Kaskus

Regional

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Polahi: Antara Pelestarian Budaya dan Tantangan Kemanusiaan
Polahi: Antara Pelestarian Budaya dan Tantangan Kemanusiaan

Polahi adalah kelompok masyarakat adat yang hidup secara nomaden di pedalaman hutan Bolaang Mongondow yang masuk wilayah Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Utara. Mereka dikenal sebagai suku terasing yang telah lama menolak kontak dengan dunia luar. Gaya hidup mereka yang jauh dari modernitas, tidak mengenakan pakaian seperti masyarakat pada umumnya, serta tidak mengenal sistem pendidikan formal, telah memunculkan banyak perdebatan di tengah masyarakat luas. Apakah mereka harus dibiarkan hidup sesuai adatnya, atau harus ‘diselamatkan’ dan dibawa ke peradaban?

Pertanyaan itu memunculkan dilema. Di satu sisi, Polahi merupakan warisan budaya yang unik dan patut dilestarikan. Mereka adalah bagian dari keberagaman identitas bangsa Indonesia, bukti bahwa ada cara hidup lain selain yang kita kenal. Namun di sisi lain, ada pertimbangan etika dan kemanusiaan: apakah kita membiarkan sesama manusia hidup tanpa akses kesehatan, pendidikan, dan hak sipil karena alasan tradisi?

Polahi dan Sejarahnya

Secara historis, Polahi diyakini sebagai keturunan pelarian dari masa penjajahan Belanda. Mereka awalnya adalah masyarakat biasa yang memilih masuk ke hutan demi menghindari pajak kolonial dan penindasan. Lama kelamaan, karena keterputusan total dari dunia luar, mereka berkembang menjadi komunitas yang tidak mengenal agama, bahasa Indonesia, atau struktur sosial seperti yang dikenal masyarakat umum. Bahasa mereka masih berakar dari bahasa Gorontalo dan Bolaang Mongondow, namun telah bercampur dengan istilah-istilah alam.

Budaya dan Gaya Hidup

Polahi tidak mengenakan pakaian seperti masyarakat umum. Mereka membuat penutup tubuh dari kulit kayu atau daun, dan hanya mengenakan pakaian dari luar jika diberi. Mereka hidup dari berburu, meramu, dan sesekali bercocok tanam secara sederhana. Mereka tidak mengenal uang dan konsep kepemilikan. Semua kebutuhan diambil dari hutan.

Yang menarik, Polahi memiliki struktur sosial yang longgar dan tidak mengenal institusi formal seperti sekolah, rumah sakit, atau pemerintahan. Mereka hidup berdasarkan alam, adat, dan insting. Mereka tidak agresif, namun sangat waspada terhadap orang luar karena pengalaman buruk masa lalu.

Opini dan Tantangan Etis

Menurut saya, suku Polahi perlu dihormati dan dilindungi. Namun, perlindungan itu harus ditempuh dengan pendekatan yang beretika, manusiawi, dan tidak memaksakan modernisasi secara tiba-tiba. Banyak kelompok adat yang punah atau hancur setelah dipaksa berasimilasi dalam sistem yang tidak mereka kenal. Suku Polahi tidak butuh dipaksa "menjadi seperti kita", tapi mereka butuh dijamin hak-haknya sebagai manusia: hak hidup sehat, hak tidak kelaparan, dan hak mendapatkan perlindungan hukum.

Kita juga tidak bisa menutup mata dari fakta bahwa mereka adalah bagian dari warga negara Indonesia yang seharusnya mendapatkan hak yang sama, tanpa merusak jati diri mereka. Maka, solusi yang ditawarkan tidak boleh ekstrem. Tidak bisa dengan membiarkan mereka tanpa bantuan, tapi juga tidak boleh dengan menyerbu mereka dengan pembangunan yang memaksa.

Pemerintah daerah dan lembaga adat bisa mulai dari pendekatan edukatif yang ringan, misalnya memberi pemahaman tentang kesehatan dasar, vaksinasi, atau pentingnya pendidikan anak—tanpa memaksa mereka keluar dari hutan. Penyuluhan bisa dilakukan secara sukarela, bertahap, dan dengan orang-orang yang sudah mereka percayai. Hal ini harus dilakukan dengan penuh empati dan kesabaran.

Penutup

Polahi adalah cermin dari keragaman budaya Nusantara yang luar biasa. Mereka bukan simbol keterbelakangan, tapi justru simbol kekuatan bertahan dalam tekanan zaman. Menilai mereka dengan standar modern adalah kesalahan besar. Namun, menutup mata terhadap hak asasi mereka juga tidak bisa dibenarkan.

Kita perlu berjalan di tengah: menjaga identitas mereka, sembari memastikan bahwa mereka tidak tertinggal dari hak dasar sebagai manusia. Jika kita bisa melakukannya, maka kita bukan hanya menjaga budaya—tapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
0
3
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan