Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Tulang Ikan dan Sepotong Langit
Tulang Ikan dan Sepotong Langit

Di sebuah kampung pesisir bernama Tanjung Layar, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Adan, usia 12 tahun. Ia tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai pemisah duri ikan di tempat pengasapan milik tetangga. Ayahnya sudah lama meninggal, tersapu badai saat melaut bertahun-tahun silam. Sejak itu, Adan berhenti bercita-cita menjadi pelaut. Baginya, laut hanya menyimpan luka, bukan rezeki.

Setiap pagi, Adan membantu ibunya menjemur ikan asin, lalu berangkat sekolah dengan seragam lusuh dan sandal jepit yang putus sebelah. Namun Adan bukan anak biasa. Di matanya, kampung mereka bukan sekadar pasir, garam, dan bau ikan. Ia selalu memandang langit, mencatat awan, dan mencuri waktu untuk menggambar segala yang ia lihat: kapal pecah, bangau terbang, bahkan potret ibunya yang lelah.

“Langit selalu berubah, Bu. Tapi selalu cantik,” katanya suatu sore.

Ibunya hanya tersenyum, tangannya tetap sibuk memilah tulang ikan dari daging yang akan diasap.

Satu-satunya tempat Adan bisa merasa bebas adalah atap rumahnya yang miring. Di sana, ia duduk setiap sore, membawa buku gambar dan pensil warna yang ia kumpulkan dari sisa-sisa milik teman. Ia memimpikan sekolah seni, tapi tahu itu seperti memimpikan bintang jatuh mendarat di jemuran mereka.

Hingga suatu hari, sekolah Adan mengumumkan lomba melukis nasional bertema “Mimpi dari Tanah Air.” Hadiahnya adalah beasiswa penuh ke Jakarta dan pameran di galeri ternama.

Teman-temannya mencibir.

“Adan? Mana bisa menang. Punya cat air aja kagak,” kata Dito, anak juragan warung.

Tapi Adan diam-diam mendaftar. Ia melukis dengan sisa krayon yang sudah tinggal separuh, mencampur warna pakai air laut. Lukisannya menggambarkan seorang ibu duduk di atas tumpukan tulang ikan, menatap langit senja dengan siluet anak kecil yang menggambar langit.

Ia beri judul: “Tulang Ibu dan Sepotong Langit.”

Tiga minggu berlalu. Ia hampir lupa soal lukisan itu, hingga kepala sekolah memanggilnya ke kantor. Di sana, ada dua orang berpakaian rapi, membawa kamera dan map.

“Adan, kamu juara pertama nasional,” kata pria itu sambil tersenyum.

Dunia Adan berhenti sejenak. Ia menatap ibunya yang datang menyusul dengan wajah bingung, lalu memeluknya erat. Untuk pertama kalinya, mata ibunya basah bukan karena asap ikan, tapi karena haru.

Beberapa bulan kemudian, Adan pindah ke Jakarta. Ia belajar seni, tinggal di asrama, dan pertama kalinya naik pesawat.

Di langit pesawat itu, ia memandang ke bawah. Kampung Tanjung Layar tak terlihat, tapi di hatinya masih tergambar jelas: atap rumah, jemuran ikan, dan wajah ibu yang selalu menengadah menatap langit.

Dari atas awan, Adan menulis dalam jurnal kecilnya:
"Tulang bisa hancur, tapi mimpi tidak. Langit ini milik semua orang, bahkan anak pesisir dengan krayon setengah hidup."
lsodfhikc8Avatar border
lsodfhikc8 memberi reputasi
1
15
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan