- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tulah di Bukit Dulamayo


TS
yantosau
Tulah di Bukit Dulamayo

Di balik perbukitan Dulamayo yang sunyi, ada satu kisah yang jarang diceritakan—tentang sebuah kampung yang hilang dari peta dan seorang gadis bernama Salama yang menjadi saksi bisu peristiwa itu.
Salama adalah anak seorang *tibulaa*—penjaga adat kuno di kampung Tilango, sebuah kampung kecil di dataran tinggi Gorontalo. Ia tumbuh dengan dongeng dan petuah dari ayahnya, Laoma, tentang keseimbangan antara manusia dan alam. Namun, tak semua orang percaya pada cerita lama. Apalagi setelah jalan-jalan aspal dan bangunan batu mulai menjalar ke desa mereka.
Suatu malam, saat bulan purnama menggantung tepat di atas Gunung Tilongkabila, suara *gambusu* terdengar dari bukit Dulamayo. Suara itu hanya muncul saat sesuatu tidak beres—begitu kata ayah Salama. Malam itu juga, seekor burung hantu besar mendarat di atap rumah mereka, dan Laoma pucat pasi.
“Itu pertanda. Leluhur marah,” katanya pelan.
Keesokan harinya, kabar tersebar bahwa para pekerja proyek pembangunan jalan telah menggali situs keramat tua yang disebut Batu Ta’a, tempat perjanjian antara manusia dan alam Gorontalo dulu diikrarkan. Mereka menertawakan peringatan warga dan terus menggali, mencari “harta karun” yang katanya tertanam di sana.
Salama merasa ada yang aneh. Langit berubah muram, hujan turun tanpa jeda selama tiga hari, dan kabut tebal menyelimuti kampung. Pada malam ketiga, Salama bermimpi didatangi seorang perempuan berpakaian adat Gorontalo lengkap dengan *biliu* di kepalanya. Wajahnya teduh, namun suaranya penuh luka.
“Kembalikan yang diambil… sebelum semuanya hilang.”
Ia terbangun dengan tubuh menggigil. Tak lama kemudian, tanah di dekat situs keramat ambles, menelan alat-alat berat dan sebagian para pekerja. Kampung diguncang gempa kecil. Warga panik. Salama dan Laoma naik ke bukit Dulamayo untuk berdoa dan memohon pengampunan.
Di sana, Salama melihat lagi perempuan dari mimpinya, berdiri di antara kabut dan pepohonan tua. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menunjuk ke arah Batu Ta’a yang kini kembali tertutup tanah dan ilalang.
Setelah kejadian itu, proyek pembangunan dihentikan. Pemerintah mencabut izin, dan warga desa mulai kembali menghidupkan adat istiadat lama. Namun kampung Tilango pelan-pelan mulai ditinggalkan. Kabut tidak pernah benar-benar pergi, dan hanya Salama yang tetap tinggal di sana, menjaga cerita dan situs yang pernah membuat waktu nyaris berhenti.
Kini, orang-orang menyebut kawasan itu *Tanah Tulah*. Tak ada peta yang mencatat lokasi pastinya. Tapi konon, saat bulan purnama penuh, jika kau berdiri di kaki bukit Dulamayo dan mendengar dengan hati, kau bisa mendengar suara *gambusu* mengalun, seperti rintihan masa lalu yang tidak ingin dilupakan.
---


intanasara memberi reputasi
1
48
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan