- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Hujan Terakhir di Bulan Juni


TS
yantosau
Hujan Terakhir di Bulan Juni

Langit Jakarta pagi itu digelayuti mendung kelabu. Hujan turun pelan, seolah tidak ingin mengganggu. Di halte TransJakarta yang mulai dipenuhi orang, seorang perempuan muda berdiri diam. Namanya Alya. Dengan jas hujan tipis dan mata yang terus menatap layar ponsel, ia tampak seperti orang kebanyakan. Tapi pagi itu bukan pagi biasa baginya.
Hari ini, Alya akan mengakhiri hubungan lima tahun dengan seseorang yang pernah ia kira akan menjadi suaminya.
Namanya Damar. Pria cerdas, humoris, dan punya senyum yang mampu membuat hari-hari kelabu menjadi terang. Mereka bertemu saat kuliah di Bandung—berawal dari diskusi buku, berlanjut jadi jalan-jalan ke toko kopi dan warung bakso pinggir jalan. Saat lulus, mereka berdua sepakat merantau ke Jakarta. Sama-sama bekerja, saling menyemangati, saling membangun mimpi.
Tapi waktu punya cara sendiri memudarkan segala. Kesibukan, ambisi pribadi, dan luka-luka kecil yang tak pernah dibicarakan perlahan menjauhkan mereka. Percakapan yang dulu hangat berubah menjadi perdebatan dingin. Makan malam yang dulu penuh tawa berubah jadi hening yang canggung.
Mereka mencoba bertahan. Tapi apa artinya bertahan jika yang dipertahankan sudah tidak tumbuh?
Hari itu, di sebuah kafe kecil di Cikini, mereka duduk berhadapan. Damar memesan kopi hitam, seperti biasa. Alya tidak memesan apa-apa.
“Alya…” suara Damar pelan, matanya menyapu wajah perempuan itu.
“Kita sudah tahu ini akan terjadi, Dam,” jawab Alya cepat. Tidak ingin berlama-lama di ambang air mata.
“Aku masih sayang kamu.”
“Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus sayang sambil saling menyakiti, kan?”
Hening. Di luar, hujan masih turun, makin deras. Seolah ikut menangis untuk mereka berdua.
Damar merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kunci kecil.
“Ingat ini? Kunci laci tempat kita simpan semua surat dan foto di kamar kost dulu.”
Alya tersenyum miris. “Kamu simpan terus?”
“Setiap kali aku ragu, aku buka lagi surat-suratmu. Dan aku tahu, kita pernah sangat bahagia.”
Alya meraih kunci itu, menggenggamnya erat. Bukan karena ingin membuka masa lalu, tapi untuk mengunci semuanya rapat-rapat dalam ingatan.
Mereka berpisah di depan kafe, tanpa pelukan, tanpa air mata, hanya pandangan panjang dan senyum yang getir.
Dua bulan berlalu.
Alya mulai hidup baru. Ia pindah ke Bandung, membuka toko kecil yang menjual kerajinan tangan dan lukisan. Ia mulai tersenyum lebih sering. Meski malam-malam masih kadang dihantui kenangan, ia tahu luka bukan untuk dilupakan, tapi untuk diterima.
Suatu sore di bulan Juni, hujan turun tiba-tiba. Alya berdiri di beranda tokonya, memandangi jalan yang basah. Ia meraih satu lukisan kecil—langit mendung, dua orang duduk di kafe, dan di atas meja, sebuah kunci kecil.
Ia menuliskan judul di bawah lukisan itu: *Hujan Terakhir di Bulan Juni.*
Ia tahu, cinta tidak selalu harus dimiliki. Kadang, cinta cukup hadir dan mengubah kita menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih mengerti makna kehilangan.
---


intanasara memberi reputasi
1
18
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan