Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Lampu di Ujung Lorong
Lampu di Ujung Lorong

Di sebuah gang sempit di tengah kota yang hiruk-pikuk, terdapat sebuah rumah tua yang hampir tak pernah diperhatikan orang. Rumah itu terlihat biasa dari luar, dengan cat tembok yang mengelupas dan jendela kusam yang nyaris tertutup tirai abu-abu. Namun, setiap malam, satu hal selalu menarik perhatian siapa pun yang lewat — sebuah lampu kecil yang menyala redup di ujung lorong sempit rumah itu.

Tidak banyak yang tahu siapa yang tinggal di sana. Tetangga hanya menyebutnya “Pak Damar”, seorang pria tua yang jarang keluar rumah, kecuali untuk membeli roti dan teh dari warung pojok setiap Sabtu pagi. Selebihnya, ia seperti bayangan, hidup dalam dunia yang hanya ia sendiri yang pahami.

Suatu hari, seorang anak laki-laki bernama Nara pindah ke daerah itu bersama ibunya. Mereka menempati kontrakan kecil tepat di seberang rumah Pak Damar. Nara yang berusia 11 tahun itu memiliki rasa ingin tahu yang besar, apalagi tentang rumah tua dengan lampu malam yang menurutnya “terlalu misterius untuk dibiarkan begitu saja.”

Setiap malam, saat semua lampu rumah telah padam, lampu kecil di rumah Pak Damar tetap menyala. Warnanya kuning temaram, seperti sinar matahari yang ditangkap dalam botol kaca. Nara penasaran — apa yang dilakukan Pak Damar di malam hari? Mengapa lampu itu tidak pernah padam?

Suatu malam, saat ibunya sudah tertidur, Nara memberanikan diri keluar. Ia berjalan mengendap-endap melintasi lorong kecil, mendekati jendela rumah Pak Damar. Di dalam, ia melihat sosok pria tua duduk di kursi rotan, menghadap dinding yang penuh dengan foto-foto tua dan lukisan tangan.

Namun yang paling mengejutkan Nara bukan itu. Di pangkuan Pak Damar, ada sebuah kotak musik kayu. Ketika dibuka, terdengar dentingan lembut yang mengiringi suasana hening malam. Dalam pantulan cahaya lampu, Nara melihat wajah Pak Damar yang tampak tersenyum… dan air mata menetes di pipinya.

Keesokan harinya, Nara memberanikan diri menyapa Pak Damar saat pria itu keluar membeli teh.

“Pak Damar… kotak musiknya bagus,” ujar Nara pelan.

Pak Damar menghentikan langkahnya, menoleh, dan tersenyum untuk pertama kalinya. “Kau melihatnya, ya?”

Nara mengangguk, takut dimarahi. Tapi pria tua itu justru tertawa kecil. “Itu hadiah terakhir dari istri saya sebelum dia pergi… tiga puluh tahun lalu.”

Sejak hari itu, Pak Damar mulai sering duduk di bangku depan rumahnya. Nara akan datang, membawa buku atau sekadar roti, dan mereka berbicara. Tentang musik, tentang lukisan, dan tentang kenangan.

Lampu di ujung lorong tetap menyala setiap malam. Tapi kini, bukan hanya karena kenangan masa lalu, melainkan karena hadirnya seseorang yang peduli. Nara telah menjadi cahaya kecil di hidup Pak Damar — seperti lampu temaram itu, tidak terang, tapi cukup hangat untuk mengusir sepi.

---
widi0407Avatar border
intanasaraAvatar border
intanasara dan widi0407 memberi reputasi
2
106
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan