- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ruang Tunggu Bernama Hidup


TS
yantosau
Ruang Tunggu Bernama Hidup

Langit sore Jakarta sedang muram saat Alvin duduk di pojok ruang tunggu Terminal Kampung Rambutan. Ransel lusuh di sampingnya berisi dua potong pakaian, satu buku catatan kecil, dan impian yang sudah terlalu lama ditunda. Ia memegang tiket ke Purwokerto — kota yang dulu hanya ia dengar dari cerita Rama, sahabatnya semasa SMA.
Alvin dan Rama sudah bersahabat sejak kelas 10. Mereka berdua anak dari keluarga sederhana, tapi berbeda nasib. Rama adalah anak penjual mie ayam yang selalu ranking 1, sementara Alvin — anak tukang las — sering kali harus pontang-panting cari uang tambahan dengan jadi loper koran sepulang sekolah.
Tapi Rama tak pernah meninggalkannya. Mereka saling mendukung, berbagi mimpi di bawah jembatan layang dekat rel kereta, tempat mereka biasa nongkrong malam-malam.
“Suatu hari, Vin, gue mau kuliah di Jogja. Mau jadi dosen,” kata Rama waktu itu.
“Gue? Nggak tahu. Mungkin buka bengkel sendiri, asal bisa hidup,” Alvin tertawa, padahal dalam hati ia juga punya mimpi kuliah. Tapi ia tahu, mimpi itu mahal.
Tahun berlalu. Rama benar-benar lolos beasiswa ke UGM. Alvin? Ia berhenti sekolah dan bekerja sebagai buruh las. Ia bangga melihat Rama maju, tapi diam-diam merasa tertinggal.
Mereka sempat kehilangan kontak beberapa tahun. Hingga suatu malam, Rama mengirim pesan lewat media sosial. Ia sekarang mengajar di Purwokerto, membuka kelas menulis gratis untuk anak-anak desa.
“Datanglah kapan-kapan. Kita ngobrol lagi,” tulisnya.
Pesan itu seperti menyentak Alvin. Hidupnya selama ini hanya soal bertahan. Gajinya pas-pasan, ayahnya sudah sakit-sakitan, dan lingkungannya pun tak memberi ruang untuk tumbuh. Tapi pesan Rama membuat pikirannya tak tenang.
“Gue ke sana, ya, Ram,” balas Alvin dua hari kemudian.
Dan kini, ia duduk sendiri di terminal, menunggu bus malam sambil menatap sekeliling. Orang-orang datang dan pergi, seperti hidup. Tak ada yang tahu siapa akan ke mana, atau untuk apa mereka berjalan sejauh ini.
Bus datang. Alvin naik, duduk di kursi dekat jendela. Lampu-lampu kota Jakarta perlahan tertinggal di belakang. Ia merasa cemas, tapi juga sedikit bebas.
Delapan jam perjalanan terasa seperti mimpi. Pagi harinya, ia turun di terminal Purwokerto dan langsung mencari alamat yang Rama berikan. Sebuah rumah kecil dengan papan nama bertuliskan: “Kelas Tumbuh: Belajar Menulis dan Hidup”.
Rama membukakan pintu. Mereka saling menatap, terdiam, lalu tertawa kecil.
“Lu beneran datang,” kata Rama.
“Gue juga gak percaya,” jawab Alvin.
Hari-hari berikutnya penuh kehangatan. Alvin ikut membantu di kelas, mengajar anak-anak menulis cerita. Ia terkejut melihat betapa hidup bisa sesederhana itu: memberi dan tumbuh. Ia menemukan kembali sesuatu yang hilang — mimpi.
Dua bulan kemudian, Alvin menulis cerpen pertamanya. Cerita tentang dua sahabat yang bertemu di jembatan layang, dan berpisah untuk mencari cahaya masing-masing.
Ia beri judul: “Ruang Tunggu Bernama Hidup.”
---






viensi dan 3 lainnya memberi reputasi
4
172
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan