- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Tenggelamnya Cinta yang Tak Reda


TS
yantosau
Tenggelamnya Cinta yang Tak Reda

Tenggelamnya Cinta yang Tak Reda
Setelah kapal Van der Wijck tenggelam, banyak orang mengenang kisah cinta Zainuddin dan Hayati sebagai kisah paling tragis yang pernah tercatat dalam sejarah tanah Minangkabau. Namun tak ada yang tahu bahwa cinta mereka… tidak tenggelam sepenuhnya.
Zainuddin tidak pernah benar-benar pulih setelah kehilangan Hayati. Walau ia akhirnya menjadi penulis besar, setiap kata yang dituliskannya seperti teriakan sunyi kepada seseorang yang tak bisa lagi mendengar. Pada malam-malam tertentu, ia mengurung diri di kamar, menatap lukisan Hayati yang tergantung di dinding, lalu menulis puisi tanpa henti hingga fajar.
Tapi pada malam ke-40 setelah Hayati dikuburkan, Zainuddin mendengar suara ketukan di jendela. Bukan ketukan keras, hanya ketukan lembut... seakan seseorang yang terlalu rindu tapi tak berani masuk. Ia mendekat perlahan. Dan di balik kaca, ia melihatnya—wajah Hayati, pucat dan basah, tersenyum tipis dengan mata kosong.
“Zain… aku kedinginan,” bisiknya dari luar jendela.
Zainuddin terperanjat, tapi tidak menjerit. Ia hanya membuka pintu… dan membiarkannya masuk.
Malam itu menjadi awal dari kegilaan.
Hari-hari berikutnya, orang-orang mulai menjauh dari Zainuddin. Ia sering terlihat berbicara sendiri. Di rumahnya tercium aroma garam dan laut, meski letaknya jauh dari pesisir. Malam hari, jendela kamarnya memantulkan dua bayangan, meski hanya ia seorang yang tinggal di sana.
Ia bilang pada sahabatnya, Muluk, bahwa Hayati belum benar-benar pergi. Ia terjebak antara dunia, menunggunya di “tengah laut yang tak punya dasar.”
“Kau gila, Zain!” bentak Muluk.
Zainuddin hanya tersenyum.
“Aku hanya sedang menulis bab terakhir.”
Beberapa minggu kemudian, Zainuddin menghilang. Rumahnya terkunci dari dalam. Di meja tulisnya, hanya ada satu manuskrip tipis berjudul: “Surat dari Laut Dalam.” Di halaman terakhirnya, tertulis:
“Aku akan menyusulmu, Hayati. Jika dunia tak memberi kita jalan, maka biarlah laut jadi pelaminan kita.”
Dan sejak itu, nelayan yang melaut di kawasan reruntuhan Van der Wijck mengaku sering melihat sepasang bayangan berdiri di atas air—seorang pria berpakaian Melayu dan wanita bergaun zaman kolonial—berpegangan tangan, menatap bulan tanpa suara.
Kadang, saat malam gelap, terdengar suara bisikan dari tengah laut:
“Cinta kami tak tenggelam… hanya menunggu untuk dikenang.”


intanasara memberi reputasi
1
28
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan