- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Saat Hujan Berhenti


TS
yantosau
Saat Hujan Berhenti

“Saat Hujan Berhenti”
Rintik hujan turun pelan, membasahi kaca jendela kamar Raka. Suara gemericiknya seolah menyanyikan lagu lama yang tak pernah benar-benar usai—tentang dia dan Aira.
Mereka bertemu di bangku kuliah, dua manusia asing yang dipertemukan di ruang perpustakaan, saling berebut buku yang sama. Aneh, bagaimana satu kejadian kecil bisa menumbuhkan ribuan kenangan. Sejak itu, mereka tak terpisahkan. Dari kopi tengah malam di taman kampus, diskusi panjang soal puisi Chairil Anwar, hingga tawa lepas di bawah langit senja. Dunia terasa lebih masuk akal saat Aira ada.
Namun hidup, seperti biasa, punya rencana lain.
Aira didiagnosis menderita penyakit autoimun langka yang perlahan menggerogoti tubuhnya. “Jangan menangis, Rak. Aku masih di sini,” ucap Aira dengan senyum rapuh saat pertama kali mengabarkan hasil diagnosisnya.
Raka mencoba jadi kuat. Ia mendampingi Aira ke setiap pengobatan, menemani malam-malam penuh nyeri, dan menyeka air mata yang Aira pikir tak ada yang melihat. Tapi semakin hari, tubuh Aira semakin lemah. Sementara cintanya tetap kuat. Begitu pula dengan luka yang tumbuh dalam dada Raka—perlahan tapi pasti.
Suatu malam, saat langit Jakarta diselimuti hujan, Aira menggenggam tangan Raka dan berkata, “Kalau aku nggak ada, kamu harus tetap hidup bahagia, ya?”
Raka hanya terdiam, matanya basah, dadanya sesak. Ia tak pernah membayangkan dunia tanpanya.
Tiga bulan kemudian, Aira pergi. Di pagi hari yang dingin, di atas ranjang putih rumah sakit, dengan lagu kesukaan mereka diputar lirih di sudut ruangan.
Saat itu, dunia Raka seolah berhenti.
Ia tak hadir di pemakaman. Tak menjawab panggilan teman-teman. Ia hanya duduk di kamar mereka, memeluk bantal yang masih harum tubuh Aira. Menulis surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Dan membaca puisi yang pernah mereka baca bersama.
Hari-hari berlalu, bulan-bulan terlewati. Tapi rindu tak pernah pergi. Raka hanya belajar hidup berdampingan dengan luka.
Sampai suatu ketika, saat langit sore mulai bersih dan hujan reda, Raka berjalan ke taman tempat mereka biasa duduk. Ia membuka buku catatan kecil Aira yang dulu diberikan saat ulang tahun—dan di halaman terakhir tertulis:
_"Kalau suatu hari aku pergi lebih dulu, jangan tangisi aku terlalu lama. Tapi cintailah dunia dengan caraku. Lihat hujan, dengar musik, peluk seseorang. Dan ketika hujan berhenti, kamu akan tahu... aku masih di sana. Di setiap jeda, di setiap sunyi."_
Raka menatap langit. Untuk pertama kalinya, ia tak menangis. Ia hanya tersenyum, kecil, lemah, tapi nyata.
Karena cinta tidak selalu berakhir saat seseorang pergi. Kadang cinta tinggal diam... di tempat yang tenang dalam hati. Menunggu dikenang. Bukan dilupakan.


intanasara memberi reputasi
1
25
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan