Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Lagu yang Tak Pernah Usai
Lagu yang Tak Pernah Usai

Di sudut perempatan kota yang tak pernah benar-benar sepi, duduklah seorang pria paruh baya dengan gitar lusuh di pangkuannya. Namanya Bagas. Rambutnya sudah beruban, matanya sayu, dan suaranya—meski tak seindah dulu—masih mengandung rasa. Ia bukan pengemis. Ia bukan juga seniman besar. Ia hanya seorang musisi jalanan yang menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah laku di industri tapi hidup di hati orang-orang kecil.

Setiap pagi, Bagas datang membawa gitar dan bangku lipat. Ia duduk di bawah rimbun pohon flamboyan, mulai menyanyi saat sinar matahari mulai menembus kabut kota. Lagu-lagunya bukan lagu hit. Kadang ia menyanyikan lagu cinta dari era 80-an, kadang lagu perjuangan, kadang lagu ciptaannya sendiri yang tak pernah direkam secara profesional.

Orang-orang lalu lalang. Ada yang sekadar menoleh, ada yang melempar receh, ada juga yang duduk sejenak mendengarkan. Tapi ada satu gadis kecil yang selalu datang—namanya Kirana. Ia duduk di bangku trotoar sambil membuka bekal sekolahnya, mendengarkan Bagas menyanyi dengan mata berbinar.

“Om Bagas, lagu yang kemarin dong! Yang tentang kapal dan pelaut!” serunya setiap hari.

Bagas tertawa kecil dan mulai memetik senar, menyanyikan lagu tentang rindu yang terombang-ambing di samudra.

Lama-lama, kedekatan mereka menarik perhatian. Beberapa orang mengira Kirana adalah cucunya. Tapi sebenarnya, Kirana hanya seorang anak perempuan yang merasa tenang mendengar lagu-lagu Bagas—yang bagi sebagian orang mungkin muram, tapi baginya seperti pelukan hangat saat hari terasa berat.

Suatu hari, Kirana datang dengan mata sembab. Ayahnya baru saja meninggal karena kecelakaan kerja. Ia tak bisa berkata-kata, hanya duduk di sebelah Bagas, memeluk gitar tua itu sambil menangis.

Bagas diam. Lalu ia menyanyikan lagu baru—dengan suara lirih, nyaris berbisik. Lagu tentang ayah yang tak pernah pulang, tapi cintanya selalu tinggal dalam angin dan cahaya pagi.

Kirana menangis lebih keras. Tapi ia juga tersenyum. Lagu itu seolah menjahit sobek di hatinya.

Hari-hari berganti. Kirana tumbuh remaja, mulai membawa biola kecil yang ia beli dari tabungan sendiri. Mereka kini kadang berduet. Musik mereka bukan untuk uang. Musik itu jadi jembatan antara duka dan harapan.

Namun, waktu tak bisa dilawan. Suatu pagi, Bagas tak muncul. Kirana menunggu sampai matahari tinggi, tapi yang datang hanya kabar: Bagas meninggal malam sebelumnya di rumah kontrakannya yang sempit, karena sakit yang tak ia pernah keluhkan.

Kirana menangis selama berhari-hari. Tapi ia tidak menyerah. Di sudut tempat biasa Bagas duduk, kini berdiri bangku kayu dengan tulisan ukiran kecil: *“Di sini pernah terdengar lagu yang tak pernah usai.”*

Setiap akhir pekan, Kirana datang dan memainkan biolanya. Ia memainkan lagu-lagu Bagas, lalu mengajarkan anak-anak jalanan bermain alat musik. Ia tahu, lagu Om Bagas tak boleh berhenti.

Dan suara musik itu tetap terdengar di kota. Tak selalu keras, tak selalu ramai. Tapi bagi mereka yang mau mendengar, lagu itu masih ada—mengalir dalam angin, menyelinap dalam ingatan, dan hidup dalam hati yang patah tapi belum menyerah.

---
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
80
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan