- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Langkah di Balik Senja


TS
yantosau
Langkah di Balik Senja

Angin sore menyapu pelan wajah Nara yang duduk sendiri di bangku kayu tua dekat pelabuhan kecil di ujung kota. Ia menatap laut lepas, tempat matahari perlahan tenggelam membawa serta sisa-sisa lelah hari ini. Di tangan kanannya, tergenggam erat selembar kertas yang sudah kusut. Surat panggilan kerja dari Jakarta, sesuatu yang sudah ia nanti selama tiga tahun terakhir.
Nara bukan anak orang kaya. Ia lahir dan besar di desa pesisir di Sulawesi Utara, hidup hanya dengan ibunya yang bekerja sebagai penjual ikan asin keliling. Sejak kecil ia tahu, jika ingin hidupnya berubah, ia harus pergi. Tapi pergi tidak pernah mudah, apalagi bagi seorang anak perempuan yang harus meninggalkan satu-satunya keluarga yang ia punya.
"Apa kau benar-benar mau ke Jakarta, Nara?" tanya sang ibu tadi pagi, suaranya bergetar.
Nara hanya diam. Sebenarnya hatinya ingin berteriak tidak. Tapi ia tahu, kesempatan tak datang dua kali. Ia telah melamar kerja di puluhan tempat, mengirim CV dari warnet yang jauh dari desanya, dan kadang harus menunggu satu jam hanya untuk membuka email.
"Aku harus mencoba, Ma," jawabnya akhirnya.
Ia ingat betul bagaimana ibunya diam lama, sebelum akhirnya mengangguk. Tidak ada pelukan, tidak ada tangis lebay seperti di sinetron. Hanya tatapan mata yang seakan berkata: "Hidup memang berat, Nak. Tapi aku percaya kau bisa."
Sore itu, Nara memutuskan pergi ke pelabuhan untuk merenung. Bukan karena ragu, tapi karena ia tahu, langkah yang akan ia ambil ini akan mengubah segalanya. Ia mungkin tidak akan bisa lagi makan pisang goreng buatan ibunya tiap sore, atau mendengar suara ombak yang sudah jadi lagu pengantar tidurnya sejak kecil.
Tapi ia juga tahu, hidup bukan hanya tentang bertahan. Hidup adalah tentang melangkah, meski dengan kaki gemetar.
Hari keberangkatan pun tiba. Nara hanya membawa satu tas ransel, isinya pakaian secukupnya, beberapa makanan kering dari ibunya, dan tentu saja... harapan. Ia naik kapal penumpang menuju pelabuhan Tanjung Priok, menempuh perjalanan dua hari dua malam.
Jakarta menyambutnya dengan panas dan hiruk-pikuk yang membuat kepalanya pening. Tapi Nara tak gentar. Ia datang ke kantor tempat ia akan bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan logistik kecil. Bukan pekerjaan bergengsi, tapi cukup untuk jadi awal.
Hari demi hari berlalu. Ia mulai terbiasa dengan kereta penuh sesak, dengan tidur hanya empat jam sehari, dengan makan seadanya agar bisa menyisihkan uang untuk dikirim ke ibu.
Di balik layar ponselnya, ia pasang foto pelabuhan di kampungnya—tempat ia duduk saat memutuskan pergi. Foto itu jadi pengingat, bahwa semua ini bukan sia-sia.
Dua tahun berlalu. Nara kini bukan lagi staf biasa. Ia naik jabatan menjadi supervisor. Ia sudah menyewa kamar kecil sendiri, dan sedang menabung untuk membawa ibunya ke Jakarta.
Dan setiap kali matahari terbenam, meski tak lagi di pelabuhan, ia selalu meluangkan waktu sejenak menatap langit senja—langit yang dulu menyaksikan awal langkahnya.
Karena ia percaya, di balik setiap senja, ada harapan yang tak pernah padam.
---




intanasara dan bang.toyip memberi reputasi
2
119
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan