Kaskus

News

pilotesemka315Avatar border
TS
pilotesemka315
Soesalit Djojoadhiningrat, Anak Semata Wayang R.A. Kartini yang Terlupakan Sejarah
Soesalit Djojoadhiningrat, Anak Semata Wayang R.A. Kartini yang Terlupakan Sejarah


KOMPAS.com - Soesalit Djojoadhiningrat, satu-satunya anak dari Raden Ajeng Kartini, tak banyak dikenal masyarakat. Namanya seakan tenggelam di balik popularitas sang ibu, pelopor emansipasi perempuan Indonesia.

Padahal, perjalanan hidup Soesalit penuh dengan cerita pahit, dari menjadi yatim piatu sejak kecil, hingga dituduh terlibat dalam pemberontakan dan berakhir sebagai tahanan rumah.

Anak Semata Wayang Kartini Soesalit Djojoadhiningrat lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 13 September 1904. Ia adalah anak dari RA Kartini dengan suaminya, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, Bupati Rembang kala itu.

Namun, hanya empat hari setelah melahirkannya, RA Kartini wafat. Soesalit pun tumbuh tanpa kasih sayang ibu.

Tragedi serupa kembali terjadi ketika Soesalit baru menginjak usia delapan tahun. Sang ayah meninggal dunia, menjadikannya yatim piatu.

Setelah itu, Soesalit diasuh oleh neneknya, Ngasirah, serta kakak tirinya yang tertua, Abdulkarnen Djojoadhiningrat. Abdulkarnen-lah yang membiayai pendidikan Soesalit dan mengatur jalannya kehidupan sang adik tiri.

Layaknya RA Kartini, Soesalit mengenyam pendidikan di Europe Lagere School (ELS), sekolah elite yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan kaum bangsawan pribumi.

Pada 1919, ia lulus dari ELS dan melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang, kemudian masuk Rechtshoogeschool (RHS) di Batavia—sekolah tinggi hukum bergengsi pada masa kolonial. Namun, Soesalit hanya menempuh pendidikan hukum selama setahun. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai pamong praja kolonial.

Karier Soesalit mengambil arah yang mengejutkan ketika Abdulkarnen menawarinya posisi di Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yakni polisi rahasia Hindia Belanda. Tugasnya adalah memata-matai kaum pergerakan nasional dan mengantisipasi spionase asing, termasuk dari Jepang.

Pekerjaan ini membuat batin Soesalit terbelah—di satu sisi ia bekerja untuk pemerintahan kolonial, tapi di sisi lain ia paham bahwa tugasnya justru mengkhianati bangsanya sendiri.

Situasi berubah saat Jepang menguasai Indonesia. Soesalit meninggalkan PID dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), tentara sukarela bentukan Jepang.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Soesalit aktif dalam perjuangan fisik. Ia pernah menjadi Panglima Divisi III Diponegoro dan bergerilya di Gunung Sumbing saat Agresi Militer Belanda II.

Namun, karier militernya tidak berjalan mulus. Soesalit yang sempat berpangkat Mayor Jenderal, diturunkan pangkatnya menjadi Kolonel, hingga kemudian dipindahkan ke Kementerian Perhubungan.

Puncak penderitaan Soesalit terjadi pada peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948. Dalam sebuah dokumen yang disita pemerintah, namanya tercantum sebagai "orang yang diharapkan" oleh kelompok pemberontak. 

Pada September 1948, terjadi peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun yang menyeret namanya. Peristiwa tersebut merupakan pemberontakan oleh kelompok komunis, di mana tentara yang dianggap memiliki kecenderungan kiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhasil menguasai Kota Madiun dan sekitarnya.

Soesalit, yang memiliki hubungan dekat dengan beberapa tokoh-tokoh dan laskar-laskar kiri, dituduh terlibat dalam pemberontakan ini.

Meski keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun tidak pernah dibuktikan dan tidak melalui proses peradilan, ia dijadikan sebagai tahanan rumah.

Soesalit kemudian dibebaskan oleh Presiden Soekarno, dan setelah peristiwa itu, ia tidak lagi menjabat panglima. Ia dipindahtugaskan menjadi perwira staf Angkatan Darat di Kementerian Pertahanan.

Pada 1950, Soesalit menjadi Kepala Penerbangan Sipil, dan di masa Kabinet Ali Sastroamodjojo I (1953-1955), ia ditunjuk sebagai Penasihat Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri dengan pangkat kolonel. Soesalit mengabdi sebagai pejabat sipil dengan pangkat militer tanpa bintang. Namanya nyaris tak terdengar lagi di kalangan publik.

Soesalit Djojoadhiningrat wafat pada 17 Maret 1979 di Rumah Sakit Angkatan Perang (RSAP). Semasa hidup, Soesalit menikah dengan Siti Loewijah dan dikaruniai seorang putra bernama Boedi Setyo Soesalit.

Boedi Soesalit menikah dengan Sri Bidjatini dan memiliki lima anak yang dinamai Kartini, Kartono, Rukmini, Samimum, dan Rachmat. Namun, sepeninggal Boedi Soesalit, keturunan Kartini hidup dalam keprihatinan.

"Hanya yang pertama yang lumayan, sedangkan Kartono mengojek, demikian pula Samimun juga jadi tukang ojek. Sementara Rukmini telah ditinggal suaminya yang bunuh diri akibat terlilit ekonomi, dan Racmat yang menderita autis sudah meninggal," ungkap Bupati Jepara Ahmad Marzuki saat memberi sambutan pada Resepsi Peringatan Hari Kartini ke-39 Tahun 2018 di Pendapa Kabupaten Jepara, dikutip Kompas.com dari situs resmi Pemprov Jateng, Sabtu (20/4/2024).

Salah satu pesan terakhir yang Soesalit tinggalkan untuk keturunannya adalah agar tidak membanggakan statusnya sebagai anak RA Kartini. Ia berharap mereka hidup dengan rendah hati dan tidak menjadikan garis keturunan sebagai alasan untuk merasa lebih tinggi dari orang lain.

SUMBER: KOMPAS.COM (Penulis: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti | Editor: Widya Lestari Ningsih)

nunuahmadAvatar border
brucebanner23Avatar border
Jordan2010Avatar border
Jordan2010 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
673
44
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan