- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Hujan di Bulan Mei


TS
yantosau
Hujan di Bulan Mei

Namanya Awan. Lelaki itu selalu datang ke kafe kecil di sudut Jalan Semangka setiap pukul empat sore. Duduk di meja pojok dekat jendela, memesan kopi hitam tanpa gula, lalu membuka buku yang entah sudah berapa kali ia baca ulang. Ia jarang bicara, hanya sesekali tersenyum pada barista yang menyapanya.
Dan namaku Liris. Aku pelayan di kafe itu, bekerja paruh waktu sambil menyelesaikan kuliah seni. Aku mengenal semua pelanggan tetap, tapi entah kenapa Awan selalu punya tempat berbeda di pikiranku. Mungkin karena ia tenang. Atau mungkin karena sorot matanya, seperti menyimpan ribuan kisah yang tak diucapkan.
Hari-hari berlalu, bulan berganti, dan aku mulai hafal kebiasaannya. Ia selalu datang ketika langit mulai abu-abu, seolah menunggu hujan. Kadang kami bertukar sapa singkat, kadang hanya anggukan. Tapi bagiku, itu cukup untuk membuat jantungku berdetak lebih kencang.
Sampai akhirnya, pada tanggal 3 Mei, hujan turun deras saat Awan datang seperti biasa. Tapi kali ini, ia tidak duduk di meja pojok.
Ia berdiri di depan meja bar tempatku merapikan cangkir, lalu berkata pelan, “Boleh saya duduk di sini?”
Aku terkejut, tapi mengangguk.
Hari itu, untuk pertama kalinya, kami bicara panjang. Tentang buku yang ia baca, tentang lukisan-lukisanku yang sering kupajang di dinding kafe, dan tentang hujan yang baginya bukan sekadar air langit, tapi waktu yang membekukan kenangan.
Ia bercerita tentang mantan tunangannya yang pergi setahun lalu. Tentang rencana pernikahan yang batal seminggu sebelum hari H. Tentang luka yang belum sembuh sepenuhnya.
Aku mendengarkan. Bukan sebagai pelayan, tapi sebagai seseorang yang tahu bagaimana rasanya ditinggal tanpa pamit.
Sejak hari itu, ia mulai datang lebih awal, dan selalu duduk bersamaku di meja bar. Kami bertukar cerita, mimpi, dan kadang hanya diam sambil mendengarkan suara hujan.
Suatu sore di pertengahan Mei, Awan mengajakku ke luar kafe saat hujan turun. Tanpa payung.
“Katanya kamu suka melukis hujan. Tapi pernahkah kamu berjalan di bawahnya, benar-benar merasakannya?” tanyanya.
Aku ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. Kami berjalan di trotoar basah, tertawa seperti anak kecil, dan untuk pertama kalinya, tangannya menggenggam tanganku.
Aku merasa seperti tokoh utama dalam lukisan yang belum selesai: hangat, basah, dan penuh harap.
---
Hubungan kami tumbuh perlahan, seperti pohon kecil yang menunggu musim. Tidak terburu-buru, tidak terbakar gairah sesaat. Tapi dalam diam-diamnya, aku tahu hatiku telah tumbuh ke arahnya.
Hingga pada tanggal 31 Mei, saat hujan turun paling deras sepanjang bulan, Awan datang dengan wajah gelisah. Ia duduk di meja bar dan menatapku lama.
“Aku akan pindah ke luar kota,” katanya.
Dunia seketika hening.
“Kontrak kerja baru, di Lembang. Tiga tahun,” lanjutnya. “Tapi sebelum aku pergi, aku harus tahu satu hal. Apakah kamu merasa yang sama?”
Aku menatapnya. Mencari jawaban dalam dadaku yang sesak. Lalu aku tersenyum, meski air mataku mulai jatuh.
“Kalau kamu pergi, aku akan tetap menunggumu,” kataku. “Karena untuk pertama kalinya, hujan tidak membuatku merasa sendiri.”
Ia menggenggam tanganku, seperti saat kami berjalan tanpa payung. Lalu memelukku erat, membisikkan kata yang selama ini hanya tersimpan dalam tatapan: “Aku mencintaimu.”
---
Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi kami saling berkabar, saling menguatkan, dan saling percaya. Dan pada tanggal 3 Mei, tiga tahun kemudian, Awan kembali ke kafe itu — dengan jas abu-abu dan senyum yang masih sama.
Ia memesan kopi hitam tanpa gula. Lalu, dengan suara gemetar, berlutut di hadapanku yang sedang menyajikannya.
“Liris, maukah kamu menjadi alas hujanku selamanya?”
Dan aku menjawab, dengan senyum dan air mata, “Ya.”
---




intanasara dan Ricky279 memberi reputasi
2
24
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan