- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Rumah di Ujung Cemara


TS
yantosau
Rumah di Ujung Cemara

Di sebuah kota kecil yang sepi bernama Wanaraya, berdiri sebuah rumah tua beratap genteng merah yang tersembunyi di balik pohon-pohon cemara. Rumah itu telah kosong selama bertahun-tahun, tapi penduduk setempat masih sering membicarakannya dengan suara berbisik, seolah takut ada yang mendengar. Konon, rumah itu dihuni oleh seseorang yang tak pernah menua—seorang penjaga waktu.
Dita, seorang mahasiswi antropologi, datang ke Wanaraya untuk menyusun skripsi tentang kepercayaan masyarakat terhadap ruang-ruang tua. Ia mendengar cerita tentang rumah cemara dari tukang ojek yang membawanya dari stasiun. Meski awalnya menganggapnya hanya mitos, rasa penasarannya tumbuh.
Ia mulai bertanya pada warga. Beberapa hanya tertawa kecil dan menyuruhnya menjauh dari rumah itu. Namun seorang nenek penjual kerupuk bernama Mak Tun bersedia bercerita.
"Dulu, ada seorang lelaki yang tinggal di sana, namanya Pak Rudin. Ia seorang guru, tapi juga dikenal sebagai orang pintar. Katanya, ia bisa menghentikan waktu. Istrinya meninggal muda, dan sejak itu, dia tak pernah keluar rumah lagi. Tapi setiap malam Jumat Kliwon, lampu rumah itu menyala. Padahal, tak ada listrik tersambung."
Dita makin tertarik. Ia memutuskan untuk datang ke rumah itu pada malam hari. Dengan senter di tangan dan catatan di tasnya, ia menyusuri jalan setapak yang ditelan rerumputan tinggi. Udara malam terasa lebih dingin di sekitar pohon cemara.
Saat tiba di halaman, Dita melihat sesuatu yang membuatnya terdiam: lampu ruang tamu benar-benar menyala. Cahaya kekuningan lembut terlihat dari sela tirai. Namun rumah itu tampak tak berpenghuni—jendela retak, cat dinding terkelupas, dan daun-daun kering berserakan.
Dengan gemetar, Dita mengetuk pintu.
Tak lama, pintu terbuka... dan seorang pria tua berdiri di sana. Rambutnya putih, matanya jernih, dan senyumnya menenangkan.
"Aku sudah menunggumu," katanya, seperti tahu siapa Dita.
Malam itu, Dita duduk di ruang tamu rumah yang ternyata sangat bersih di dalamnya. Pak Rudin, yang tampak tak berubah dari foto-foto tua yang ditunjukkan Mak Tun, bercerita banyak. Tentang kesedihannya yang begitu mendalam hingga membuatnya ingin membekukan waktu. Tentang eksperimen aneh dengan jam kuno warisan leluhurnya. Dan tentang bagaimana semua itu membuatnya terjebak dalam rumah yang waktu di dalamnya berjalan lebih lambat dari dunia luar.
"Aku tidak abadi, Dita. Tapi waktu di sini… tak berlaku sama. Aku hidup sepuluh tahun, dunia telah berjalan lebih dari lima puluh," katanya lirih.
Pagi mulai merekah. Dita pamit, dan Pak Rudin hanya tersenyum. "Jika kau kembali, mungkin aku masih di sini. Atau mungkin, aku sudah hilang dari waktumu."
Dita kembali ke kota, menulis kisah itu dalam skripsinya. Banyak yang tidak percaya. Tapi rumah itu tetap ada. Dan anehnya, setiap kali Dita kembali ke Wanaraya—bertahun-tahun kemudian—rumah di ujung cemara itu tetap sama. Tak lapuk, tak berubah, seperti membeku di tengah arus waktu yang terus bergerak.
---


intanasara memberi reputasi
1
43
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan