Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Senja di Ujung Kosong
Senja di Ujung Kosong

Matahari tergelincir perlahan, meninggalkan jejak jingga di langit. Angin sore berhembus pelan, mengusik rambut Raka yang duduk di tepi danau buatan di pinggiran kota. Tempat itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara anak-anak bersepeda dan tawa yang sayup-sayup.

Sudah tiga bulan Raka menganggur. Setelah tempatnya bekerja tutup karena bangkrut, ia pulang ke kampung halaman dengan tangan hampa dan hati yang riuh. Impian-impian yang dulu digantungkan tinggi di ibukota kini hanya seperti layang-layang putus benang—terombang-ambing dan jatuh tanpa arah.

Setiap sore, ia datang ke danau ini. Duduk diam, memperhatikan air yang beriak ringan diterpa angin. Ada ketenangan yang ia cari, semacam keikhlasan yang belum ia temukan di rumah, di telepon dari teman-teman lama, atau dari deretan lowongan kerja yang makin hari makin membuatnya merasa kecil.

Hari ini, Raka membawa buku catatan kecil. Dulu, saat masih kuliah, ia senang menulis puisi. Tapi dunia kerja dan segala tuntutan membuat kebiasaan itu terpinggirkan. Kini, dengan waktu yang melimpah, ia mencoba menyusun kata-kata lagi. Menulis bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk dirinya sendiri—sebagai jembatan menuju jati diri yang mungkin sempat hilang.

Ia menuliskan satu kalimat:
"Aku rindu menjadi diriku yang tak takut gagal."

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Seorang perempuan dengan jaket denim dan tas ransel kusam berdiri, menatap ke danau. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya hidup. Ia tersenyum kecil.

"Kamu sering di sini, ya?" tanyanya.

Raka mengangguk. "Iya. Semacam tempat pelarian."

"Aku juga." Perempuan itu duduk di sampingnya, menjaga jarak. "Namaku Lila. Baru seminggu ini tinggal di kota ini. Kabur dari Jakarta."

Raka tersenyum. "Kabur dari apa?"

"Dari kehidupan yang tidak lagi terasa milik sendiri."

Obrolan mereka mengalir pelan. Tentang pekerjaan, tentang kehilangan arah, tentang cita-cita masa kecil yang terkubur oleh realita. Raka merasa seperti bercermin. Lila pun, tampaknya, merasa hal yang sama. Di antara senja dan kesepian yang sama, mereka menemukan ruang kecil untuk saling mengerti.

Hari-hari berikutnya, Raka dan Lila jadi sering bertemu. Mereka menulis bersama, kadang menggambar, kadang hanya diam berdampingan. Tak ada tekanan, tak ada tujuan muluk. Hanya hadir, mendengarkan, dan menjadi diri sendiri.

Pada suatu sore, Lila menunjukkan tulisannya kepada Raka. Sebuah cerita pendek tentang perempuan yang mencari cahaya dalam gelapnya kota. "Kurasa ini tentang aku," katanya.

Raka membaca dengan saksama. Kata-kata itu sederhana, tapi dalam. Seperti suara hati yang tak pernah bisa dibohongi.

"Aku ingin kita bikin buku bareng," ujar Raka kemudian. "Kumpulan cerita dari kita, untuk orang-orang seperti kita."

Lila mengangguk, matanya berkaca. "Untuk mereka yang tersesat tapi belum menyerah."

Dan begitulah, dari pertemuan yang tidak disengaja, dua jiwa yang patah mulai merangkai kembali serpih-serpih harapan. Mungkin mereka belum tahu ke mana langkah ini akan membawa. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, senja tak lagi terasa sepi.
akbaramin89Avatar border
intanasaraAvatar border
intanasara dan akbaramin89 memberi reputasi
2
158
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan