- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Lelaki dan Lampu Jalan


TS
yantosau
Lelaki dan Lampu Jalan

Setiap malam pukul sebelas, lelaki itu datang. Ia duduk di bawah lampu jalan yang menyala temaram di tikungan sepi, tepat di depan rumah tua yang sudah lama kosong. Tak ada yang tahu siapa namanya. Warga sekitar hanya memanggilnya “Lelaki Lampu Jalan.”
Tak pernah lebih dari sepuluh menit ia duduk. Kadang merokok, kadang hanya menatap jalanan kosong. Beberapa anak muda yang penasaran pernah mengintip dari kejauhan, mencoba menebak apakah dia hantu, orang gila, atau sekadar pengelana. Tapi setiap kali didekati, lelaki itu menghilang begitu saja—seperti kabut tertiup angin malam.
Kabar tentangnya menyebar dari mulut ke mulut. Ada yang bilang ia menunggu kekasih yang sudah meninggal. Ada juga yang percaya bahwa ia dulunya penjaga rumah tua itu, yang dibunuh secara tragis. Cerita berkembang, dan imajinasi warga membuat sosoknya makin misterius.
Namun yang sebenarnya terjadi jauh lebih sederhana—dan lebih menyedihkan.
Nama lelaki itu adalah Hasan. Ia dulunya adalah seorang sopir bus malam antar kota. Selama dua puluh tahun, ia hidup di jalanan, membawa penumpang, mendengar ratusan cerita, dan menyaksikan beribu pemandangan indah dari balik kaca depan bus. Tapi satu peristiwa mengubah segalanya.
Empat tahun lalu, Hasan mengalami kecelakaan hebat. Bus yang dikemudikannya tergelincir di tikungan tajam dalam hujan deras. Tiga penumpang meninggal. Meski ia tidak dipenjara karena kecelakaan itu murni karena faktor cuaca dan rem blong, rasa bersalah tak pernah pergi dari hatinya.
Setelah kejadian itu, ia tak lagi mengemudi. Ia pensiun dini, menjual semua yang ia punya, lalu pergi ke kota kecil tempat rumah masa kecilnya berdiri—rumah tua yang kini kosong, rapuh, dan penuh kenangan.
Setiap malam, ia datang ke sana. Duduk di bawah lampu jalan yang dulu dipasang oleh ayahnya—seorang mandor jalanan yang sederhana. Di tempat itu dulu Hasan belajar mengayuh sepeda, jatuh cinta pertama kali, dan berpamitan ketika ia pergi menjadi sopir. Kini, lampu jalan itu adalah satu-satunya saksi bisu dari sisa hidupnya yang sepi.
Hasan tidak butuh belas kasihan. Ia hanya butuh sepotong kedamaian. Setiap malam, saat orang lain tertidur, ia menenun kembali fragmen hidupnya yang berserakan, mencoba berdamai dengan masa lalu, dan berharap bahwa ketika waktunya tiba, ia bisa pergi dengan tenang.
Suatu malam, lelaki itu tidak datang lagi.
Anak-anak muda yang biasa mengintip mulai bertanya-tanya. Beberapa warga pun menyadari kehilangannya. Salah satu dari mereka mencoba mencari tahu. Rumah sakit, dinas sosial, bahkan rumah tua itu digeledah. Tak ada jejak. Lelaki itu lenyap seperti embun pagi.
Namun lampu jalan di tikungan itu tetap menyala.
Kini, siapa pun yang melintas di tikungan itu, akan melihat bangku kecil yang dibiarkan kosong. Beberapa orang percaya, jika kamu duduk di sana diam-diam tengah malam, kamu bisa mendengar suara napas berat, seperti seseorang yang duduk di sebelahmu. Atau bisikan lirih, “Maafkan aku…”
Lelaki itu memang tak ada lagi. Tapi kenangannya tetap duduk di bawah cahaya redup lampu jalan. Seperti luka yang tak terlihat, tapi selalu terasa.
0
11
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan