Kaskus

Story

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Satu Nama di Ujung Penantian
Satu Nama di Ujung Penantian

"Satu Nama di Ujung Penantian"

Namaku Rama, dan aku percaya bahwa setiap cinta punya takdirnya sendiri. Tapi aku juga tahu, tak semua takdir berakhir bahagia.

Aku bertemu Dinda di bangku kuliah. Ia gadis yang cerdas, lembut, dan penuh semangat. Aku yang awalnya hanya ingin fokus belajar, perlahan-lahan mulai jatuh pada senyum dan tatap matanya yang penuh kehidupan. Dinda berbeda. Ia tak hanya membuatku tertarik—ia membuatku berani mencintai.

Butuh waktu lama bagiku untuk mengungkapkan perasaanku. Aku tahu, ia didekati banyak pria. Tapi tak satupun dari mereka yang bertahan lama, katanya. Dinda terlalu idealis, terlalu mencintai kebebasan dan mimpinya. Aku menghargai itu. Justru karena itu aku menyayanginya.

Dan akhirnya, aku beranikan diri. Di bawah hujan yang membasahi taman kampus, aku mengatakan, “Aku mencintaimu, Din. Bukan untuk hari ini saja, tapi untuk masa depan yang mungkin bisa kita bangun bersama.”

Ia terdiam lama. Lalu tersenyum.

“Rama… kamu tahu, aku selalu merasa nyaman saat bersamamu. Tapi aku belum siap untuk komitmen. Aku takut... merusak apa yang sudah kita punya.”

Aku mengangguk. Tak apa. Setidaknya, aku sudah jujur.

Kami tetap dekat. Kadang terasa seperti pacaran, kadang seperti dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja. Aku terus bertahan, berharap suatu hari ia akan membuka hati sepenuhnya untukku.

Namun, hidup punya cara sendiri untuk bercanda.

Setelah lulus, Dinda mendapat tawaran kerja di luar negeri. Ia pamit dengan mata berkaca-kaca. “Tolong jaga diri ya, Ram. Doakan aku…”

Dan aku melepasnya. Dengan senyum yang kupaksakan.

Bertahun-tahun berlalu. Kami masih saling mengirim kabar, meski mulai jarang. Aku masih sendiri, masih menunggu. Setiap kali ada pesan masuk, aku berharap itu dari Dinda. Dan kadang memang benar—tapi hanya berisi tanya kabar, seperti dua teman lama yang tak pernah punya rasa.

Hingga suatu hari, kabar itu datang. Dari sahabat lamaku.

“Rama… kamu sudah tahu? Dinda akan menikah bulan depan…”

Dunia runtuh seketika. Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku membaca undangan yang dikirim melalui grup alumni. Dinda menikah. Dengan lelaki yang tak kukenal. Seorang pebisnis sukses, katanya. Dijodohkan orangtuanya, tapi Dinda menerima dengan senang hati.

Aku tak bisa menangis. Hanya duduk diam di kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. Semua kenangan bersamanya datang bertubi-tubi—tawa di taman, obrolan di kantin, pelukan saat perpisahan. Semua itu... sia-sia?

Aku datang ke pernikahannya. Berdiri di antara para tamu, memakai jas abu-abu yang sudah kusam. Dinda terlihat anggun di pelaminan. Ia melihatku, dan tersenyum. Tapi senyum itu bukan lagi untukku.

Tak ada pelukan, tak ada tangis. Hanya diam yang menghancurkan lebih dari apapun.

Setelah itu, aku benar-benar sendiri. Tak ada wanita lain yang bisa mengisi ruang kosong yang dulu hanya diisi oleh Dinda. Banyak yang datang, tapi tak pernah bertahan. Mungkin karena aku masih menunggu... sesuatu yang tak akan pernah kembali.

Hingga kini, aku masih menulis surat untuk Dinda. Surat yang tak pernah kukirim. Dan di setiap akhir surat, aku selalu menulis:

“Kalau waktu bisa kembali, aku ingin memilih untuk tak mengenalmu… agar aku tak tahu rasanya mencintai, lalu kehilangan.”
namakuveAvatar border
intanasaraAvatar border
intanasara dan namakuve memberi reputasi
2
22
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan