Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Warung Kopi Tengah Hujan
Warung Kopi Tengah Hujan

Langit sore itu kelabu. Awan menggantung berat seperti beban perasaan yang tak kunjung tersampaikan. Hujan turun perlahan, seperti rintik air mata yang malu-malu menuruni pipi. Di pinggiran kota kecil bernama Banyu Asih, berdirilah sebuah warung kopi sederhana beratap seng dan berdinding kayu. Warung itu bernama **Warung Kopi Tengah Hujan**, meskipun sebenarnya tidak selalu hujan ketika orang-orang datang ke sana. Nama itu diberikan oleh pemiliknya sendiri, Pak Darso, karena katanya warung itu paling ramai justru saat hujan turun.

Pak Darso bukan lelaki biasa. Ia pendiam, tapi hangat. Umurnya sudah hampir kepala enam, dengan rambut yang sebagian besar telah memutih. Ia punya satu kebiasaan unik: setiap pelanggan yang datang, akan ia sajikan kopi tanpa bertanya ingin kopi apa. Aneh? Mungkin. Tapi yang lebih aneh, hampir semua pelanggan merasa kopi itu adalah “kopi yang mereka butuhkan.”

Suatu sore, saat hujan turun perlahan seperti biasa, datang seorang pemuda dengan ransel lusuh dan mata sembab. Namanya Raka. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya di kota. Tak ada tempat untuk pulang, dan tak ada tujuan untuk dilangkahkan. Ia berhenti di warung itu karena ingin berteduh, tapi malah disambut dengan senyuman tulus dan secangkir kopi panas.

“Silakan duduk, Nak. Di sini, semua yang datang karena hujan, selalu menemukan sesuatu,” kata Pak Darso sambil tersenyum.

Raka hanya mengangguk. Tangannya gemetar saat memegang cangkir kopi. Hangatnya mengalir dari jari hingga ke dada. Rasanya pahit, tapi ada manis tipis di akhir tegukan. Seperti harapan kecil yang nyaris padam.

“Namanya siapa?” tanya Pak Darso pelan.

“Raka, Pak.”

“Hidup sedang tidak ramah, ya?”

Raka mengangguk pelan, lalu menunduk. Ia tak tahu kenapa bisa menangis hanya karena pertanyaan sederhana itu. Pak Darso tidak menanyakan lebih. Ia hanya menepuk pelan bahu Raka, lalu duduk di bangkunya sendiri, memandangi hujan yang kian deras.

Beberapa saat kemudian, datang seorang wanita muda, berpayung biru, wajahnya tampak gelisah. Ia duduk di pojok, tak jauh dari Raka. Namanya Mira. Ia sedang menunggu kabar dari ayahnya yang dirawat di rumah sakit. Ia ingin menenangkan diri sejenak, dan entah mengapa kakinya membawa dirinya ke warung itu.

Pak Darso menyajikan kopi untuk Mira tanpa banyak bicara. Hanya senyum yang ia berikan, lalu kembali ke tempatnya semula. Hujan tetap turun. Tapi di dalam warung itu, waktu seakan berjalan lebih pelan. Suara tetes air di atap seng menjadi musik latar dari dua jiwa yang sama-sama patah.

Tak lama, Mira dan Raka saling menatap. Bukan karena jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi karena merasa seperti sedang bercermin. Luka mereka berbeda, tapi rasa hancurnya sama. Mereka bicara, pelan, tanpa tujuan. Bercerita tentang kegagalan, kehilangan, dan keinginan untuk berhenti sejenak dari dunia yang terlalu cepat berputar.

Pak Darso hanya mendengarkan dari kejauhan. Ia tidak pernah ikut campur. Tapi ia tahu, warungnya telah menjadi tempat di mana dua orang asing menemukan kembali sedikit harapan.

Malam mulai turun. Hujan pun perlahan reda. Tapi tidak dengan rasa hangat yang tertinggal di dada keduanya.

Sebelum pergi, Raka menoleh dan berkata, “Terima kasih, Pak. Saya datang hanya untuk berteduh… tapi rasanya seperti pulang.”

Pak Darso hanya tersenyum. “Kopi yang baik bukan hanya soal rasa, tapi soal waktu kapan ia disajikan.”

Raka dan Mira pergi bersama. Bukan sebagai pasangan, bukan pula sebagai teman dekat. Tapi sebagai dua orang yang tahu bahwa mereka tidak sendirian. Mereka akan menjalani hari-hari sulit ke depan, tapi setidaknya kini mereka tahu, ada tempat di dunia ini di mana hujan bisa membawa pertemuan.

Dan Warung Kopi Tengah Hujan tetap berdiri. Menyambut siapa saja yang datang karena hujan. Bukan untuk menjual kopi, tapi untuk membagikan kehangatan.

---
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
66
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan