- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Lentera di Ujung Senja


TS
yantosau
Lentera di Ujung Senja

Lentera di Ujung Senja
Langit sore di kota kecil itu selalu tampak sama—tenang, lembut, dan penuh kenangan. Di sebuah bangku taman yang sudah usang catnya, Rehan duduk sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut. Matanya menatap kosong ke arah danau, namun pikirannya terbang jauh ke masa lalu, ke tempat di mana kisah cinta yang paling indah dan paling menyakitkan dalam hidupnya pernah bersemi.
Empat tahun lalu, Rehan bertemu Aira di perpustakaan kampus. Ia tak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama, sampai ia melihat gadis itu duduk di pojok ruangan dengan buku puisi Kahlil Gibran di tangannya. Aira, dengan rambut panjang terikat rapi dan senyum yang selalu tampak seperti musim semi, menjadi satu-satunya alasan Rehan bangun pagi dan datang ke perpustakaan setiap hari.
Mereka jatuh cinta perlahan, tanpa tergesa. Percakapan-percakapan kecil berubah jadi diskusi panjang tentang hidup, mimpi, dan luka masa lalu. Aira pernah berkata, "Aku ingin hidup seperti puisi. Tidak harus bahagia, tapi harus jujur."
Cinta mereka tumbuh di tengah keterbatasan—Aira menderita penyakit autoimun langka. Ia sering pingsan, tubuhnya cepat lelah, dan harus mengonsumsi obat setiap hari. Tapi Rehan tak pernah mundur. Ia mengantar Aira ke rumah sakit, membacakan puisi untuknya saat sedang lemah, dan bahkan belajar memasak karena Aira suka makanan hangat buatan sendiri.
Namun waktu tak pernah memihak mereka yang mencintai terlalu dalam. Pada suatu sore yang dingin, ketika langit tampak terlalu sunyi dan angin seperti membawa pertanda buruk, Aira menghilang. Tidak ada pesan, tidak ada surat perpisahan—hanya sebuah rekam medis terakhir yang ditinggalkan di meja kosnya. Aira pergi ke luar negeri diam-diam, menjalani perawatan yang katanya bisa menyelamatkan hidupnya.
Rehan menunggu. Sebulan. Dua bulan. Setahun. Ia menulis surat setiap minggu, tak satu pun berbalas. Ia mencari melalui media sosial, email, teman dekat Aira—tak ada jejak. Seolah Aira telah menghilang dari dunia.
Dan sore itu, empat tahun kemudian, Rehan menerima surat dari alamat tak dikenal. Isinya hanya satu halaman, ditulis dengan tulisan tangan yang masih ia ingat betul:
_"Rehan, maafkan aku karena pergi tanpa pamit. Aku takut kamu akan menghentikanku. Aku takut kamu akan menahan aku untuk tetap tinggal, padahal aku harus pergi. Dokter berkata harapanku kecil, dan aku tak mau kamu menunggu seseorang yang mungkin takkan kembali._
_Tapi aku salah._
_Karena di setiap detik aku bertarung dengan rasa sakit, aku merindukanmu. Aku membayangkan suaramu membacakan puisi, tanganmu yang selalu hangat di tanganku._
_Aku menulis ini karena tubuhku tak kuat lagi. Tapi hatiku ingin kau tahu—aku mencintaimu sampai akhir, dan setelahnya._
_Jangan bersedih, Rehan. Jadikan aku puisi yang tak selesai—karena cinta kita tak pernah berakhir."_
Air mata Rehan jatuh tanpa bisa ia tahan. Sore itu, bangku taman yang sama menjadi saksi hati yang patah, cinta yang tak selesai, dan kisah yang tak sempat berakhir dengan bahagia.
Langit senja menelan cahaya terakhir, dan Rehan menyalakan lentera kecil di sampingnya, simbol cintanya untuk Aira yang kini mungkin telah menjadi bagian dari bintang.


intanasara memberi reputasi
1
27
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan