yantosauAvatar border
TS
yantosau
Kursi Kosong di Taman Kota
Kursi Kosong di Taman Kota

Di pusat kota, ada sebuah taman kecil yang tidak banyak dikunjungi. Namanya Taman Melati. Meski letaknya strategis dan rindang, taman ini seperti luput dari perhatian warga. Mereka lebih memilih taman besar di dekat alun-alun, dengan wahana bermain dan jajanan ramai.

Tapi bagiku, Taman Melati adalah tempat yang sempurna untuk menyendiri. Tenang, teduh, dan tidak ada yang mengganggu. Aku, Nadia, mahasiswa semester akhir yang sedang stres menyusun skripsi, sering datang ke taman ini untuk menenangkan pikiran.

Ada satu hal yang menarik perhatianku: **kursi besi tua di bawah pohon flamboyan**. Kursi itu selalu kosong. Setiap kali aku datang—pagi, siang, bahkan sore—tak pernah kulihat seorang pun duduk di sana. Anehnya, kursi itu tampak bersih. Tidak berdebu, tidak ada daun kering menumpuk. Seperti... dirawat seseorang.

Awalnya aku tidak peduli. Tapi rasa penasaran tumbuh. Suatu hari, aku memutuskan duduk di kursi itu sambil membawa kopi dan novel. Tidak terjadi apa-apa... sampai seorang kakek menghampiri.

Ia mengenakan topi bundar tua dan membawa tongkat kayu.

> “Nak,” katanya pelan, “kursi itu... bukan untuk manusia hidup.”

Aku terdiam. Mengira itu lelucon atau omong kosong orang tua. Tapi tatapannya serius. Lalu ia melanjutkan:

> “Dulu ada sepasang kekasih yang sering duduk di situ. Mereka berjanji akan selalu bertemu di taman ini. Tapi sang pria meninggal dalam kecelakaan sebelum sempat melamar. Gadis itu tetap datang setiap minggu, duduk di kursi ini, berharap bisa bertemu lagi... Sampai akhirnya ia pun wafat. Sejak itu, kursi ini... hanya untuk mereka.”

Aku menghela napas. “Kakek cuma bercanda, kan?”

Ia tidak menjawab. Hanya berjalan pergi, perlahan, dan menghilang di balik semak. Anehnya, meski kulihat ia masuk ke arah pagar besi, tak terdengar suara langkah atau gesekan rumput sama sekali.

Beberapa hari kemudian, aku kembali ke taman. Dan saat melihat kursi itu dari kejauhan, aku merasa merinding. **Ada dua sosok duduk di sana**. Seorang pria dan wanita, bergandengan tangan. Aku menyipitkan mata. Tidak mungkin.

Tapi saat aku mendekat, bangku itu kosong. Tak ada siapa-siapa.

Aku tidak berani duduk di sana lagi sejak hari itu. Tapi setiap kali aku melewati taman dan melihat ke arah kursi flamboyan, aku merasa... diawasi. Seperti ada yang menunggu seseorang duduk di sana. Mungkin bukan aku. Mungkin bukan manusia.
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
30
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan