- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Pesan Terakhir Ayahku


TS
trifatoyah
Pesan Terakhir Ayahku

Nalina memandangi dirinya di cermin. Gaun pengantin putih itu begitu megah, kontras dengan senyumnya yang hambar. Di balik make-up tebal dan tatanan hijab warna putih tulang, ia bukanlah pengantin yang bahagia. Ia adalah seorang gadis bar-bar yang biasanya tak peduli omongan orang, tapi hari ini, ia tak bisa menolak satu hal: Pesan terakhir ayahnya.
Ayah Nalina, Darsyah Wibowo, adalah pria keras kepala tapi penuh kasih. Ia membesarkan Nalina sendirian sejak istri tercintanya meninggal saat melahirkan. Nalina tumbuh sebagai anak tunggal yang manja, keras, dan pemberontak. Tapi satu hal yang tak pernah ia abaikan: permintaan ayahnya.
Di penghujung hidupnya, saat kanker paru-paru merenggut napas terakhirnya, Darsyah memanggil Nalina dan menggenggam tangannya erat.
“Na… kalau ayah sudah tiada, kamu harus menikah dengan Abraham, anak sahabat lama ayah. Ayah janji dia laki-laki baik. Kamu akan aman bersamanya…”
Nalina hanya mengangguk, setengah percaya, setengah tak paham. Abraham Bimantara? Siapa dia?
Pernikahan itu berlangsung cepat. Abraham datang dengan senyum datar, terlalu tenang untuk seorang calon pengantin pria. Ia tampan, tinggi, dan pendiam. Mereka menikah tanpa cinta, hanya karena satu hal: janji pada orang tua.
Di kamar pengantin, keheningan menyergap.
“Kamu tidak harus mencintaiku sekarang, Nalina,” kata Abraham, membuka jasnya dan duduk di tepi ranjang. “Aku tidak akan menyentuhmu kalau kamu tidak siap. Aku hanya ingin menjalankan amanah orang tuaku. Sama seperti kamu.”
Nalina menatapnya tajam. Ia tidak terbiasa dengan kelembutan. Pria ini bukan seperti yang ia kira.
Hari-hari pertama pernikahan mereka kaku. Nalina memilih tinggal di kamar terpisah. Ia mencari-cari alasan untuk membenci Abraham, tapi tak pernah menemukannya. Ia diam-diam menyaksikan bagaimana Abraham merawat rumah, menelepon ibunya tiap malam, dan menyimpan secarik foto mendiang Darsyah di dompetnya.
Satu malam, Nalina tak bisa tidur. Ia turun ke dapur dan mendapati Abraham sedang membaca buku di ruang tengah. Di sampingnya, segelas susu dan satu botol obat tidur.
“Kamu susah tidur juga?” tanya Abraham.
Nalina mengangguk, lalu duduk di ujung sofa.
“Kenapa kamu setuju menikah denganku?” tanyanya tanpa menatap Abraham.
Abraham diam sejenak. “Karena ayahmu pernah menyelamatkan hidup ayahku dari kebangkrutan. Kalau bukan karena dia, keluargaku hancur. Ini bukan soal utang. Ini soal kehormatan.”
Malam itu, ada sesuatu yang mencair dalam hati Nalina. Bukan cinta, mungkin, tapi rasa hormat.
Nalina mulai membuka hati. Ia mulai tertawa, mulai memasak sarapan, mulai menulis lagi, kebiasaan lama yang dulu ia tinggalkan. Ia bahkan mulai memanggil Abraham dengan panggilan
“Mas.”
Tapi tepat saat benih cinta mulai tumbuh, datanglah Olivia, mantan tunangan Abraham.
“Dia masih mencintaiku, Nalina,” ucap Olivia dengan senyum angkuh saat bertemu Nalina diam-diam di sebuah kafe.
“Kami hanya putus karena orang tuanya memaksanya menikah denganmu.”
Nalina pulang dengan hati retak. Malam itu ia kembali tidur di kamar terpisah.
Namun, Abraham datang mengetuk.
“Aku tahu Olivia menemuimu. Tapi yang harus kamu tahu, aku memilih menikahimu bukan karena terpaksa… tapi karena aku ingin menghargai lelaki yang paling kamu cintai: ayahmu.”
Nalina meneteskan air mata. Baru kali ini ia merasa begitu dicintai, bahkan sebelum cinta itu sempat ia beri.
Setahun kemudian, Nalina duduk di taman belakang rumah, menulis surat untuk anak pertamanya yang masih dalam kandungan.
"Nak, kamu hadir karena satu pesan sederhana dari kakekmu. Tapi lihatlah… pesan itu kini menjelma menjadi rumah penuh cinta yang tak pernah Mama bayangkan. Kadang cinta tak selalu datang dengan bunga dan pelukan, tapi lewat ketulusan dan kesabaran. Dan ayahmu… adalah cinta paling tulus yang bisa kamu kenal.”
End






aghora dan 10 lainnya memberi reputasi
11
187
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan