- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Surat Terakhir dari Dini


TS
yantosau
Surat Terakhir dari Dini

Namaku Arka, 28 tahun, dan hidupku berhenti di pagi itu—saat aku menerima sebuah surat dengan nama pengirim yang tak mungkin: **Dini Larasati**. Dia adalah cinta pertamaku, seseorang yang telah tiada selama dua tahun terakhir karena kecelakaan lalu lintas tragis. Tapi surat ini ditulis dengan tinta segar, tanggal hari ini.
Tanganku gemetar saat membuka lipatan kertas tipis itu. Aromanya masih sama—seperti wangi bunga melati yang dulu sering ia pakai.
> “Untuk Arka, yang tak pernah benar-benar kehilangan.
>
> Saat kau membaca ini, berarti aku sudah lama pergi. Tapi percaya atau tidak, waktu bukan satu arah. Aku... menemukan cara untuk menulis dari batas antara hidup dan mati.
>
> Kau mungkin tak percaya, tapi aku masih di sini. Menunggu. Tapi bukan menunggumu mati. Aku menunggumu untuk hidup. Sepenuhnya.
>
> Aku tahu kau belum membuka lemari kecil di bawah ranjang kita. Di sana ada kotak kayu tua, isinya hal-hal yang pernah aku simpan diam-diam—karena aku tahu, satu hari nanti kau akan butuh alasan untuk terus berjalan.
>
> Arka, aku mencintaimu. Tapi kematian bukan akhir. Itu hanya babak yang berbeda. Jangan jadi orang yang terus membaca halaman yang sama karena takut menyentuh lembar berikutnya.
>
> Sampai jumpa, di tempat yang tak terburu waktu.
>
> —Dini.”
Aku tak tahu bagaimana menjelaskan apa yang kurasakan. Kengerian? Kesedihan? Harapan? Semua jadi satu. Aku langsung berlari ke kamar, membongkar ranjang yang sudah lama tak kutiduri sejak Dini pergi. Dan benar. Di sana, di bawah lapisan debu dan kain lama, sebuah kotak kecil tergeletak. Terbuat dari kayu jati, dengan ukiran burung camar di sisi tutupnya—simbol kebebasan yang Dini selalu impikan.
Aku membukanya perlahan.
Di dalamnya, ada foto-foto lama, tiket bioskop pertama kami, surat-surat cinta yang pernah kutulis dan kukira sudah dibuangnya, serta… sebuah rekaman suara dalam pemutar mini lawas.
Aku menekan tombol “play”.
> *“Halo, Arka. Kalau kamu dengar ini, berarti kamu masih bisa mendengar suaraku. Itu artinya… kamu belum terlalu jauh dariku. Dan aku senang. Aku hanya ingin kau tahu satu hal: hidup tidak menunggu siapa pun. Jadi tolong, jangan tunggu aku. Jangan tinggalkan waktumu hanya karena waktuku habis. Cintai hidupmu seperti aku mencintaimu. Sampai jumpa, sayang…”*
Tangisku pecah. Suara itu… nyata. Begitu nyata hingga aku nyaris merasa Dini duduk di sebelahku.
---
Dini meninggal dua tahun lalu. Tapi hari itu, aku belajar bahwa kematian bukan sekadar kehilangan, melainkan perubahan bentuk cinta.
Sejak saat itu, aku berubah. Aku mulai menulis lagi. Sesuatu yang dulu kulakukan hanya bersama Dini. Aku membuka ruang baca kecil untuk anak-anak di kampung—ide yang dulu ia ucapkan saat hujan turun pertama kali di bulan Juni.
Dan setiap malam, aku masih berbicara kepadanya. Bukan karena aku tak bisa move on, tapi karena aku akhirnya mengerti bahwa cinta tidak mati.
Ia hanya berganti wujud. Menjadi kenangan, menjadi arah, menjadi alasan.
---
Satu tahun setelah itu, aku menerima surat lagi. Tapi kali ini bukan dari Dini.
Surat itu dari seorang gadis kecil yang datang ke ruang baca. Ia menulis dengan tulisan belum rapi:
> “Om Arka, terima kasih sudah cerita soal Kak Dini. Aku juga kehilangan ibu. Tapi sekarang aku tahu, ibu juga enggak benar-benar hilang.”
Aku memeluk surat itu. Dini tak hanya menyelamatkanku. Ia membantu banyak jiwa menemukan jalan keluar dari duka yang tak bernama.
Dan di malam sunyi, saat langit bersih dan rembulan bundar, aku melihat bayangan samar seorang perempuan berdiri di bawah pohon mangga di halaman.
Ia tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Karena aku tahu, tidak semua yang pergi benar-benar hilang.
---


intanasara memberi reputasi
1
65
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan