- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pohon yang Menyimpan Waktu


TS
yantosau
Pohon yang Menyimpan Waktu

Di sebuah desa kecil bernama Daramuda, berdiri satu pohon tua yang sudah ada sejak zaman nenek moyang pertama. Pohon itu menjulang tinggi di tengah lapangan, lebih tinggi dari semua rumah, lebih rimbun dari hutan sekitarnya. Penduduk menyebutnya **Pohon Waktu**, karena katanya, pohon itu menyimpan kenangan masa lalu dan bisikan masa depan.
Orang-orang percaya, siapa pun yang menyentuh batang pohon itu saat malam purnama akan mendengar suara-suara aneh. Beberapa mengatakan itu suara arwah, beberapa mengaku mendengar tangisan, tawa, atau bahkan suara mereka sendiri dari masa kecil. Tidak semua percaya, tetapi tidak ada yang berani menebang pohon itu. Bahkan anak-anak pun takut bermain terlalu dekat.
Namun, seorang remaja bernama Tama justru penasaran. Ia bukan anak yang percaya hal mistis, apalagi cerita rakyat. Tama lebih suka membaca buku-buku ilmu pengetahuan, membongkar radio tua, dan merakit jam dari suku cadang bekas. Ayahnya adalah seorang montir motor, dan ibunya penjual gorengan di pasar. Tama tumbuh sebagai anak rasional yang tidak mudah takut.
Suatu malam, ketika bulan purnama menggantung sempurna di langit, Tama menyelinap ke lapangan seorang diri. Ia ingin membuktikan bahwa semua cerita tentang Pohon Waktu hanyalah bualan belaka.
Dengan senter kecil, ia mendekati pohon itu. Rerumputan bergoyang pelan, angin sejuk meniup lehernya. Batang pohon itu kasar dan lebar, seolah bisa menelan tiga orang dewasa jika dirangkul bersama-sama.
Tama mengulurkan tangan dan menyentuh permukaannya.
Detik itu juga, dunia seakan berhenti. Angin membeku. Suara jangkrik lenyap. Senter di tangannya mati. Lalu, ia mendengar suara—bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya.
> “Tama... kamu akan kehilangan sesuatu jika tetap di jalur ini…”
Tama terkejut. Suara itu seperti suara ibunya—tapi lebih tua, lebih berat, seperti ibunya puluhan tahun kemudian.
Lalu bayangan-bayangan muncul di hadapannya. Ia melihat dirinya sendiri, berdiri di sebuah bengkel besar, sendirian, dikelilingi mesin-mesin modern tapi sepi. Wajahnya datar. Tidak ada senyum. Di sisi lain, ia melihat dirinya sedang mengajar anak-anak kecil di sebuah kelas terbuka, tertawa, sederhana, tapi tampak bahagia.
Tama melepaskan tangannya. Semua kembali normal. Senter menyala lagi. Jantungnya berdetak cepat.
Sejak malam itu, Tama berubah. Ia mulai bertanya: “Apa tujuan hidupku sebenarnya? Apa arti waktu jika hanya untuk mengejar sesuatu yang tidak membuatku bahagia?”
Beberapa bulan kemudian, ia mengajukan beasiswa untuk sekolah pendidikan. Ia ingin menjadi guru teknik, bukan teknisi kaya seperti yang diharapkan ayahnya. Awalnya ayahnya marah, tapi ibunya diam-diam mendukung.
Tahun demi tahun berlalu. Tama menjadi guru di desa-desa terpencil, mengajarkan anak-anak cara merakit listrik sederhana, memperbaiki alat rumah tangga, dan bahkan mengenalkan komputer bekas untuk belajar coding.
Dan setiap tahun, saat bulan purnama muncul, ia selalu kembali ke Pohon Waktu. Bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk berterima kasih. Karena di situlah ia pertama kali mendengar suara masa depannya sendiri.
Dan bagi Tama, waktu bukan sesuatu yang harus dikejar, tapi sesuatu yang harus dihargai — dan dibagikan.
---


intanasara memberi reputasi
1
100
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan