- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Langkah Terakhir di Peron 7


TS
yantosau
Langkah Terakhir di Peron 7

Langit Jakarta sore itu mendung. Awan-awan kelabu menggantung rendah, dan udara terasa lembap. Di Stasiun Kota, kereta-kereta datang dan pergi membawa orang-orang yang terburu, rindu, atau sekadar menjalani rutinitas. Namun di antara riuh itu, seorang wanita bernama Nara berdiri sendiri di Peron 7, memeluk sebuah koper kecil berwarna hitam.
Ia tidak terburu-buru. Tidak pula menunggu siapa pun. Ia hanya berdiri, memandangi rel yang entah mengarah ke mana. Hujan pertama musim ini mulai turun perlahan, menambah sendu suasana yang sudah cukup kelabu di dalam hatinya.
Sudah tiga bulan sejak Nara kehilangan suaminya dalam kecelakaan mobil. Dunia yang dulu terang berubah menjadi lorong gelap tak berujung. Ia mencoba menjalani hari-hari, menyeduh kopi setiap pagi, menyiram tanaman, bahkan kembali bekerja. Tapi semuanya terasa kosong.
Hingga suatu hari, ia menerima surat. Bukan dari seseorang yang ia kenal, melainkan sebuah surat tanpa nama, hanya tertulis:
> **“Datanglah ke Peron 7, hari Jumat pukul 17.00. Akan ada sesuatu yang harus kau temui.”**
Awalnya ia pikir itu lelucon. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menggerakkannya untuk datang. Dan kini ia di sini, menunggu sesuatu yang tak ia mengerti.
Waktu terus berjalan. Hujan semakin deras. Orang-orang mulai berlarian mencari tempat teduh, namun Nara tetap diam di tempatnya. Lalu, kereta tua berhenti di depan peron. Catnya sudah mengelupas, dan peluitnya terdengar berat. Tak ada orang turun. Pintu-pintunya terbuka pelan.
Hati Nara berdetak cepat. Ia ragu, tapi kakinya bergerak sendiri menaiki tangga kereta itu. Di dalam, semua kursi kosong kecuali satu. Duduk di sana adalah seorang pria tua berpakaian seperti kondektur zaman dulu, lengkap dengan topi kecil dan dasi kupu-kupu.
“Nara?” tanyanya, tersenyum.
“Iya... saya Nara.”
“Saya hanya ditugaskan mengantar. Ini bukan tempat menetap. Tapi kau berhak melihatnya.”
“Melihat apa?”
Sang pria tidak menjawab. Ia mengangguk pelan, dan jendela kereta perlahan menunjukkan sesuatu yang mustahil: sebuah rumah kecil di tepi danau. Ada taman kecil dengan kursi panjang, dan seorang pria muda sedang duduk di sana, membaca buku.
Itu... Arga. Suaminya.
Air mata Nara jatuh seketika. “Ini... mimpi?”
“Ini kenangan. Tapi bukan hanya kenanganmu, tapi juga miliknya.”
Arga mengangkat wajahnya, tersenyum seolah tahu Nara sedang menatapnya. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk dan menunjuk hatinya sendiri—gerakan khasnya ketika dulu ingin bilang “aku selalu bersamamu.”
“Kenapa kau tunjukkan ini padaku?” tanya Nara, hampir berbisik.
“Karena kau belum selesai berpamitan. Karena cintamu terlalu dalam untuk hanya disimpan di dalam luka.”
Jendela kembali buram. Dan perlahan, kereta berhenti lagi di Peron 7.
Nara turun. Hujan sudah berhenti. Matahari menyembul di balik awan. Kereta itu pun menghilang perlahan, seperti tak pernah ada.
Hari itu, Nara pulang dengan langkah berbeda. Bukan karena kesedihannya hilang, tapi karena ia tahu Arga masih hidup—di ruang kenangan, di cinta yang tak lekang, dan di dalam dirinya.
Ia membuka koper hitamnya. Di dalamnya hanya ada satu barang: buku catatan kosong.
Hari itu ia mulai menulis.
---


intanasara memberi reputasi
1
65
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan