Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Langkah Terakhir di Tanah Hujan
Langkah Terakhir di Tanah Hujan

Langit sore itu menggantung mendung kelabu di atas kota kecil yang biasa disebut orang sebagai Tanah Hujan. Hujan deras baru saja reda, menyisakan gemericik air di jalan-jalan, dan bau tanah basah yang menyeruak lembut ke udara. Seorang pria muda bernama Raka berdiri di depan sebuah rumah tua yang catnya mulai terkelupas, memegang koper kecil dan secarik surat di tangannya.

Surat itu adalah warisan terakhir dari kakeknya — seorang pelukis tua yang tinggal sendiri di rumah itu hingga akhir hayatnya. Dalam suratnya, sang kakek menulis: *“Datanglah ke rumah ini, dan temukan lukisan yang belum selesai. Di sanalah jawabannya.”*

Raka tak pernah dekat dengan kakeknya. Mereka jarang bertemu, dan kalaupun bertemu, hanya diam, seakan ada jurang tak kasat mata di antara mereka. Namun ada sesuatu dalam surat itu yang membuatnya datang. Mungkin rasa penasaran. Mungkin juga rasa bersalah karena selama ini ia menghindar dari masa lalu keluarganya.

Ia membuka pintu dengan kunci yang dikirimkan bersamaan dengan surat. Rumah itu sunyi, berdebu, dan penuh lukisan tua yang tergantung di dinding. Kebanyakan lukisan pemandangan: hujan, hutan, kabut, dan bayangan seorang anak kecil di kejauhan.

Raka menyusuri rumah hingga tiba di ruang belakang, sebuah studio yang masih penuh cat, kuas, dan kanvas. Di sana, berdiri sebuah lukisan besar yang belum selesai. Di dalamnya, tergambar punggung seorang pria yang menatap hutan berkabut, dan di belakangnya bayangan seorang anak kecil sedang menangis.

Ada catatan kecil tertempel di sudut lukisan: *“Maafkan aku, Rakaku. Aku hanya ingin menjagamu, tapi tak tahu caranya.”*

Tiba-tiba kenangan masa kecil menyeruak—bagaimana ia dibawa kakeknya ke rumah ini saat orang tuanya bertengkar hebat, bagaimana ia menangis di pelukan kakeknya, lalu perlahan melupakan semua itu seiring waktu. Raka menatap lukisan itu dalam diam, menyadari bahwa kakeknya mencoba menyampaikan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata: penyesalan, cinta, dan permintaan maaf.

Air matanya menetes pelan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia merasa rumah itu berbicara padanya — bukan dengan suara, tapi dengan kehangatan yang menyelimuti seperti pelukan yang lama hilang.

Hari itu, Raka duduk di depan lukisan, mengambil kuas, dan melanjutkan goresan yang belum selesai. Bukan sebagai pelukis profesional, tapi sebagai cucu yang akhirnya memahami makna diam.

Dan di tengah kota yang selalu diguyur hujan, untuk pertama kalinya, Raka merasa damai.

---
riodgarpAvatar border
intanasaraAvatar border
intanasara dan riodgarp memberi reputasi
2
46
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan