- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Langkah ke Utara


TS
yantosau
Langkah ke Utara

Malam itu hujan turun deras membasahi aspal yang sudah retak-retak di sebuah kota kecil bernama Rawa Damar. Lampu jalan berkerlap-kerlip, sebagian padam, sebagian berpendar kuning suram. Di tengah lorong gang sempit, seorang pemuda bernama Raka berdiri memandangi langit sambil menggenggam tas ransel tuanya yang mulai usang. Ia baru saja keluar dari rumah kontrakan kecil yang telah ia tinggali selama tiga tahun terakhir.
Raka adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak ayahnya meninggal karena serangan jantung, ia menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya hanya seorang buruh cuci di desa, dan adik-adiknya masih sekolah. Raka bekerja sebagai penjaga gudang di sebuah toko bangunan, gaji pas-pasan, tapi cukup untuk makan dan kirim sedikit uang ke rumah.
Namun malam itu, ada yang berbeda.
Ia memutuskan untuk pergi. Bukan kabur, tapi memulai sesuatu yang baru. Beberapa hari lalu, seorang teman lama menghubunginya lewat pesan singkat dan mengajak bekerja di tempat jauh, di kota tambang di utara pulau. Gaji besar, kerja keras, dan tidak semua orang berani. Tapi Raka merasa inilah saatnya. Bukan hanya demi dirinya sendiri, tapi demi ibu dan adik-adiknya.
Di terminal bus, ia duduk di bangku paling ujung, menunggu kendaraan malam menuju pelabuhan. Bus tua itu akhirnya datang dengan deru mesin berat. Raka naik, memilih kursi dekat jendela, dan menyandarkan kepala pada kaca yang dingin. Hujan masih turun, dan dunia di luar jendela tampak kabur seperti ingatannya tentang masa kecil.
---
Perjalanan memakan waktu dua hari. Ia harus menyeberang laut, lalu melanjutkan dengan mobil pickup ke lokasi tambang. Di sana, ia disambut oleh hamparan hutan yang telah dibabat dan suara mesin-mesin berat yang tidak pernah berhenti.
Hari-harinya berat. Ia harus bangun jam lima pagi, mengangkat alat berat, menggali tanah, dan mencatat hasil tambang. Tapi, upahnya lumayan. Dalam sebulan, ia bisa mengirim uang dua kali lipat dari sebelumnya. Di sela-sela kerja, ia menulis surat kepada ibunya, menceritakan kehidupannya yang baru, kadang dengan jujur, kadang sedikit dilebihkan agar sang ibu tidak khawatir.
Waktu berjalan. Tiga bulan, enam bulan, lalu setahun.
Raka mulai terbiasa dengan kehidupan keras di utara. Tubuhnya mengeras, kulitnya lebih gelap, dan pikirannya lebih tenang. Ia tak lagi mudah marah seperti dulu. Ia belajar bertahan, bersyukur, dan perlahan tumbuh menjadi lelaki yang tangguh.
Suatu hari, ia menerima kabar bahwa adiknya lulus sekolah dengan nilai terbaik di kabupaten. Ibunya menangis bahagia lewat sambungan telepon. Raka hanya terdiam lama, lalu tertawa kecil.
“Kerja kerasmu ada hasilnya, Nak,” kata ibunya. “Ibu bangga.”
Saat itulah Raka menyadari: hidup tidak pernah mudah, tapi setiap langkah menuju ke utara — sejauh apapun — selalu mengarah pulang.
---
0
43
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan