- Beranda
- Komunitas
- Komunitas Penggemar Cerita Horor
Surat dari Laut Selatan


TS
yantosau
Surat dari Laut Selatan

Pantai itu selalu tampak sama setiap kali Lintang datang—ombak bergulung pelan, angin laut membawa aroma asin yang khas, dan burung camar yang melintas seolah tak pernah lelah. Tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu yang membuat dada Lintang sesak, entah karena kenangan atau karena firasat yang sulit dijelaskan.
Lintang sudah tinggal di desa pesisir itu selama 17 tahun, sejak ibunya meninggal dan ia diasuh oleh neneknya, Mbah Kinasih, seorang perempuan tua yang dikenal sebagai penjaga pantai. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya maksud "penjaga pantai" itu. Tapi Mbah Kinasih setiap malam duduk di batu besar dekat karang, berbicara lirih ke laut, seakan sedang bercakap dengan makhluk tak kasat mata.
"Lintang," ujar Mbah Kinasih suatu malam saat mereka duduk di beranda. "Kalau suatu hari aku tidak bangun lagi, bukalah peti kayu di bawah tempat tidurku. Jangan sebelum itu."
Lintang hanya mengangguk, mengira itu hanya omongan seorang tua yang terlalu banyak membaca kisah dongeng. Tapi pagi itu, Mbah Kinasih tidak bangun.
Tangis penduduk desa pecah, namun Lintang lebih diam dari siapapun. Ia tidak menangis. Ia merasa Mbah Kinasih sudah terlalu lama mempersiapkan kepergiannya, seperti tahu bahwa waktunya tinggal sebentar lagi.
Saat malam tiba dan rumah mulai sepi, Lintang ingat pesan neneknya. Ia membuka peti tua itu. Di dalamnya, tersimpan gulungan kain tenun, sebotol kecil air laut yang disegel lilin hitam, dan sebuah surat.
Tangannya gemetar saat membaca:
*"Untuk Lintang, cucuku yang tercinta,*
*Apa yang akan kau temukan malam ini bukan dongeng, tapi kebenaran yang disembunyikan dunia.*
*Desa ini tidak hanya dijaga manusia. Laut di depan rumah kita adalah gerbang. Aku adalah penjaganya.*
*Setiap malam, aku memastikan bahwa perjanjian tetap dihormati—bahwa manusia tidak mengganggu dunia mereka, dan sebaliknya.*
*Namun penjaga tak hidup selamanya. Sekarang giliranmu.*
*Pakai kain itu di malam bulan purnama. Duduklah di batu besar, dan bacakan doa yang ada di dalam botol. Maka mereka akan datang. Dan kau harus mendengarkan. Jangan takut. Mereka tidak jahat, hanya terabaikan.*
*Mbah Kinasih*"
Malam itu bulan purnama menggantung sempurna di langit. Lintang mengenakan kain tenun, duduk di atas batu tempat Mbah Kinasih biasa duduk, dan membuka botol air laut itu. Di dalamnya ada secarik kertas kecil dengan tulisan kuno yang tak ia mengerti. Tapi saat ia memegangnya, lidahnya mengucapkan doa itu tanpa sadar, seolah ada yang membimbing.
Air laut di depannya bergelombang tak biasa. Kabut naik dari permukaan. Lalu muncul sosok-sosok tinggi dan ramping, berkulit pucat keperakan, mata hitam kelam seperti kedalaman samudra.
“Kau cucu Kinasih,” suara mereka terdengar langsung di kepala Lintang.
Lintang mengangguk.
“Penjaga baru. Kau tahu tugasmu?”
“Menjaga batas,” jawab Lintang lirih.
“Dan jika batas dilanggar?”
Lintang menelan ludah. “Aku harus memperingatkan mereka. Jika tak bisa... aku harus memilih antara dunia.”
Makhluk-makhluk itu mengangguk. Lalu satu demi satu, mereka menghilang kembali ke laut. Ombak pun kembali tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Lintang pulang ke rumah, namun hidupnya tak lagi sama. Ia kini tahu, bahwa dunia ini memiliki lebih banyak rahasia dari yang bisa dibayangkan. Dan ia adalah penjaga di antara batas-batas itu.
Sejak malam itu, tak ada lagi yang melihat Lintang duduk di pantai. Tapi setiap bulan purnama, cahaya aneh menyala di atas batu besar, dan suara nyanyian kuno terdengar lembut terbawa angin.
---


intanasara memberi reputasi
1
52
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan