

TS
blank.code
Fragmen Kata Andra
Ada yang bertanya: mengapa menulis puisi? Aku hanya tersenyum. Bagaimana menjelaskan hujan kepada mereka yang hanya mengenal kemarau? Bagaimana menceritakan tentang laut kepada mereka yang seumur hidup tinggal di pegunungan?
Kita menulis puisi seperti kita bernapas: tanpa perlu alasan. Kita menulis karena ada yang bergetar dalam dada, ada yang ingin keluar, ada yang harus dikatakan sebelum ia membusuk dalam diri kita dan menjadi racun.
Buku ini adalah sebuah pengakuan.
Pengakuan bahwa aku pernah jatuh cinta dan patah hati. Pernah merindukan seseorang sampai rindu itu menggumpal seperti awan di tenggorokan. Pernah merasa begitu sendiri di tengah keramaian kota. Pernah tersesat dalam labirin kenangan. Pernah ingin lari dari diri sendiri.
Kalau kau bertanya apakah semua sajak ini otobiografis, aku akan menjawab: ya dan tidak. Ya, karena setiap puisi berangkat dari sesuatu yang pernah kurasakan, kulihat, atau kudengar. Tidak, karena begitu kata-kata itu kutulis, mereka bukan lagi milikku. Mereka milik siapa saja yang membacanya.
Puisi bukan soal apa, tapi bagaimana.
Bukan soal apa yang kita lihat, tapi bagaimana cara kita melihat. Bukan soal apa yang kita rasakan, tapi bagaimana cara kita merasakan. Bukan soal apa yang kita alami, tapi bagaimana cara kita mengalami.
Di dunia yang semakin sibuk ini—di mana orang bergegas dari satu tempat ke tempat lain, dari satu momen ke momen lain, tanpa benar-benar hadir—puisi mengajak kita untuk berhenti sejenak. Untuk memperhatikan. Untuk mendengarkan. Untuk merasakan.
Ada orang-orang yang percaya bahwa puisi harus indah. Ada juga yang percaya bahwa puisi harus sulit dan rumit. Bagiku, puisi hanya perlu satu hal: kejujuran.
Kejujuran bukan berarti mengatakan segalanya tanpa filter. Kejujuran dalam puisi adalah keberanian untuk menghadapi diri sendiri, untuk melihat ke dalam cermin tanpa berkedip, untuk menggali lubang dalam diri dan tidak takut dengan apa yang mungkin kita temukan di sana.
Aku menulis puisi tidak untuk membuatmu kagum. Aku menulis puisi untuk berbagi ruang sunyi—tempat di mana jiwamu dan jiwaku mungkin bisa saling menyapa, meski hanya sebentar, meski hanya dalam bisikan.
Kita hidup di negeri yang penuh puisi, tapi juga penuh luka.
Di mana-mana ada kisah yang menunggu untuk ditulis, ada suara yang menunggu untuk didengar. Laki-laki tua yang menjual koran di lampu merah dengan mata yang masih menyimpan mimpi. Perempuan muda yang tertawa di halte bus sambil memandangi layar ponsel, seolah dunia hanya miliknya saat itu. Anak kecil yang menatap etalase toko mainan dengan kerinduan yang begitu murni.
Mereka semua adalah puisi yang berjalan. Dan kita, para penyair, hanyalah perekam tidak sempurna dari kehidupan yang terus bergerak ini.
Di rak bukuku ada Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo, dan banyak penyair hebat lainnya. Mereka adalah guru-guruku, meski sebagian besar dari mereka tidak pernah kutemui. Mereka mengajariku bahwa puisi bukan sekadar permainan kata-kata, tapi juga permainan keheningan.
Bahwa kadang-kadang, apa yang tidak dikatakan sama pentingnya dengan apa yang dikatakan.
Bahwa di antara kata dan kata, ada jeda yang penuh makna.
Bahwa puisi tidak selalu perlu menjelaskan; kadang-kadang ia cukup sekadar menunjukkan.
Kita hidup di era yang aneh. Di satu sisi, kita semakin terhubung melalui teknologi dan media sosial. Di sisi lain, kita semakin terasing dari diri sendiri dan orang lain. Kita berbagi ratusan foto, tapi menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Kita memiliki ribuan teman virtual, tapi kesepian di dunia nyata.
Di tengah kehampaan ini, puisi menawarkan sesuatu yang langka: keintiman. Pertemuan antara dua kesadaran tanpa perantara, tanpa filter, tanpa algoritma yang menentukan apa yang patut kita lihat dan apa yang tidak.
Ada hari-hari ketika aku tidak percaya pada kata-kata. Ketika bahasa terasa seperti penjara, bukan pembebasan. Ketika setiap kalimat yang kutulis terdengar palsu di telingaku sendiri.
Pada hari-hari seperti itu, aku hanya duduk dan menunggu. Menunggu sampai kata-kata kembali, seperti burung-burung yang pulang ke sarang setelah badai berlalu.
Puisi lahir dari kesabaran, bukan dari paksaan. Ia datang ketika kita berhenti mencarinya dan mulai mendengarkan—suara-suara di dalam diri kita, bisikan-bisikan dunia di sekeliling kita.
Beberapa puisi dalam buku ini ditulis di kamar sempit di tepi kota. Beberapa lainnya di kedai kopi, di antara obrolan orang-orang asing dan denting cangkir. Ada yang lahir di dalam bus, diiringi guncangan dan klakson. Ada juga yang kutulis di tepi pantai, sambil memandang ombak yang tak pernah lelah mencium bibir pasir.
Tempat-tempat itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana mereka telah mengubahku, dan bagaimana, melalui puisi ini, mereka mungkin juga akan mengubahmu.
Membaca puisi adalah tindakan intimasi. Seperti berbagi tempat tidur. Seperti membiarkan orang lain melihat lukamu. Seperti membiarkan seseorang masuk ke dalam mimpimu.
Ketika kau membaca puisi-puisiku, kau masuk ke dalam hidupku. Dan aku, dengan cara yang tidak dapat dijelaskan, masuk ke dalam hidupmu.
Aku tidak mengharapkan puisi-puisiku mengubah dunia. Aku hanya berharap mereka bisa menjadi teman—teman yang setia menemanimu di malam-malam sunyi, teman yang mengingatkanmu bahwa kau tidak sendiri dalam kegelisahanmu, teman yang berbisik bahwa ada keindahan dalam kesedihan, ada cahaya dalam kegelapan, ada harapan dalam keputusasaan.
Karena pada akhirnya, itulah mengapa kita menulis dan membaca puisi: untuk merasa sedikit lebih utuh, sedikit lebih manusiawi, sedikit lebih tidak sendiri dalam perjalanan singkat kita di dunia ini.
Kepada siapa pun yang membaca fragmen ini: Terima kasih telah memberi ruang bagi kata-kataku dalam hidupmu. Semoga mereka menemani langkahmu seperti mereka telah menemani langkahku.
Andra Mei 2025
Kita menulis puisi seperti kita bernapas: tanpa perlu alasan. Kita menulis karena ada yang bergetar dalam dada, ada yang ingin keluar, ada yang harus dikatakan sebelum ia membusuk dalam diri kita dan menjadi racun.
Buku ini adalah sebuah pengakuan.
Pengakuan bahwa aku pernah jatuh cinta dan patah hati. Pernah merindukan seseorang sampai rindu itu menggumpal seperti awan di tenggorokan. Pernah merasa begitu sendiri di tengah keramaian kota. Pernah tersesat dalam labirin kenangan. Pernah ingin lari dari diri sendiri.
Kalau kau bertanya apakah semua sajak ini otobiografis, aku akan menjawab: ya dan tidak. Ya, karena setiap puisi berangkat dari sesuatu yang pernah kurasakan, kulihat, atau kudengar. Tidak, karena begitu kata-kata itu kutulis, mereka bukan lagi milikku. Mereka milik siapa saja yang membacanya.
Puisi bukan soal apa, tapi bagaimana.
Bukan soal apa yang kita lihat, tapi bagaimana cara kita melihat. Bukan soal apa yang kita rasakan, tapi bagaimana cara kita merasakan. Bukan soal apa yang kita alami, tapi bagaimana cara kita mengalami.
Di dunia yang semakin sibuk ini—di mana orang bergegas dari satu tempat ke tempat lain, dari satu momen ke momen lain, tanpa benar-benar hadir—puisi mengajak kita untuk berhenti sejenak. Untuk memperhatikan. Untuk mendengarkan. Untuk merasakan.
Ada orang-orang yang percaya bahwa puisi harus indah. Ada juga yang percaya bahwa puisi harus sulit dan rumit. Bagiku, puisi hanya perlu satu hal: kejujuran.
Kejujuran bukan berarti mengatakan segalanya tanpa filter. Kejujuran dalam puisi adalah keberanian untuk menghadapi diri sendiri, untuk melihat ke dalam cermin tanpa berkedip, untuk menggali lubang dalam diri dan tidak takut dengan apa yang mungkin kita temukan di sana.
Aku menulis puisi tidak untuk membuatmu kagum. Aku menulis puisi untuk berbagi ruang sunyi—tempat di mana jiwamu dan jiwaku mungkin bisa saling menyapa, meski hanya sebentar, meski hanya dalam bisikan.
Kita hidup di negeri yang penuh puisi, tapi juga penuh luka.
Di mana-mana ada kisah yang menunggu untuk ditulis, ada suara yang menunggu untuk didengar. Laki-laki tua yang menjual koran di lampu merah dengan mata yang masih menyimpan mimpi. Perempuan muda yang tertawa di halte bus sambil memandangi layar ponsel, seolah dunia hanya miliknya saat itu. Anak kecil yang menatap etalase toko mainan dengan kerinduan yang begitu murni.
Mereka semua adalah puisi yang berjalan. Dan kita, para penyair, hanyalah perekam tidak sempurna dari kehidupan yang terus bergerak ini.
Di rak bukuku ada Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo, dan banyak penyair hebat lainnya. Mereka adalah guru-guruku, meski sebagian besar dari mereka tidak pernah kutemui. Mereka mengajariku bahwa puisi bukan sekadar permainan kata-kata, tapi juga permainan keheningan.
Bahwa kadang-kadang, apa yang tidak dikatakan sama pentingnya dengan apa yang dikatakan.
Bahwa di antara kata dan kata, ada jeda yang penuh makna.
Bahwa puisi tidak selalu perlu menjelaskan; kadang-kadang ia cukup sekadar menunjukkan.
Kita hidup di era yang aneh. Di satu sisi, kita semakin terhubung melalui teknologi dan media sosial. Di sisi lain, kita semakin terasing dari diri sendiri dan orang lain. Kita berbagi ratusan foto, tapi menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Kita memiliki ribuan teman virtual, tapi kesepian di dunia nyata.
Di tengah kehampaan ini, puisi menawarkan sesuatu yang langka: keintiman. Pertemuan antara dua kesadaran tanpa perantara, tanpa filter, tanpa algoritma yang menentukan apa yang patut kita lihat dan apa yang tidak.
Ada hari-hari ketika aku tidak percaya pada kata-kata. Ketika bahasa terasa seperti penjara, bukan pembebasan. Ketika setiap kalimat yang kutulis terdengar palsu di telingaku sendiri.
Pada hari-hari seperti itu, aku hanya duduk dan menunggu. Menunggu sampai kata-kata kembali, seperti burung-burung yang pulang ke sarang setelah badai berlalu.
Puisi lahir dari kesabaran, bukan dari paksaan. Ia datang ketika kita berhenti mencarinya dan mulai mendengarkan—suara-suara di dalam diri kita, bisikan-bisikan dunia di sekeliling kita.
Beberapa puisi dalam buku ini ditulis di kamar sempit di tepi kota. Beberapa lainnya di kedai kopi, di antara obrolan orang-orang asing dan denting cangkir. Ada yang lahir di dalam bus, diiringi guncangan dan klakson. Ada juga yang kutulis di tepi pantai, sambil memandang ombak yang tak pernah lelah mencium bibir pasir.
Tempat-tempat itu tidak penting. Yang penting adalah bagaimana mereka telah mengubahku, dan bagaimana, melalui puisi ini, mereka mungkin juga akan mengubahmu.
Membaca puisi adalah tindakan intimasi. Seperti berbagi tempat tidur. Seperti membiarkan orang lain melihat lukamu. Seperti membiarkan seseorang masuk ke dalam mimpimu.
Ketika kau membaca puisi-puisiku, kau masuk ke dalam hidupku. Dan aku, dengan cara yang tidak dapat dijelaskan, masuk ke dalam hidupmu.
Aku tidak mengharapkan puisi-puisiku mengubah dunia. Aku hanya berharap mereka bisa menjadi teman—teman yang setia menemanimu di malam-malam sunyi, teman yang mengingatkanmu bahwa kau tidak sendiri dalam kegelisahanmu, teman yang berbisik bahwa ada keindahan dalam kesedihan, ada cahaya dalam kegelapan, ada harapan dalam keputusasaan.
Karena pada akhirnya, itulah mengapa kita menulis dan membaca puisi: untuk merasa sedikit lebih utuh, sedikit lebih manusiawi, sedikit lebih tidak sendiri dalam perjalanan singkat kita di dunia ini.
Kepada siapa pun yang membaca fragmen ini: Terima kasih telah memberi ruang bagi kata-kataku dalam hidupmu. Semoga mereka menemani langkahmu seperti mereka telah menemani langkahku.
Andra Mei 2025
0
27
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan