- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
CERPEN : BENTAKAN DI GOLDEN TIME (1)


TS
djrahayu
CERPEN : BENTAKAN DI GOLDEN TIME (1)
Aku masih ingat betul wajahnya. Kak Caca, begitu kami memanggilnya dulu. Anak tetangga yang selalu kupandang dengan kekaguman polos seorang bocah. Lima tahun lebih tua dari ku, tapi dunia di matanya terasa begitu luas, seolah ia tahu segalanya.
Kini aku berdiri di rumah sakit yang sama dengannya bukan lagi sebagai anak kecil yang menatapnya dari jauh, melainkan sebagai residen UGD yang berada di bawah bimbingannya.
Tapi Kak Caca yang sekarang sudah jauh berbeda. Ia masih sosok yang cerdas, bahkan lebih. Dengan segudang lisensi dan predikatnya sebagai dokter termuda. Tangannya juga sangat lincah di meja operasi. Tak pernah sekali pun terlihat goyah setelah mengambil keputusan.
Senyum hangatnya telah berganti dengan tatapan dingin, kata-katanya yang dulu menenangkan kini berubah menjadi sarkasme yang melukai. Aku sering menerima bentakannya, seperti residen-residen sebelumnya. Yang berbeda, mereka menyerah, mengalami trauma, dan bahkan memutuskan berhenti menjadi dokter setelah memasuki “neraka” di bawah bimbingannya.
Tapi aku tidak bisa membencinya. Karena aku tau, UGD bukan tempat yang cocok untuk bersikap lembut. Setiap detik adalah golden time, setiap gerakan harus presisi. Maka dari itu, Kak Caca memperlakukan kami seperti mesin karena nyawa pasien tak bisa menunggu belas kasihan.
Aku juga melihatnya sendiri. Ketika ia menyelamatkan seorang anak kecil yang kehabisan napas karena tersedak, tangannya bergerak cepat, suaranya tegas memerintah tim, tanpa ragu.
Dan setelah anak itu selamat. Keluarga pasien langsung menangis berterima kasih, untuk sejenak, aku melihat senyum Kak Caca yang dulu – ramah, hangat, dan manusiawi.
XXX
Setiap kali alarm UGD berbunyi, tubuhku langsung tegang. Kak Caca sudah berdiri di tengah keriuhan, matanya memindai ruangan seperti elang yang membidik mangsa.
“Ridho! Pasien trauma kecelakaan, tekanan darah 80/50, nadi cepat!” suaranya memecah kebisingan.
Aku segera berlari, membuka set infus dengan tangan gemetar, tapi tangannya yang dingin langsung menyambar pergelanganku
“Jangan ragu. Tusuk sekali dengan tepat. Nyawanya bergantung pada caramu memasang jalur ini.”
Napasku berat, tapi aku mengangguk. Di sini, ragu berarti membunuh.
Aku jadi ingat ingat dulu, waktu aku jatuh dari sepeda dan lututku berdarah, Kak Caca yang masih SMP sudah bisa membersihkan lukaku dengan sabar.
“Nanti juga sembuh,” bisiknya sambil meniup lukaku seperti ibu.
Sekarang, di ruang resusitasi , ia menyobek baju pasien dnegan gerakan kasar.
“Luka tusuk dada! Segera needle decompression !” teriaknnya.
Tanganku hampir menjatuhkan jarum, tapi bayangan senyumnya dulu memberiku kekuatan. Aku menusuk tepat di ruang interkostal kedua, dan desisan udara keluar – paru-paru yang kolaps mulai mengembang lagi.
“Lambat!” hardiknya setelah pasien stabil. “Kau pikir ini bermain dokter-dokteran?!”
Aku hanya bisa menunduk dalam diam, mengigit bibir bawah. Tapi aku tahu, di balik amarahnya, ada pelajaran berharga. Di UGD, keterampilan harus sempurna bukan untuk pujian, tapi karena satu saja kesalahan bisa menyebabkan kematian.
Dan malam itu, aku melihatnya duduk sendirian di ruang istirahat, tangannya masih ada jejak darah pasien, matanya kosong. Untuk pertama kalinya, aku melihat keretakan di bentengnya yang kokoh. Kak Caca yang tak kenal Lelah itu ternyata juga manusia.
XXX
Dulu, Ketika aku demam tinggi, Kak Caca akan datang dan membawakanku es batu yang dibungkus handuk. Kami berdua terbiasa saling bergantung satu sama lain, karena semua orang dewasa di rumah kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
“Tempelkan ini, biar panasnya turun,” katanya sambil mengelus kepalaku.
Sekarang, di ruang gawat darurat, tangannya yang sama akan mencengkeram bahuku dengan kuku yang nyaris menusuk kulit padahal ia selalu memotong pendek.
“Pasien syok hipovolemik ! Segera pasang dua jalur infus besar-besar!” Suaranya seperti petir di telingaku. Aku langsung buru-buru mencari vena yang sudah kolaps , tangan ini masih terlalu lamban baginya.
“Kau terlalu banya berpikir!” bentaknya saat jarum pertama gagal masuk. Darah menetes dari lengan pasien yang suda biru kebiruan. Aku berusaha menarik napas dalam, mencoba mengingat tekni yang diajarkannya.
“Vena kolaps? Cari yang dalam, gunakan indra peraba bukan penglihat.”
Kali ini, jarum masuk dengan mulus, caira NaCl 0,9% mengalir deras. Kak Caca hanya mendengus, tapi dari sudut mataku, aku melihat anggukan singkatnya. Sebuah pengakuan yang tak pernah diucapkannya.
Monitor EKG menunjukkan garis yang semakin melemah.
“Ventricular tachycardia !” teriak seorang perawat.
Sebelum aku bereaksi, Kak Caca sudah menyambar defibrillator .
“Clear!”
Tubuh pasien melengkung saat kejutan listrik mengalir. Sekali, dua kali… Lalu, detak jantung kembali normal. Kak Caca memandangku tajam, “Kalau kau ragu-ragu lagi, aku akan memintamu pergi dari sini!”
Tapi aku tahu, di balik ancamannya, ada pesan yang lebih dalam. Jangan biarkan ketakutanmu membunuh pasien.
XXX
Jam 3 pagi, UGD sepi kecuali monitor yang berbunyi ritmis. Kak Caca berdiri di depan jendela, bayangannya memantul di kaca yang berembun.
Aku ingat dulu, saat hujan deras seperti ini, ia pernah memelukku erat Ketika petir menggelegar.
“Jangan takut, itu cuma suara,” bisiknya waktu itu.
Sekarang air hujan yang sama mengali di kaca jendela, tapi yang terdengar hanya suaranya yang parau memberi instruksi pada perawat jaga.
"Siapkan 1 mg epinephrine untuk pasien anafilaksis di ruang 3.”
Tak ada lagi pelukan, taka da lagi kata-kata penghibur.
Tiba-tiba, seorang ibu tua dibawa masuk dengan wajah kebiruan.
“Edema laring !” teriak seorang EMT .
Kak Caca bergerak seperti kilat, laringoskop sudah di tangannya sebelum aku sempat mengambil nafas.
“Ridho, intubasi !”
Aku menggigit bibir. Latikan di manekin jauh berbeda dengan tenggorokan manusia yang bengkak dan berdarah. Tanganku yang memegang tube gemetaran. Tiba-tiba tangannya yang dingin menutupi tanganku.
“Tepat di pita suara,” bisiknya di telingaku, “Pelan… ya, baik.”
Untuk sesaat, aku merasa seperti anak kecil lagi yang diajari mengikat tali sepatu.
Pasien stabil tapi Kak Caca langsung berbalik meninggalkanku.
“Masih lambat,” geramnya sambil melepas sarung tangan berlumuran darah.
Tapi malam itu, di wajahnya yang biasanya keras kini terlihat lelah seperti anak kecil. Ada bekas air mata yang mongering di pipinya. Aku diam-diam meletakkan jas labuku di bahunya. Mungin di suatu tempat di dalam diri dokter yang kejam ini, masih ada Kak Caca baik hati yang tersembunyi di balik tumpukan tanggung jawab yang terlalu berat untuk dipikul sendiri.
XXX
Pagi itu, seorang anak kecil masuk dengan luka bakar di separuh tubuhnya. Jeritannya menusuk ruang UGD seperti sirene. Kak Caca yang biasanya bergerak seperti badai tiba-tiba membeku.
Mataku menangkap jemarinya yang bergemetar halus sebelum ia mengatupkan tangan menjadi kepalan. Aku terkejut. Ini pertama kalinya ia menyerahkan pasien kritis padauk tanpa campur tangan.
Saat membersihkan luka itu, tanganku seolah bergerak sendiri. Aku ingat dulu, saat Kak Caca mengajariku cara mengobati luka bakar ringan yang ada di tanganku setelah aku dengan isengnya memegang knalpot motor.
“Air mengalir, 20 menit penuh,” katanya sambil memegangi tanganku di bawah keran.
Kini, air mata anak itu bercampur dengan larutan NaCl yang ku-alirkan di kulitnya yang melepuh. Dari sudut mata, kulihat Kak Caca berdiri di pintu, wajahnya keras tapi matanya merah. Baru kusadari, anak ini mungkin seusia kami dulu.
“Apa kakak baik-baik saja?” tanyaku Ketika kamo akhirnya beristirahat.
Ia menatapku tajam, lalu tawa pahit keluar dari bibirnya yang kering. “Di UGD, pertanyaan itu adalah sebuah kemewahan.”
Tapi aku melihat caranya menggenggam foto di dompetnya – gambar kami berdua waktu kecil, diambil saat ia memenangkan lomba cerdas cermat.
“Mereka bilang aku monster,” bisiknya. “Tapi lebih baik disebut monster daripada membiarkan orang mati karena kebaikan palsu.”
Aku diam. Untuk pertama kalinya aku benar-benar mengerti. Kerasnya Kak Caca adalah bentuk pengorbanan yang tak akan bisa dipahami semua orang.
XXX
Hari berganti dengan deretan pasien yang tak pernah berakhir. Dan di suatu senja, sebuah ambulan meraung-raung membawa korban tabrakan berantai. Lima pasien sekaligus membanjiri UGD. Kak Caca berdiri di tengah keriuhan seperti jenderal di medan perang.
“Ridho, tangani anak perempuan di troli ke tiga!” teriaknya sambil membuka dada seorang pria dengan gunting trauma.
Gadis kecil itu pucat, nafasnya tersengal-sengal. Aku segera memeriksa dan mendapati bahwa itu adalah paradoxial chest movement . “Flail Chest ,” bisikku pada diri sendiri, mengingat pelajaran Kak Caca tentang trauma tumpul.
Tanganku otomatis meraih selimut trauma untuk stabilisasi dinding dada.
“Tolong… sakit…,” rintih anak itu. Suaranya mengingatkanku pada Kak Caca kecil yang pernah menangis saat kakinya patah setelah jatuh dari pohon.
Aku menekan pelan di bagian fluktuasi .
“Nak, Tarik napas pelan-pelan ya,” bisikku sambil menyiapkan needle decompression jika diperlukan.
Di seberang ruangan, Kak Caca sedang melakukan thoracotomy darurat. Darah menyembur ke wajahnya, tapi tangannya terus bergerak presisi seperti mesin.
Ketika situasi mulai terkendali, aku melihat Kak Caca bersandar di tembok, sarung tangannya berlumuran darah dan cairan tubuh.
“Laporan kondisi!” perintahnya pendek.
Aku menyampaikan hasil observasi -ku tentang gadis kecil tadi. Tiba-tiba, tangannya yang biasanya kasar menepuk bahuku.”Bagus.” Hanya satu kata itu, tapi terasa lebih berharga dari semua pujian di dunia. Dan di balik bau disenfektan dan darah, kudeteksi aroma khas masa kecil. Minyak kayu putih yang selalu dipakai Kak Caca dulu.
Kubalas dengan sebuah senyuman. Monster yang dibenci semua orang ini ternyata masih menyimpan wewangian yang sama dari dua puluh tahun yang lalu.
XXX
Malam itu, usai kejadian trauma massal, aku menemukan Kak Caca terduduk di tangga belakang rumah sakit. Tangannya menggenggam botol air mineral yang tinggal setengah, tapi matanya kosong menatap langit.
“Dulu, waktu pertama kali melihat mayat di kamar jenazah, aku muntah-muntah,” ujarnya tiba-tiba, suaranya terdengar parau.
Aku terkejut. Ini pertama kalinya ia bercerita tentang masa lalu.
“Ayahku bilang, dokter yang baik bukan yang tak pernah takut, tapi yang tetap bertindak meski ketakutan.”
Ia memutar botol air, tetesan terakhir jatuh ke tanah seperti air mata yang tak pernah keluar.
Aku duduk di sampingnya, mengingat hari pertama magang di UGD. Saat itu, seorang pasien gagal napas di depan mataku, dan aku hanya membeku seperti patung. Kak Caca-lah yang mendorongku keras hingga hampir terjatuh.
“Jangan diam saja! Itu sama saja kau membunuh diri sendiri!” bentaknya waktu itu.
Sekarang, di bawah cahaya bulan yang redup, aku melihat bayangan anak kecil dalam sosoknya yang tegap.
“Kau tahu kenapa aku keras padamu?” tanyanya tanpa menatap. “Karena suatu hari, kau akan berdiri sendirian di ruang gawat, dan taka da lagi suara yang akan membentakmu untuk bertindak.”
Angin malam berhembus membawa bau antiseptik dari baju kami. Tiba-tiba, Kak Caca berdiri dan merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sebuah stetoskop tua – model klasik yang sudah usang.
“Ini pemberian ayahku dulu,” katanya sambil memaksanya ke tanganku. “Dia juga pembimbing yang paling sering membentakku saat aku masih seorang residen dokter dulu.”
Aku memegang benda itu, merasakan beratnya yang tak sebanding dengan maknanya. Di bagian logamnya terukir inisial “A.F”- Ahmad Fadli, nama ayahnya yang terkenal sebagai dokter senior. Saat itu, baru kusadari, semua bentakan, semua kesempurnaaan yang dituntutnya merupakan warisan yang sama persis seperti yang diterimanya dulu.
XXX
Pagi yang cerah tiba-tiba berubah kacau ketika sirene ambulans meraung-raung. Seorang wanita hamil tua dibawa masuk dengan tekanan darah 70/40 dan pendarahan pervaginam masif .
“Plasenta previa grade IV !” teriak seorang bidan.
Kak Caca langsung mengambil alih, tapi kali ini ada yang berbeda. Matanya yang biasanya dingin terlihat panik sekilas. Aku tahu kenapa. Ibu dan adiknya dulu meninggal karena kondisi persis seperti ini.
“Ridho, persiapan sectio caesarea darurat !” perintahnya sambil menekan perdarahan dengan kassa steril.
Tapi aku melihat tangannya tampak gemetar halus. Tiba-tiba, ingatanku melayang pada cerita Kak Caca kecil yang pernah dibisikkan kepadaku di bawah pohon manga.
“Aku mau jadi dokter biar nggak ada lagi anak yang kehilangan ibunya seperti aku.”
Tanpa pikir panjang, kupegang bahunya agak keras.
“Biar aku saja yang lakukan section-nya. Kakak urus resusitasinya.”
Untuk pertama kalinya, ia mengangguk tanpa protes.
Di ruang operasi, tanganku bergerak cepat membuat insisi Pfannenstiel . Darah menyembur deras, tapi aku ingat setiap pelajar dari Kak Caca.
“Di balik perdarahan, carilah kehidupan.”
Bayi berhasil dikeluarkan dalam kondisi biru pucat.
“APGAR 3 !” seru perawat.
Segera kulanjutkan resusitasi neonatus . Lalu, tangisan bayi itu pecah mengisi ruangan. Ketika kuangkat kepala, Kak Caca berdiri di pintu, wajahnya basah oleh keringat dan mungkin air mata. Di tangannya, monitor menunjukkan tekanan darah ibu sudah stabil.
Kami telah berhasil. Tanpa perlu kata-kata, kami tahu – hari ini, kami menyelamatkan apa yang dulu gagal diselamatkan.
Setelah kejadian itu, rumah sakit terasa berbeda. Kak Caca tak lagi membentak, tapi lebih sering diam dengan pandangan yang jauh.
Suatu malam, kutemukan ia di ruang arsip, sedang membolak-balik foto lama.
“Ibuku dulu sama seperti pasien tadi,” ujarnya pelan, jarinya menelusuri gambar wanita dengan kebaya biru yang sedang tersenyum. “Dokter waktu itu terlambat mengambil keputusan.”
Aku duduk di sampingnya, dan mulai memahami dari mana datangnya hantu-hantu yang selalu mengejar setiap tindakannya sekarang.
XXX
Minggu terakhir masa residensiku, sebuah ambulans membawa pasien gagal jantung. Tanpa harus diperintah, aku langsung memimpin resusitasi.
“epinephrine 1 mg IV!” perintahku dengan suara yang tak kala tegasnya dengan Kak Caca dulu.
Dari sudut mata, kulihat ia berdiri di belakang dengan tangan bersilang. Saat pasien akhirnya stabil, ia hanya mengangguk.
“Sudah aman,” bisikku pada perawat.
Tapi Kak Caca langsung menyambar, “Tunggu, Ridho. Periksa lagi ekstremitas bawah -nya.”
Benar saja. Ada tanda trombosis vena dalam . Hampir saja kami melewatkan bom waktu itu.
XXX
Di hari perpisahanku, ia mengajakku ke atap rumah sakit saat fajar. Kota baru mulai terbangun, lampu-lampu berkedip seperti bintang yang turun ke bumi.
“Dengar,” katanya sambil menatap cakrawala, “kedokteran bukan tentang menjadi pahlawan. Ini tentang terus belajar, bahkan dari kesalahan yang hampir kita buat.”
Ia memberiku sebuah buku catatan kecil yang berisi semua kasus langka selama ia bekerja. Di halaman pertama tertulis, “Untuk Ridho, yang mengajariku bahwa kadang, dokter juga perlu berhenti sejenak dan bernapas.”
Fajar semakin terang, menyapu sisa kegelapan yang masih tersisa di langit. Kak Caca mengambil napas dalam sebelum berbicara lagi.
“Ayahku selalu bilang, menjadi dokter itu seperti memegang lilin di tengah badai. Kau tidak hanya sekedar melindungi nyalanya, namun kau juga harus siap jika tanganmu terbakar suatu saat nanti.”
Mataku menatap lekat buku catatan di tanganku, kulitnya sudah usang tetapi isinya berkilau seperti harta karun. Tiba-tiba aku menyadari, bahwa selama ini, bentakan dan hardikannya adalah caranya untuk melindungi nyala itu, menjagaku untuk tetap waspada terhadap angin kencang yang bisa mematikan api kemanusiaan yang ada dalam diriku.
Ia berdiri dan merapikan jas putihnya yang sudah kusam.
“Jangan jadi seperti ku, Ridho,” bisiknya sambil menatapku untuk pertama kalinya dengan kerendahan hati yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Jangan biarkan rasa takut kehilangan membuatmu kehilangan dirimu sendiri.”
Di kejauhan, sirene ambulans berbunyi lagi, memanggil kami untuk kembali ke medan perang. Tapi kali ini, Kak Caca tidak buru-buru turun. Ia tetap diam sebentar, menikmati keheningan yang langka, seolah ingin mencetak momen ini dalam ingatannya.
Ketika kami akhirnya berjalan menuju pintu tangga, sinar matahari pagi menerpa wajahnya, mengungkapkan garis-garis halus yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya.
Di saat itulah aku benar-benar mengerti. Di balik topeng dokter yang sempurna dan tak kenal ampun, ada manusia yang lebih rapuh dan lebih kuat dari yang bisa dibayangkan siapapun.
Aku menggenggam erat buku catatan itu, siap meneruskan perjalanan ini. Bukan sebagai bayangannya, bukan pula sebagai lawannya, tapi sebagai Ridho. Seorang residen yang pernah diajari oleh seorang “monster” untuk menemukan hati seorang dokter di balik segala prosedur dan protocol.
Kini aku berdiri di rumah sakit yang sama dengannya bukan lagi sebagai anak kecil yang menatapnya dari jauh, melainkan sebagai residen UGD yang berada di bawah bimbingannya.
Tapi Kak Caca yang sekarang sudah jauh berbeda. Ia masih sosok yang cerdas, bahkan lebih. Dengan segudang lisensi dan predikatnya sebagai dokter termuda. Tangannya juga sangat lincah di meja operasi. Tak pernah sekali pun terlihat goyah setelah mengambil keputusan.
Senyum hangatnya telah berganti dengan tatapan dingin, kata-katanya yang dulu menenangkan kini berubah menjadi sarkasme yang melukai. Aku sering menerima bentakannya, seperti residen-residen sebelumnya. Yang berbeda, mereka menyerah, mengalami trauma, dan bahkan memutuskan berhenti menjadi dokter setelah memasuki “neraka” di bawah bimbingannya.
Tapi aku tidak bisa membencinya. Karena aku tau, UGD bukan tempat yang cocok untuk bersikap lembut. Setiap detik adalah golden time, setiap gerakan harus presisi. Maka dari itu, Kak Caca memperlakukan kami seperti mesin karena nyawa pasien tak bisa menunggu belas kasihan.
Aku juga melihatnya sendiri. Ketika ia menyelamatkan seorang anak kecil yang kehabisan napas karena tersedak, tangannya bergerak cepat, suaranya tegas memerintah tim, tanpa ragu.
Dan setelah anak itu selamat. Keluarga pasien langsung menangis berterima kasih, untuk sejenak, aku melihat senyum Kak Caca yang dulu – ramah, hangat, dan manusiawi.
XXX
Setiap kali alarm UGD berbunyi, tubuhku langsung tegang. Kak Caca sudah berdiri di tengah keriuhan, matanya memindai ruangan seperti elang yang membidik mangsa.
“Ridho! Pasien trauma kecelakaan, tekanan darah 80/50, nadi cepat!” suaranya memecah kebisingan.
Aku segera berlari, membuka set infus dengan tangan gemetar, tapi tangannya yang dingin langsung menyambar pergelanganku
“Jangan ragu. Tusuk sekali dengan tepat. Nyawanya bergantung pada caramu memasang jalur ini.”
Napasku berat, tapi aku mengangguk. Di sini, ragu berarti membunuh.
Aku jadi ingat ingat dulu, waktu aku jatuh dari sepeda dan lututku berdarah, Kak Caca yang masih SMP sudah bisa membersihkan lukaku dengan sabar.
“Nanti juga sembuh,” bisiknya sambil meniup lukaku seperti ibu.
Sekarang, di ruang resusitasi , ia menyobek baju pasien dnegan gerakan kasar.
“Luka tusuk dada! Segera needle decompression !” teriaknnya.
Tanganku hampir menjatuhkan jarum, tapi bayangan senyumnya dulu memberiku kekuatan. Aku menusuk tepat di ruang interkostal kedua, dan desisan udara keluar – paru-paru yang kolaps mulai mengembang lagi.
“Lambat!” hardiknya setelah pasien stabil. “Kau pikir ini bermain dokter-dokteran?!”
Aku hanya bisa menunduk dalam diam, mengigit bibir bawah. Tapi aku tahu, di balik amarahnya, ada pelajaran berharga. Di UGD, keterampilan harus sempurna bukan untuk pujian, tapi karena satu saja kesalahan bisa menyebabkan kematian.
Dan malam itu, aku melihatnya duduk sendirian di ruang istirahat, tangannya masih ada jejak darah pasien, matanya kosong. Untuk pertama kalinya, aku melihat keretakan di bentengnya yang kokoh. Kak Caca yang tak kenal Lelah itu ternyata juga manusia.
XXX
Dulu, Ketika aku demam tinggi, Kak Caca akan datang dan membawakanku es batu yang dibungkus handuk. Kami berdua terbiasa saling bergantung satu sama lain, karena semua orang dewasa di rumah kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
“Tempelkan ini, biar panasnya turun,” katanya sambil mengelus kepalaku.
Sekarang, di ruang gawat darurat, tangannya yang sama akan mencengkeram bahuku dengan kuku yang nyaris menusuk kulit padahal ia selalu memotong pendek.
“Pasien syok hipovolemik ! Segera pasang dua jalur infus besar-besar!” Suaranya seperti petir di telingaku. Aku langsung buru-buru mencari vena yang sudah kolaps , tangan ini masih terlalu lamban baginya.
“Kau terlalu banya berpikir!” bentaknya saat jarum pertama gagal masuk. Darah menetes dari lengan pasien yang suda biru kebiruan. Aku berusaha menarik napas dalam, mencoba mengingat tekni yang diajarkannya.
“Vena kolaps? Cari yang dalam, gunakan indra peraba bukan penglihat.”
Kali ini, jarum masuk dengan mulus, caira NaCl 0,9% mengalir deras. Kak Caca hanya mendengus, tapi dari sudut mataku, aku melihat anggukan singkatnya. Sebuah pengakuan yang tak pernah diucapkannya.
Monitor EKG menunjukkan garis yang semakin melemah.
“Ventricular tachycardia !” teriak seorang perawat.
Sebelum aku bereaksi, Kak Caca sudah menyambar defibrillator .
“Clear!”
Tubuh pasien melengkung saat kejutan listrik mengalir. Sekali, dua kali… Lalu, detak jantung kembali normal. Kak Caca memandangku tajam, “Kalau kau ragu-ragu lagi, aku akan memintamu pergi dari sini!”
Tapi aku tahu, di balik ancamannya, ada pesan yang lebih dalam. Jangan biarkan ketakutanmu membunuh pasien.
XXX
Jam 3 pagi, UGD sepi kecuali monitor yang berbunyi ritmis. Kak Caca berdiri di depan jendela, bayangannya memantul di kaca yang berembun.
Aku ingat dulu, saat hujan deras seperti ini, ia pernah memelukku erat Ketika petir menggelegar.
“Jangan takut, itu cuma suara,” bisiknya waktu itu.
Sekarang air hujan yang sama mengali di kaca jendela, tapi yang terdengar hanya suaranya yang parau memberi instruksi pada perawat jaga.
"Siapkan 1 mg epinephrine untuk pasien anafilaksis di ruang 3.”
Tak ada lagi pelukan, taka da lagi kata-kata penghibur.
Tiba-tiba, seorang ibu tua dibawa masuk dengan wajah kebiruan.
“Edema laring !” teriak seorang EMT .
Kak Caca bergerak seperti kilat, laringoskop sudah di tangannya sebelum aku sempat mengambil nafas.
“Ridho, intubasi !”
Aku menggigit bibir. Latikan di manekin jauh berbeda dengan tenggorokan manusia yang bengkak dan berdarah. Tanganku yang memegang tube gemetaran. Tiba-tiba tangannya yang dingin menutupi tanganku.
“Tepat di pita suara,” bisiknya di telingaku, “Pelan… ya, baik.”
Untuk sesaat, aku merasa seperti anak kecil lagi yang diajari mengikat tali sepatu.
Pasien stabil tapi Kak Caca langsung berbalik meninggalkanku.
“Masih lambat,” geramnya sambil melepas sarung tangan berlumuran darah.
Tapi malam itu, di wajahnya yang biasanya keras kini terlihat lelah seperti anak kecil. Ada bekas air mata yang mongering di pipinya. Aku diam-diam meletakkan jas labuku di bahunya. Mungin di suatu tempat di dalam diri dokter yang kejam ini, masih ada Kak Caca baik hati yang tersembunyi di balik tumpukan tanggung jawab yang terlalu berat untuk dipikul sendiri.
XXX
Pagi itu, seorang anak kecil masuk dengan luka bakar di separuh tubuhnya. Jeritannya menusuk ruang UGD seperti sirene. Kak Caca yang biasanya bergerak seperti badai tiba-tiba membeku.
Mataku menangkap jemarinya yang bergemetar halus sebelum ia mengatupkan tangan menjadi kepalan. Aku terkejut. Ini pertama kalinya ia menyerahkan pasien kritis padauk tanpa campur tangan.
Saat membersihkan luka itu, tanganku seolah bergerak sendiri. Aku ingat dulu, saat Kak Caca mengajariku cara mengobati luka bakar ringan yang ada di tanganku setelah aku dengan isengnya memegang knalpot motor.
“Air mengalir, 20 menit penuh,” katanya sambil memegangi tanganku di bawah keran.
Kini, air mata anak itu bercampur dengan larutan NaCl yang ku-alirkan di kulitnya yang melepuh. Dari sudut mata, kulihat Kak Caca berdiri di pintu, wajahnya keras tapi matanya merah. Baru kusadari, anak ini mungkin seusia kami dulu.
“Apa kakak baik-baik saja?” tanyaku Ketika kamo akhirnya beristirahat.
Ia menatapku tajam, lalu tawa pahit keluar dari bibirnya yang kering. “Di UGD, pertanyaan itu adalah sebuah kemewahan.”
Tapi aku melihat caranya menggenggam foto di dompetnya – gambar kami berdua waktu kecil, diambil saat ia memenangkan lomba cerdas cermat.
“Mereka bilang aku monster,” bisiknya. “Tapi lebih baik disebut monster daripada membiarkan orang mati karena kebaikan palsu.”
Aku diam. Untuk pertama kalinya aku benar-benar mengerti. Kerasnya Kak Caca adalah bentuk pengorbanan yang tak akan bisa dipahami semua orang.
XXX
Hari berganti dengan deretan pasien yang tak pernah berakhir. Dan di suatu senja, sebuah ambulan meraung-raung membawa korban tabrakan berantai. Lima pasien sekaligus membanjiri UGD. Kak Caca berdiri di tengah keriuhan seperti jenderal di medan perang.
“Ridho, tangani anak perempuan di troli ke tiga!” teriaknya sambil membuka dada seorang pria dengan gunting trauma.
Gadis kecil itu pucat, nafasnya tersengal-sengal. Aku segera memeriksa dan mendapati bahwa itu adalah paradoxial chest movement . “Flail Chest ,” bisikku pada diri sendiri, mengingat pelajaran Kak Caca tentang trauma tumpul.
Tanganku otomatis meraih selimut trauma untuk stabilisasi dinding dada.
“Tolong… sakit…,” rintih anak itu. Suaranya mengingatkanku pada Kak Caca kecil yang pernah menangis saat kakinya patah setelah jatuh dari pohon.
Aku menekan pelan di bagian fluktuasi .
“Nak, Tarik napas pelan-pelan ya,” bisikku sambil menyiapkan needle decompression jika diperlukan.
Di seberang ruangan, Kak Caca sedang melakukan thoracotomy darurat. Darah menyembur ke wajahnya, tapi tangannya terus bergerak presisi seperti mesin.
Ketika situasi mulai terkendali, aku melihat Kak Caca bersandar di tembok, sarung tangannya berlumuran darah dan cairan tubuh.
“Laporan kondisi!” perintahnya pendek.
Aku menyampaikan hasil observasi -ku tentang gadis kecil tadi. Tiba-tiba, tangannya yang biasanya kasar menepuk bahuku.”Bagus.” Hanya satu kata itu, tapi terasa lebih berharga dari semua pujian di dunia. Dan di balik bau disenfektan dan darah, kudeteksi aroma khas masa kecil. Minyak kayu putih yang selalu dipakai Kak Caca dulu.
Kubalas dengan sebuah senyuman. Monster yang dibenci semua orang ini ternyata masih menyimpan wewangian yang sama dari dua puluh tahun yang lalu.
XXX
Malam itu, usai kejadian trauma massal, aku menemukan Kak Caca terduduk di tangga belakang rumah sakit. Tangannya menggenggam botol air mineral yang tinggal setengah, tapi matanya kosong menatap langit.
“Dulu, waktu pertama kali melihat mayat di kamar jenazah, aku muntah-muntah,” ujarnya tiba-tiba, suaranya terdengar parau.
Aku terkejut. Ini pertama kalinya ia bercerita tentang masa lalu.
“Ayahku bilang, dokter yang baik bukan yang tak pernah takut, tapi yang tetap bertindak meski ketakutan.”
Ia memutar botol air, tetesan terakhir jatuh ke tanah seperti air mata yang tak pernah keluar.
Aku duduk di sampingnya, mengingat hari pertama magang di UGD. Saat itu, seorang pasien gagal napas di depan mataku, dan aku hanya membeku seperti patung. Kak Caca-lah yang mendorongku keras hingga hampir terjatuh.
“Jangan diam saja! Itu sama saja kau membunuh diri sendiri!” bentaknya waktu itu.
Sekarang, di bawah cahaya bulan yang redup, aku melihat bayangan anak kecil dalam sosoknya yang tegap.
“Kau tahu kenapa aku keras padamu?” tanyanya tanpa menatap. “Karena suatu hari, kau akan berdiri sendirian di ruang gawat, dan taka da lagi suara yang akan membentakmu untuk bertindak.”
Angin malam berhembus membawa bau antiseptik dari baju kami. Tiba-tiba, Kak Caca berdiri dan merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sebuah stetoskop tua – model klasik yang sudah usang.
“Ini pemberian ayahku dulu,” katanya sambil memaksanya ke tanganku. “Dia juga pembimbing yang paling sering membentakku saat aku masih seorang residen dokter dulu.”
Aku memegang benda itu, merasakan beratnya yang tak sebanding dengan maknanya. Di bagian logamnya terukir inisial “A.F”- Ahmad Fadli, nama ayahnya yang terkenal sebagai dokter senior. Saat itu, baru kusadari, semua bentakan, semua kesempurnaaan yang dituntutnya merupakan warisan yang sama persis seperti yang diterimanya dulu.
XXX
Pagi yang cerah tiba-tiba berubah kacau ketika sirene ambulans meraung-raung. Seorang wanita hamil tua dibawa masuk dengan tekanan darah 70/40 dan pendarahan pervaginam masif .
“Plasenta previa grade IV !” teriak seorang bidan.
Kak Caca langsung mengambil alih, tapi kali ini ada yang berbeda. Matanya yang biasanya dingin terlihat panik sekilas. Aku tahu kenapa. Ibu dan adiknya dulu meninggal karena kondisi persis seperti ini.
“Ridho, persiapan sectio caesarea darurat !” perintahnya sambil menekan perdarahan dengan kassa steril.
Tapi aku melihat tangannya tampak gemetar halus. Tiba-tiba, ingatanku melayang pada cerita Kak Caca kecil yang pernah dibisikkan kepadaku di bawah pohon manga.
“Aku mau jadi dokter biar nggak ada lagi anak yang kehilangan ibunya seperti aku.”
Tanpa pikir panjang, kupegang bahunya agak keras.
“Biar aku saja yang lakukan section-nya. Kakak urus resusitasinya.”
Untuk pertama kalinya, ia mengangguk tanpa protes.
Di ruang operasi, tanganku bergerak cepat membuat insisi Pfannenstiel . Darah menyembur deras, tapi aku ingat setiap pelajar dari Kak Caca.
“Di balik perdarahan, carilah kehidupan.”
Bayi berhasil dikeluarkan dalam kondisi biru pucat.
“APGAR 3 !” seru perawat.
Segera kulanjutkan resusitasi neonatus . Lalu, tangisan bayi itu pecah mengisi ruangan. Ketika kuangkat kepala, Kak Caca berdiri di pintu, wajahnya basah oleh keringat dan mungkin air mata. Di tangannya, monitor menunjukkan tekanan darah ibu sudah stabil.
Kami telah berhasil. Tanpa perlu kata-kata, kami tahu – hari ini, kami menyelamatkan apa yang dulu gagal diselamatkan.
Setelah kejadian itu, rumah sakit terasa berbeda. Kak Caca tak lagi membentak, tapi lebih sering diam dengan pandangan yang jauh.
Suatu malam, kutemukan ia di ruang arsip, sedang membolak-balik foto lama.
“Ibuku dulu sama seperti pasien tadi,” ujarnya pelan, jarinya menelusuri gambar wanita dengan kebaya biru yang sedang tersenyum. “Dokter waktu itu terlambat mengambil keputusan.”
Aku duduk di sampingnya, dan mulai memahami dari mana datangnya hantu-hantu yang selalu mengejar setiap tindakannya sekarang.
XXX
Minggu terakhir masa residensiku, sebuah ambulans membawa pasien gagal jantung. Tanpa harus diperintah, aku langsung memimpin resusitasi.
“epinephrine 1 mg IV!” perintahku dengan suara yang tak kala tegasnya dengan Kak Caca dulu.
Dari sudut mata, kulihat ia berdiri di belakang dengan tangan bersilang. Saat pasien akhirnya stabil, ia hanya mengangguk.
“Sudah aman,” bisikku pada perawat.
Tapi Kak Caca langsung menyambar, “Tunggu, Ridho. Periksa lagi ekstremitas bawah -nya.”
Benar saja. Ada tanda trombosis vena dalam . Hampir saja kami melewatkan bom waktu itu.
XXX
Di hari perpisahanku, ia mengajakku ke atap rumah sakit saat fajar. Kota baru mulai terbangun, lampu-lampu berkedip seperti bintang yang turun ke bumi.
“Dengar,” katanya sambil menatap cakrawala, “kedokteran bukan tentang menjadi pahlawan. Ini tentang terus belajar, bahkan dari kesalahan yang hampir kita buat.”
Ia memberiku sebuah buku catatan kecil yang berisi semua kasus langka selama ia bekerja. Di halaman pertama tertulis, “Untuk Ridho, yang mengajariku bahwa kadang, dokter juga perlu berhenti sejenak dan bernapas.”
Fajar semakin terang, menyapu sisa kegelapan yang masih tersisa di langit. Kak Caca mengambil napas dalam sebelum berbicara lagi.
“Ayahku selalu bilang, menjadi dokter itu seperti memegang lilin di tengah badai. Kau tidak hanya sekedar melindungi nyalanya, namun kau juga harus siap jika tanganmu terbakar suatu saat nanti.”
Mataku menatap lekat buku catatan di tanganku, kulitnya sudah usang tetapi isinya berkilau seperti harta karun. Tiba-tiba aku menyadari, bahwa selama ini, bentakan dan hardikannya adalah caranya untuk melindungi nyala itu, menjagaku untuk tetap waspada terhadap angin kencang yang bisa mematikan api kemanusiaan yang ada dalam diriku.
Ia berdiri dan merapikan jas putihnya yang sudah kusam.
“Jangan jadi seperti ku, Ridho,” bisiknya sambil menatapku untuk pertama kalinya dengan kerendahan hati yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Jangan biarkan rasa takut kehilangan membuatmu kehilangan dirimu sendiri.”
Di kejauhan, sirene ambulans berbunyi lagi, memanggil kami untuk kembali ke medan perang. Tapi kali ini, Kak Caca tidak buru-buru turun. Ia tetap diam sebentar, menikmati keheningan yang langka, seolah ingin mencetak momen ini dalam ingatannya.
Ketika kami akhirnya berjalan menuju pintu tangga, sinar matahari pagi menerpa wajahnya, mengungkapkan garis-garis halus yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya.
Di saat itulah aku benar-benar mengerti. Di balik topeng dokter yang sempurna dan tak kenal ampun, ada manusia yang lebih rapuh dan lebih kuat dari yang bisa dibayangkan siapapun.
Aku menggenggam erat buku catatan itu, siap meneruskan perjalanan ini. Bukan sebagai bayangannya, bukan pula sebagai lawannya, tapi sebagai Ridho. Seorang residen yang pernah diajari oleh seorang “monster” untuk menemukan hati seorang dokter di balik segala prosedur dan protocol.
Diubah oleh djrahayu 22-05-2025 09:06






riodgarp dan 9 lainnya memberi reputasi
10
354
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan