- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pulang ke Taluhu


TS
yantosau
Pulang ke Taluhu

Matahari belum tinggi saat Andra menginjakkan kaki di Bandara Djalaluddin, Gorontalo. Aroma khas tanah lembab dan udara laut menyambutnya seperti pelukan lama dari ibu. Sudah sepuluh tahun ia tak pulang, sejak ia hijrah ke Jakarta untuk bekerja. Kota metropolitan itu memang memberinya banyak hal—gaji besar, apartemen tinggi, dan gaya hidup yang gemerlap. Tapi hati Andra selalu tertinggal di satu tempat: **taluhu**—kampung halaman kecil di pesisir Bone Bolango.
Setelah menempuh perjalanan darat satu jam lebih, Andra tiba di desa kelahirannya. Jalannya masih sempit, tetapi kini lebih mulus. Ia turun dari mobil dan memandangi laut yang membentang di kejauhan, biru jernih dengan angin kencang yang meniupkan aroma garam dan nostalgia.
Di depan rumah kayu yang tak banyak berubah, ibunya menanti. Rambutnya kini lebih banyak uban, tapi matanya masih hangat. Mereka berpelukan lama, dalam diam. Di dalam rumah, semuanya seperti membeku dalam waktu. Foto-foto lama, tikar pandan, dan denting sendok di dapur seolah bernyanyi, “Selamat datang kembali.”
“Bagaimana kabarmu di Jakarta?” tanya sang ibu saat mereka duduk di teras, menatap langit sore.
Andra menghela napas. “Capek, Ma. Semua serba cepat, tapi rasanya kosong. Di sana semua orang kejar uang, lupa arti pulang.”
Ibu Andra tersenyum tipis, lalu menunjuk ke arah laut. “Laut ini tak pernah pergi. Kadang yang harus pulang itu bukan tubuhmu, tapi hatimu.”
Keesokan harinya, Andra diajak oleh pamannya ke pasar ikan di Kota Gorontalo. Di sana, aroma segar dari ikan tuna, cakalang, dan ekor kuning bercampur dengan teriakan para penjual. Mereka juga menyempatkan singgah ke Benteng Otanaha—tempat yang dulu sering mereka kunjungi saat ia kecil. Dari atas benteng, Andra melihat Danau Limboto membentang, tenang dan biru kehijauan, dikelilingi bukit-bukit dan hamparan sawah.
Hari-hari berikutnya, Andra mulai ikut membantu kegiatan warga: memanen jagung, membantu nelayan memperbaiki perahu, dan mengajar anak-anak mengaji di surau. Ia yang dulu hanya tahu hidup dengan laptop dan kafe, kini kembali mengenal arti gotong royong, sapaan hangat tanpa basa-basi, dan makan malam dengan lampu pelita serta cerita rakyat Gorontalo tentang buaya putih penjaga danau.
Suatu malam, saat bulan menggantung utuh di langit, Andra berjalan ke bibir pantai. Ia duduk di batu besar, memandangi bintang dan mendengarkan debur ombak. Di saat itu, ia sadar: tempat ini bukan sekadar tanah lahir. Ini adalah **akar**. Tanpa akar, tak ada pohon yang bisa berdiri kokoh.
Tiga bulan kemudian, Andra membuat keputusan besar. Ia menutup pekerjaannya di Jakarta dan memulai usaha kecil di Gorontalo: pariwisata budaya dan alam. Ia bekerja sama dengan warga lokal, membuat paket wisata ke Benteng Otanaha, Danau Limboto, Pulo Cinta, dan kampung adat Bongo.
Dengan menggunakan media sosial, ia mempromosikan keindahan Gorontalo ke seluruh dunia. Ia mengangkat kuliner lokal seperti bilenthango, ilabulo, dan milu siram sebagai daya tarik. Dan ia membuktikan bahwa kembali ke kampung bukan berarti mundur—tetapi justru menemukan arah baru.
Kini, di papan depan rumah kayu yang direnovasinya, tertulis kata dalam bahasa Gorontalo: **“Taluhu”**, artinya “asal mula.” Dan Andra tahu, ia telah kembali ke tempat di mana semuanya dimulai—dan di sanalah masa depannya dibangun.
---


bang.toyip memberi reputasi
1
96
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan