jangan jawab. Jangan lihat. Tapi sudah terlambat. Mereka melihatku..."

Setelah itu, file rusak.

Dan hingga kini, Garet tidak pernah ditemukan.

Setelah hilangnya Garet, suasana kota kecil Laskwood berubah. Desas-desus merajalela, bar kecil di tengah kota kecil itu menjadi pusat bisik-bisik. Orang-orang membicarakan "bayangan merah" seperti masa lalu telah bangkit. Beberapa mulai percaya, “panggilan” hutan telah aktif kembali—dan Garet hanyalah permulaan.

Setiap tanggal yang sama di tahun berikutnya, kamera perangkap yang dipasang oleh warga Laskwood di pinggir hutan selalu menangkap sosok kabur berdiri di batas pohon. Menatap ke arah kota. Dengan mata merah menyala.

Tak hanya kamera yang menjadi saksi. Beberapa anak mulai mengeluh mendengar bisikan dari arah hutan saat malam. Seorang bocah menyebut ada "pria bermata merah" berdiri di luar jendela kamarnya, tersenyum, lalu menghilang saat lampu dinyalakan.

Tahun berikutnya, seorang peneliti paranormal bernama Liona datang ke Laskwood untuk menyelidiki kasus Garet. Ia menemukan catatan Garet yang terselamatkan, serta salinan dari buku catatan kakeknya. Saat malam tiba, ia mencoba merekam suara dari hutan dengan mikrofon sensitif. Hasilnya: suara berbisik yang tidak bisa dijelaskan, namun saat dianalisis melalui spektogram, membentuk satu kata berulang kali: "Pulangkan."

Bahkan Pendeta Yovan dari gereja tua di bukit mulai mengganti isi khotbahnya. Ia bicara tentang batas-batas suci yang dilanggar manusia, tentang kekuatan gelap yang tidak boleh disentuh. Ia memperingatkan umatnya agar menjauh dari hutan, bahkan saat matahari tinggi.

Dan suara pelan bergema melalui angin malam.

“Aakuu Gaaa…ret…”

Lalu mulai muncul patung-patung kecil dari akar dan tanah liat di halaman warga. Tidak ada yang mengaku membuatnya. Bentuknya menyerupai wajah tak bermata, tersenyum bengkok. Dalam seminggu, satu per satu keluarga yang berekonomi mampu mulai meninggalkan kota tanpa jejak.
riodgarpAvatar border
rizkyarif23Avatar border
rizkyarif23 dan riodgarp memberi reputasi
2
123
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan