- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Satu Nama Abadi dalam Hati


TS
yantosau
Satu Nama Abadi dalam Hati

Namanya Dira.
Nama yang selalu hadir dalam setiap sudut pikiranku, bahkan ketika aku berusaha mengusirnya. Kami bertemu pertama kali saat SMA, dalam satu kelas, satu barisan kursi. Ia bukan yang paling cantik, bukan pula yang paling menonjol. Tapi matanya… matanya menyimpan ketenangan yang entah mengapa membuatku selalu ingin menatap lebih lama.
Aku, Arya, adalah tipe siswa yang biasa-biasa saja. Nilai cukup, tidak populer, dan terlalu pendiam untuk menarik perhatian siapa pun. Tapi Dira berbeda. Dia tidak memandang seseorang dari cara berpakaian atau seberapa sering mereka tampil di acara sekolah. Dia melihat ke dalam. Dan dari semua orang, entah kenapa aku yang dia pilih jadi teman dekatnya.
Kami mulai banyak menghabiskan waktu bersama. Belajar kelompok, makan siang bareng, bahkan pulang sekolah kadang beriringan. Tidak ada pernyataan cinta, tidak ada janji—hanya kedekatan yang terasa dalam, dan itu cukup. Sampai akhirnya, hari kelulusan tiba.
Aku sempat berpikir untuk menyatakan perasaan. Tapi saat aku hendak membuka mulut, Dira berkata lebih dulu, “Aku keterima di Jogja. Kuliah arsitektur. Kamu?”
Aku hanya bisa tersenyum. “Aku di Jakarta. Ekonomi.”
Lalu dia peluk aku. Pelukan yang singkat, tapi dalam. “Jangan lupa ya. Tetap temenan. Jangan hilang.”
Dan setelah itu... waktu mulai mencuri segalanya.
Kami masih saling kirim pesan, sesekali video call. Tapi perlahan, frekuensi berkurang. Sibuk, beda dunia, beda lingkaran. Sampai suatu hari, pesan terakhir dari Dira masuk:
> “Yaa, aku kenalan sama seseorang. Baik banget. Doain ya…”
Aku balas dengan senyuman emoji. Lalu hening.
Tahun-tahun berlalu. Aku lulus, bekerja, pindah ke kota lain. Dan Dira... aku tidak tahu lagi kabarnya. Media sosialnya tidak aktif, nomor ponselnya sudah tidak bisa dihubungi.
Tapi satu hal yang aneh: **setiap malam Jumat Kliwon**, aku bermimpi tentangnya. Dira berdiri di tepi danau, mengenakan baju putih sederhana, rambutnya ditiup angin. Ia tidak bicara. Hanya menatapku, lalu tersenyum. Dan saat aku mencoba mendekat, aku selalu terbangun.
Awalnya aku pikir itu hanya bayangan masa lalu. Tapi malam-malam berikutnya, mimpi itu berulang. Lokasi yang sama, suasana yang sama, bahkan ekspresi wajahnya sama: tenang… tapi seolah memanggil.
Rasa penasaran memaksaku mencari tahu. Aku coba hubungi teman SMA, menggali informasi. Dan akhirnya, salah satu teman memberiku kabar yang membuat jantungku berhenti berdetak sesaat.
> “Dira meninggal, Ya. Kecelakaan. Tiga tahun lalu, di Jogja. Dia dalam perjalanan pulang dari site project. Mobilnya tergelincir.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Tiga tahun... tiga tahun aku bermimpi tentang seseorang yang sudah tiada.
Dan tiba-tiba, semuanya terasa masuk akal. Mimpinya. Tatapannya. Senyum tenangnya. Seolah dia masih ingin mengatakan sesuatu yang belum sempat ia ucapkan.
Malam itu aku kembali bermimpi. Tapi kali ini, aku memberanikan diri untuk bertanya.
> “Dir, kenapa kamu selalu datang?”
Ia menatapku, lalu berkata lirih:
> “Karena kamu satu-satunya yang belum mengikhlaskan…”
Air mataku menetes dalam mimpi itu, dan ketika aku terbangun, bantalku basah.
Sejak malam itu, mimpi tentangnya berhenti.
Tapi kenangan tentangnya tidak pernah pergi.
Namanya masih ada di daftar kontak ponselku. Masih kusimpan satu foto terakhir kami saat SMA. Dan di hatiku, ada ruang kecil yang tak bisa diisi siapa pun lagi. Ruang itu… tetap milik Dira.
Karena ada cinta yang tidak butuh akhir bahagia, tidak butuh status, tidak butuh pertemuan kembali.
Ada cinta… yang cukup hidup sebagai satu nama abadi dalam hati.


intanasara memberi reputasi
1
39
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan