Kaskus

Story

ice.everydayAvatar border
TS
ice.everyday
Punden Di Ujung Sawah
Punden Di Ujung Sawah

Punden Di Ujung Sawah


Judul: “Punden di Ujung Sawah”

Halaman 1: Warisan Terlarang

Namaku Rangga, 28 tahun. Setelah orangtuaku meninggal karena kecelakaan aneh di jalanan desa, aku pulang kampung dari Jakarta. Warisan satu-satunya hanya sebidang sawah dan sebuah rumah tua peninggalan kakek, yang katanya dulu seorang dukun sakti.

Tetangga-tetangga bilang sawah itu angker. Setiap malam Jumat Kliwon, suara gamelan terdengar samar dari arah punden kecil di ujung pematang. Tidak ada yang berani lewat sana, apalagi saat malam.

Awalnya aku tak peduli. Tapi saat hasil panen pertama gagal total—padi membusuk sebelum waktunya—aku mulai khawatir. Aku mendatangi Mbah Sastro, tetua desa. Dengan suara berat ia berkata,
"Kalau kau mau sawah itu subur kembali, temui saja ‘penunggu’ punden itu. Tapi ingat, setiap berkah pasti ada tumbalnya…”

Halaman 2: Perjanjian Malam

Malam Jumat berikutnya, aku nekat ke punden. Membawa bunga tujuh rupa dan kemenyan, aku duduk bersila, membaca mantra yang diberi Mbah Sastro.

Udara berubah dingin. Kabut turun pelan. Dari dalam punden, muncul sosok wanita berambut panjang, mengenakan kebaya lusuh. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia memperkenalkan diri sebagai Nyi Sari, penunggu tanah itu sejak zaman penjajahan.

"Apa kau ingin sawahmu subur, uangmu berlimpah, dan hidupmu dihormati?”
Aku mengangguk kaku.

"Serahkan padaku sesuatu yang kau sayangi... dan jangan sekali-kali melanggar perjanjiannya."

Aku setuju. Dalam hati berpikir, aku bisa menyerahkan benda—bukan orang. Tapi malam itu, aku bermimpi adikku, Lila, berdiri kaku di tengah sawah, matanya putih semua.

Halaman 3: Tumbal dan Kutukan

Seminggu setelah ritual, sawahku berubah drastis. Padi tumbuh tebal, emas mengilap. Orang-orang desa mulai heran. Aku jual hasil panen dan kaya mendadak. Mobil, rumah baru, semua kudapat.

Tapi Lila mulai sakit aneh. Tubuhnya lemas, tak sadarkan diri, dan terus menggumam,
"Sawah... Nyi Sari... Sawah..."

Aku panik. Mbah Sastro datang tergopoh-gopoh.
"Kau sudah menandatangani perjanjian gaib, Rangga. Dan tumbalnya... adalah orang yang paling kau sayangi."

Aku menangis. Menyesal. Aku kembali ke punden, berlutut dan memohon pengampunan. Tapi Nyi Sari hanya tertawa.

"Kau sudah kenyang... sekarang waktunya membayar."

Besoknya, Lila hilang. Tak ada jejak. Dan setiap malam, aku dengar suara tertawa wanita dari arah sawah. Kadang samar, kadang sangat dekat.

Sekarang aku tinggal sendiri. Kaya, tapi terkutuk. Dan aku tahu... malam ini Jumat Kliwon. Dan Nyi Sari belum selesai menagih.
0
6
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan