- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mindset Cacat ala TikTok: Standar Palsu yang Lagi Ngerusak Gen Z Pelan-pelan


TS
nzb
Mindset Cacat ala TikTok: Standar Palsu yang Lagi Ngerusak Gen Z Pelan-pelan
Oleh : Naufal Muhazzib

"Lo nggak perlu jadi diri sendiri, cukup jadi algoritma TikTok suka, dan lo bakal viral."
— Dunia modern, 2025
Pendahuluan : Ketika Aplikasi Hiburan Jadi Agama Baru
Kita semua tau, TikTok udah jadi lebih dari sekadar aplikasi joget-joget. Platform ini udah berubah jadi semacam "papan iklan virtual" tempat jutaan orang ngadu nasib, nyari validasi, bahkan bangun jati diri. Tapi lo sadar nggak sih? Ada sesuatu yang salah dari cara TikTok ngatur narasi tentang hidup, sukses, cantik, keren, atau bahkan cara berpikir.
Sadar nggak sadar, TikTok ngeluarin "standar baru" yang diam-diam nge-push Gen Z buat mikir bahwa mereka harus tampil, harus unik, harus lucu, harus keren, harus kurus, harus kaya, harus estetik—pokoknya harus viral. Dan kalau nggak sesuai standar itu? Yaudah, mental lo bisa anjlok, hidup lo kerasa nggak guna, dan eksistensi lo dianggap “b aja”.
---
Bab 1: Dunia TikTok dan Ilusi Keberhasilan Instan
Lo buka TikTok, scroll dua menit, dan boom—konten flexing! Ada yang baru beli mobil mewah, dapet endorse-an jutaan, jalan-jalan ke Eropa, atau tiba-tiba viral dengan "cuma" bikin video ngelawak sambil ngunyah mie. Dan lo mikir, "Gue juga bisa nih!" atau malah, "Gue ngapain aja sih selama ini?"
Padahal lo nggak ngeliat proses di balik semua itu. Banyak yang pura-pura kaya. Banyak yang ngutang demi konten. Banyak yang ngedit abis-abisan demi keliatan glowing. Tapi TikTok nyajikan semua itu sebagai realita. Dan sayangnya, Gen Z nerima itu sebagai standar.
---
Bab 2: Estetika = Validasi?
Banyak Gen Z sekarang ngukur harga diri dari seberapa aesthetic feed TikTok mereka. Outfit harus OOTD, kamar harus minimalis, makan harus fancy, dan hidup harus "penuh healing". Kalau lo nggak punya semua itu? Wah, hidup lo dibilang boring.
Akibatnya? Banyak yang rela beli barang di luar kemampuan, ikut tren nggak penting, dan fake personality cuma biar masuk algoritma. Self-worth udah bukan dari nilai, skill, atau kontribusi, tapi dari likes, shares, dan komentar netizen.
---
Bab 3: Toxic Positivity dan Budaya Hustle yang Nggak Manusiawi
Di satu sisi TikTok nyuruh lo "self love" dan "healing", tapi di sisi lain, mereka bombardir lo dengan konten motivasi ala-ala:
“Bangun jam 4 pagi biar sukses!”
“Lo nggak capek jadi miskin terus?”
“Kalau mau kaya, stop rebahan!”
Maksudnya bagus sih, tapi jadinya nyalahin korban. Lo jadi mikir, "Oh, gue miskin karena gue males," padahal realita sosial-ekonomi jauh lebih kompleks. TikTok terlalu menyederhanakan segalanya, seolah semua bisa diselesaikan dengan mindset dan niat.
---
Bab 4: Standarisasi Wajah dan Tubuh
Filter TikTok tuh udah kayak Photoshop on steroids. Sekali pake, muka lo langsung kayak artis Korea. Dan anehnya, itu malah jadi standar baru. Banyak Gen Z yang ngerasa insecure sama wajah asli mereka. Operasi plastik jadi cita-cita, skincare jadi prioritas utama, dan filter jadi default di semua konten.
Dan lo pikir itu semua harmless? Nope. Itu ngehancurin kepercayaan diri generasi ini dari akarnya. Lo dibikin ngerasa kurang, bahkan sebelum lo cukup umur buat ngerti arti cukup.
---
Bab 5: Komentar Netizen dan Budaya Judgment
Di TikTok, semua orang bisa jadi juri. Komentar pedes, sarkas, body shaming, sampai fitnah, itu makanan sehari-hari. Dan masalahnya, Gen Z—yang masih dalam proses ngebentuk identitas—sering banget terlalu percaya sama apa kata netizen.
Sekali viral, hidup lo bisa naik. Tapi sekali salah ucap, lo bisa dibully, di-cancel, bahkan depresi. Satu video bisa jadi tiket emas atau bumerang yang ngebunuh mental lo pelan-pelan.
---
Bab 6: Keaslian yang Palsu
Ironis banget, TikTok katanya platform buat jadi diri sendiri, tapi nyatanya semua orang berusaha keras buat mirip satu sama lain. Konten ditiru, suara dipake ulang, trend diikuti tanpa mikir. Lo nggak bener-bener bebas, lo cuma jadi pion algoritma.
Dan buat lo yang “berbeda”? Siap-siap ditolak. Keunikan lo cuma diterima kalau sesuai selera pasar.
---
Bab 7: Dampak Jangka Panjang—Bukan Cuma Mental, Tapi Sosial
Yang parah, standarisasi ini nggak cuma ngefek ke individu, tapi juga ke masyarakat. Kita jadi makin dangkal ngeliat orang. Lebih mentingin tampilan ketimbang isi kepala. Lebih kagum sama yang viral daripada yang beneran bermanfaat.
Dan lo liat sekarang, berapa banyak orang pengen jadi “content creator” tapi males belajar hal baru? Berapa banyak yang nganggap kerja kantoran itu “nggak keren”? Padahal, dunia nggak butuh semua orang jadi seleb TikTok. Dunia butuh dokter, guru, insinyur, peneliti, bahkan tukang ledeng!
---
Bab 8: Kita Butuh Literasi Digital yang Sehat
Sebenernya bukan salah TikTok doang. Tapi kita semua, terutama Gen Z, butuh lebih sadar. Butuh belajar bahwa:
Viral ≠ Berarti
Estetik ≠ Bahagia
Flexing ≠ Sukses
Lo nggak harus ikut standar TikTok buat jadi manusia keren. Lo cukup jadi versi terbaik dari diri lo sendiri, walau itu nggak estetik atau nggak viral.
---
Penutup: Lo Nggak Harus Jadi Apa yang Algoritma Mau
TikTok bisa jadi tempat hiburan, tapi jangan lo biarkan dia nentuin standar hidup lo. Lo bukan cuma angka views. Lo bukan jumlah followers. Dan hidup lo nggak harus viral buat layak dijalani.
Waktunya berhenti ngejar validasi dari layar 6 inci, dan mulai bangun kepercayaan diri dari hal-hal yang nyata—belajar, berkarya, berkontribusi, dan jadi manusia yang utuh.
Karena ujung-ujungnya, yang beneran keren itu bukan yang viral, tapi yang bisa bertahan dan berkembang di dunia nyata.
---
Referensi:
1. Purnama, R. (2023). Efek Media Sosial Terhadap Mental Anak Muda. Jakarta: Literasi Media Press.
2. Kompas.com (2024). "Fenomena FOMO dan Dampaknya bagi Gen Z."
3. Detik.com (2023). "Ketika Operasi Plastik Jadi Tren di Kalangan Remaja."
4. Psychology Today (2022). “TikTok and the Teen Brain: A Recipe for Addiction?”
5. CNN Indonesia (2024). “Generasi Konten: Mau Kerja atau Mau Viral?”
6. Journal of Digital Culture (2023). “Hyperreality in Social Media Platforms: The Case of TikTok.”

"Lo nggak perlu jadi diri sendiri, cukup jadi algoritma TikTok suka, dan lo bakal viral."
— Dunia modern, 2025
Pendahuluan : Ketika Aplikasi Hiburan Jadi Agama Baru
Kita semua tau, TikTok udah jadi lebih dari sekadar aplikasi joget-joget. Platform ini udah berubah jadi semacam "papan iklan virtual" tempat jutaan orang ngadu nasib, nyari validasi, bahkan bangun jati diri. Tapi lo sadar nggak sih? Ada sesuatu yang salah dari cara TikTok ngatur narasi tentang hidup, sukses, cantik, keren, atau bahkan cara berpikir.
Sadar nggak sadar, TikTok ngeluarin "standar baru" yang diam-diam nge-push Gen Z buat mikir bahwa mereka harus tampil, harus unik, harus lucu, harus keren, harus kurus, harus kaya, harus estetik—pokoknya harus viral. Dan kalau nggak sesuai standar itu? Yaudah, mental lo bisa anjlok, hidup lo kerasa nggak guna, dan eksistensi lo dianggap “b aja”.
---
Bab 1: Dunia TikTok dan Ilusi Keberhasilan Instan
Lo buka TikTok, scroll dua menit, dan boom—konten flexing! Ada yang baru beli mobil mewah, dapet endorse-an jutaan, jalan-jalan ke Eropa, atau tiba-tiba viral dengan "cuma" bikin video ngelawak sambil ngunyah mie. Dan lo mikir, "Gue juga bisa nih!" atau malah, "Gue ngapain aja sih selama ini?"
Padahal lo nggak ngeliat proses di balik semua itu. Banyak yang pura-pura kaya. Banyak yang ngutang demi konten. Banyak yang ngedit abis-abisan demi keliatan glowing. Tapi TikTok nyajikan semua itu sebagai realita. Dan sayangnya, Gen Z nerima itu sebagai standar.
---
Bab 2: Estetika = Validasi?
Banyak Gen Z sekarang ngukur harga diri dari seberapa aesthetic feed TikTok mereka. Outfit harus OOTD, kamar harus minimalis, makan harus fancy, dan hidup harus "penuh healing". Kalau lo nggak punya semua itu? Wah, hidup lo dibilang boring.
Akibatnya? Banyak yang rela beli barang di luar kemampuan, ikut tren nggak penting, dan fake personality cuma biar masuk algoritma. Self-worth udah bukan dari nilai, skill, atau kontribusi, tapi dari likes, shares, dan komentar netizen.
---
Bab 3: Toxic Positivity dan Budaya Hustle yang Nggak Manusiawi
Di satu sisi TikTok nyuruh lo "self love" dan "healing", tapi di sisi lain, mereka bombardir lo dengan konten motivasi ala-ala:
“Bangun jam 4 pagi biar sukses!”
“Lo nggak capek jadi miskin terus?”
“Kalau mau kaya, stop rebahan!”
Maksudnya bagus sih, tapi jadinya nyalahin korban. Lo jadi mikir, "Oh, gue miskin karena gue males," padahal realita sosial-ekonomi jauh lebih kompleks. TikTok terlalu menyederhanakan segalanya, seolah semua bisa diselesaikan dengan mindset dan niat.
---
Bab 4: Standarisasi Wajah dan Tubuh
Filter TikTok tuh udah kayak Photoshop on steroids. Sekali pake, muka lo langsung kayak artis Korea. Dan anehnya, itu malah jadi standar baru. Banyak Gen Z yang ngerasa insecure sama wajah asli mereka. Operasi plastik jadi cita-cita, skincare jadi prioritas utama, dan filter jadi default di semua konten.
Dan lo pikir itu semua harmless? Nope. Itu ngehancurin kepercayaan diri generasi ini dari akarnya. Lo dibikin ngerasa kurang, bahkan sebelum lo cukup umur buat ngerti arti cukup.
---
Bab 5: Komentar Netizen dan Budaya Judgment
Di TikTok, semua orang bisa jadi juri. Komentar pedes, sarkas, body shaming, sampai fitnah, itu makanan sehari-hari. Dan masalahnya, Gen Z—yang masih dalam proses ngebentuk identitas—sering banget terlalu percaya sama apa kata netizen.
Sekali viral, hidup lo bisa naik. Tapi sekali salah ucap, lo bisa dibully, di-cancel, bahkan depresi. Satu video bisa jadi tiket emas atau bumerang yang ngebunuh mental lo pelan-pelan.
---
Bab 6: Keaslian yang Palsu
Ironis banget, TikTok katanya platform buat jadi diri sendiri, tapi nyatanya semua orang berusaha keras buat mirip satu sama lain. Konten ditiru, suara dipake ulang, trend diikuti tanpa mikir. Lo nggak bener-bener bebas, lo cuma jadi pion algoritma.
Dan buat lo yang “berbeda”? Siap-siap ditolak. Keunikan lo cuma diterima kalau sesuai selera pasar.
---
Bab 7: Dampak Jangka Panjang—Bukan Cuma Mental, Tapi Sosial
Yang parah, standarisasi ini nggak cuma ngefek ke individu, tapi juga ke masyarakat. Kita jadi makin dangkal ngeliat orang. Lebih mentingin tampilan ketimbang isi kepala. Lebih kagum sama yang viral daripada yang beneran bermanfaat.
Dan lo liat sekarang, berapa banyak orang pengen jadi “content creator” tapi males belajar hal baru? Berapa banyak yang nganggap kerja kantoran itu “nggak keren”? Padahal, dunia nggak butuh semua orang jadi seleb TikTok. Dunia butuh dokter, guru, insinyur, peneliti, bahkan tukang ledeng!
---
Bab 8: Kita Butuh Literasi Digital yang Sehat
Sebenernya bukan salah TikTok doang. Tapi kita semua, terutama Gen Z, butuh lebih sadar. Butuh belajar bahwa:
Viral ≠ Berarti
Estetik ≠ Bahagia
Flexing ≠ Sukses
Lo nggak harus ikut standar TikTok buat jadi manusia keren. Lo cukup jadi versi terbaik dari diri lo sendiri, walau itu nggak estetik atau nggak viral.
---
Penutup: Lo Nggak Harus Jadi Apa yang Algoritma Mau
TikTok bisa jadi tempat hiburan, tapi jangan lo biarkan dia nentuin standar hidup lo. Lo bukan cuma angka views. Lo bukan jumlah followers. Dan hidup lo nggak harus viral buat layak dijalani.
Waktunya berhenti ngejar validasi dari layar 6 inci, dan mulai bangun kepercayaan diri dari hal-hal yang nyata—belajar, berkarya, berkontribusi, dan jadi manusia yang utuh.
Karena ujung-ujungnya, yang beneran keren itu bukan yang viral, tapi yang bisa bertahan dan berkembang di dunia nyata.
---
Referensi:
1. Purnama, R. (2023). Efek Media Sosial Terhadap Mental Anak Muda. Jakarta: Literasi Media Press.
2. Kompas.com (2024). "Fenomena FOMO dan Dampaknya bagi Gen Z."
3. Detik.com (2023). "Ketika Operasi Plastik Jadi Tren di Kalangan Remaja."
4. Psychology Today (2022). “TikTok and the Teen Brain: A Recipe for Addiction?”
5. CNN Indonesia (2024). “Generasi Konten: Mau Kerja atau Mau Viral?”
6. Journal of Digital Culture (2023). “Hyperreality in Social Media Platforms: The Case of TikTok.”






nowbitool dan 6 lainnya memberi reputasi
7
688
40


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan