- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Langkah Kecil Diujung Senja


TS
yantosau
Langkah Kecil Diujung Senja

Langit mulai berubah warna. Awan jingga berarak pelan seolah menari mengikuti lagu alam yang tak terdengar. Di sebuah desa kecil bernama Kalinusa, seorang anak laki-laki bernama Raka duduk di tepi sawah, memandangi mentari yang perlahan tenggelam.
Usianya baru sebelas tahun, tapi hidup telah mengajarkannya banyak hal—tentang kehilangan, tentang bertahan, dan tentang harapan.
Ibunya telah tiada sejak tiga tahun lalu karena demam berdarah yang tak sempat ditangani dengan cepat. Ayahnya pergi merantau ke kota dan belum pulang-pulang. Sejak itu, Raka tinggal bersama neneknya, Mbah Sumi, seorang penenun tikar pandan yang pendengarannya mulai menurun, tapi hatinya masih selembut kain sutra.
Setiap sore, Raka membantu Mbah Sumi mengangkat tikar yang sudah dijemur, lalu menjualnya ke pasar setiap dua hari sekali. Namun sore ini berbeda. Angin berhembus lebih kencang dari biasanya, membawa kabar entah dari mana. Raka merasa hatinya tidak tenang.
“Mbah,” katanya sambil menatap langit, “kalau kita punya mimpi, tapi nggak tahu cara meraihnya, harus gimana?”
Mbah Sumi berhenti menenun. Ia menatap cucunya dengan sorot mata yang telah menyimpan banyak cerita.
“Kamu tahu burung jalak di pohon beringin itu?” tanyanya pelan.
Raka mengangguk. “Yang selalu datang pagi-pagi itu?”
“Ya. Burung itu dulu pernah jatuh waktu masih kecil. Sayapnya patah. Tapi tiap pagi, dia tetap nyanyi. Nggak takut meski nggak bisa terbang jauh. Sekarang lihat… dia bisa terbang ke ujung desa.”
Raka terdiam. Ia mulai mengerti maksud sang nenek.
“Mimpi itu kayak terbang,” lanjut Mbah Sumi. “Nggak semua orang bisa langsung tinggi. Kadang, kita harus belajar jalan dulu sebelum lari. Dan kalau sayap kita patah, kita bisa tumbuhin yang baru—pelan-pelan.”
Malam itu, Raka menulis surat untuk ayahnya. Ia tulis dengan pensil yang ujungnya sudah tumpul, di atas kertas bekas bungkus mie instan.
> Ayah, Raka di sini baik-baik saja. Mbah juga sehat, meski sering batuk kalau malam. Raka ingin sekolah sampai SMA. Raka juga ingin punya warung kecil jualan jajanan. Tapi Raka tahu itu butuh waktu dan uang. Kalau Ayah belum bisa pulang, nggak apa-apa. Raka akan jaga Mbah dan belajar yang rajin. Nanti kalau Raka sudah besar, Raka janji akan bahagiain Ayah dan Mbah.
>
> Dari anakmu,
> Raka.
Ia titipkan surat itu pada Pak Wardi, tetangga yang besok akan ke kota. Raka tak tahu apakah ayahnya akan membalas, tapi ia merasa lebih lega setelah menulisnya.
Hari-hari berlalu. Raka mulai menyisihkan uang hasil menjual tikar, sedikit demi sedikit. Ia juga mulai belajar membuat es lilin dan menjualnya di depan rumah. Anak-anak desa senang, dan perlahan usahanya berkembang. Ia tak pernah berhenti bermimpi, meski jalan di depannya tak selalu terang.
Empat tahun kemudian, saat Raka duduk di bangku SMP, sebuah motor tua berhenti di depan rumah. Seorang pria dengan wajah lelah dan mata berkaca-kaca turun dari motor itu.
“Raka?” suaranya berat, gemetar.
Raka mengenali suara itu meski telah lama tak ia dengar. Ia berdiri kaku, air mata menetes tanpa bisa ditahan.
“Ayah?”
Keduanya berpelukan erat. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka. Di belakang mereka, Mbah Sumi tersenyum, lalu melanjutkan menenun tikar seperti biasa. Seolah tak ada yang berubah, padahal dunia Raka baru saja menjadi lebih lengkap.
Di ujung senja itu, langkah kecil Raka tak lagi sendiri. Ia tahu, selama ia terus berjalan—meski pelan—ia akan sampai ke tempat yang ia impikan.
---






intanasara dan 2 lainnya memberi reputasi
3
162
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan