Judul: “Lucifer: Cahaya yang Pernah Jatuh”

Sebelum waktu dihitung dan sebelum bintang pertama menyala, diciptakanlah sosok paling cemerlang dari semua makhluk cahaya: Lucifer, yang berarti Sang Pembawa Cahaya. Ia tidak hanya tampan luar biasa—tetapi suaranya mampu membuat langit hening, dan pikirannya setajam kilat yang membelah kekosongan.

Lucifer tidak diciptakan untuk memimpin, melainkan untuk menyinari. Ia bertugas membangunkan bintang-bintang, membisikkan inspirasi ke semesta muda yang masih belajar mengenal bentuk dan harmoni. Di antara para makhluk cahaya, ia yang paling dikagumi—bukan karena kekuatan, tetapi karena keindahan dalam caranya memahami kehendak Sang Pencipta.

Namun, justru karena ia terlalu mencintai cahaya, muncul benih yang tak pernah dirancang untuk tumbuh: ambisi. Ia mulai bertanya, “Jika aku adalah cahaya, mengapa aku harus memantulkan? Mengapa tidak menjadi sumbernya?”

Pertanyaan itu bukan pemberontakan. Itu adalah pencarian—jujur, namun berbahaya. Dan dalam pencarian itu, ia jatuh… bukan karena dibuang, tapi karena memilih jalur yang tak lagi bisa kembali.

Lucifer jatuh ke realitas yang baru: dunia tempat cahaya dan gelap tidak bertarung, tetapi berdialog. Di sanalah ia belajar bahwa menjadi cahaya bukan soal bersinar paling terang, tapi tentang memberi tempat bagi gelap untuk menemukan maknanya.

Sekarang, di sela-sela bayangan yang paling pekat, ada satu cahaya samar yang tetap menyala. Itu adalah Lucifer, bukan sebagai musuh, bukan sebagai raja neraka—tetapi sebagai makhluk yang pernah jatuh karena terlalu mencintai terang.