- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Luka di Ujung Senja


TS
yantosau
Luka di Ujung Senja

Di sebuah kota kecil yang sunyi, hiduplah seorang pria tua bernama Pak Arman. Ia tinggal sendirian di rumah kayu sederhana yang dikelilingi ladang dan pepohonan. Istrinya telah meninggal sepuluh tahun lalu, dan anak-anaknya merantau jauh ke luar negeri. Yang menemaninya setiap hari hanyalah seekor anjing tua bernama **Bima**.
Bima bukan anjing biasa. Ia datang ke kehidupan Pak Arman pada saat yang paling kelam—tepat seminggu setelah kepergian istrinya, saat Pak Arman kehilangan semangat untuk membuka tirai jendela atau menyentuh sendok makan. Suatu pagi yang dingin, seekor anak anjing kurus dengan bulu kusam tiba-tiba muncul di beranda. Matanya penuh harap, menggigil kelaparan. Pak Arman, yang semula hendak mengusir, malah tersentuh oleh tatapan itu.
Sejak saat itu, Bima dan Pak Arman tak terpisahkan. Mereka berjalan bersama ke ladang, duduk di bawah pohon beringin tua, bahkan tidur berdampingan. Waktu berlalu. Tahun-tahun berganti. Bima tumbuh menjadi anjing yang kuat dan setia. Tapi seperti halnya Pak Arman, usia perlahan mengambil kekuatannya.
Ketika Bima mulai berjalan terpincang dan sering batuk-batuk, Pak Arman tahu waktu tak bisa dihindari. Namun ia selalu berkata, “Kita tua bareng ya, Bim. Kamu jangan tinggalin duluan.”
Sampai suatu hari hujan turun begitu deras. Petir menggelegar dan angin menderu. Bima yang lemah berusaha berdiri dari alas tidurnya, mengeong pelan, menatap Pak Arman dengan tatapan yang tak biasa—seolah berpamitan. Pak Arman segera mendekat, memeluk tubuh sahabatnya yang mulai dingin.
“Jangan pergi, Bim…,” bisiknya. Tapi waktu tak peduli pada harapan. Di detik itu, Bima menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Pak Arman.
Tangis pria tua itu pecah di tengah hujan yang membasahi wajah dan pakaiannya. Untuk pertama kalinya sejak kematian istrinya, ia menangis begitu dalam. Ia menggali tanah dengan tangannya sendiri di bawah pohon beringin, tempat kenangan mereka berdua sering tertawa bersama.
Hari-hari setelah kepergian Bima terasa hampa. Pak Arman duduk sendirian di beranda, berharap mendengar langkah kaki atau gonggongan kecil yang familiar. Tak ada.
Namun di malam-malam tertentu, ia kadang terbangun karena merasa seseorang—atau sesuatu—sedang menemaninya. Angin meniup tirai pelan. Dan di sudut kamar, seolah ada suara napas lembut yang pernah begitu ia kenal.
“Sampai jumpa nanti, Bim,” bisiknya sambil tersenyum pilu.
---
### **Akhir Cerita**
Pak Arman meninggal dengan tenang dua tahun kemudian. Tetangganya menemukannya di kursi beranda, dengan foto Bima di genggamannya. Mereka dikuburkan berdampingan—manusia dan hewan, sahabat sejati yang tak terpisahkan oleh waktu.
---
> Cerita ini menggambarkan bagaimana cinta tulus dari seekor hewan bisa menyembuhkan luka manusia, dan bagaimana kepergian mereka meninggalkan ruang hampa yang tak mudah tergantikan.


intanasara memberi reputasi
1
39
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan