Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
SETELAH UU TNI, KINI GILIRAN POLRI DAN KEJAKSAAN
Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan

Pengesahan UU TNI memicu kritik dan penolakan kalangan masyarakat sipil dan mahasiswa. Perlawanan dilakukan melalui dua jalan: konstitusi dan demonstrasi. Mencuat kabar DPR akan melanjutkan pembahasan RUU lain yang berkaitan dengan lembaga penegakan hukum. Civil Society memandang langkah ini sebagai bagian dari upaya sistematis untuk memperkuat kendali kekuasaan melalui instrumen hukum.
Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Sehari setelah DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), sembilan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mendaftarkan permohonan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai proses revisi UU tersebut sarat pelanggaran prosedur legislasi, terutama terkait asas transparansi dan partisipasi publik.

Abu Rizal Biladina, salah seorang kuasa hukum mahasiswa UI dalam perkara ini memandang, revisi UU TNI yang baru disahkan tidak melalui proses yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurutnya, keterbukaan dalam pembentukan undang-undang adalah hal yang mutlak, tetapi dalam kasus ini, prosesnya justru terkesan tertutup dan minim akses publik.

Pihaknya melihat banyak kejanggalan dalam pengesahan revisi UU TNI ini. Salah satunya adalah minimnya akses publik terhadap draft RUU dan naskah akademiknya. “Hal ini jelas melanggar asas keterbukaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 96 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” ungkap Abu Rizal dalam keterangannya, Sabtu, 29 Maret 2025 lalu.

Dalam uji formil yang diajukan, mahasiswa UI menyoroti beberapa hal mendasar terkait pembentukan revisi UU TNI. Menurut mereka, proses pembahasannya tidak hanya tertutup, tetapi juga RUU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. “RUU TNI ini tiba-tiba masuk dan menyingkirkan RUU Penyiaran yang seharusnya dibahas dalam periode ini. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap aturan legislasi yang telah ditetapkan,” tambah Rizal.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Mahasiswa UI melakukan gugatan judicial review UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (Dok. Abu Rizal Biladina)
Pada petitumnya dikatakan, gugatan meminta lima hal. Di antaranya: menyatakan bahwa revisi UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945; dan menyatakan bahwa revisi UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Selain menyoroti kurangnya transparansi dalam proses penyusunan, mahasiswa UI juga mengkritik pernyataan beberapa anggota DPR yang mengakui bahwa draft RUU tidak dipublikasikan untuk menghindari polemik di masyarakat. Menurut mereka, tindakan ini tidak hanya melanggar hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi, tetapi juga mencederai demokrasi.

“Kami sangat menyayangkan pernyataan dari DPR yang mengatakan bahwa draft RUU tidak disebarkan agar masyarakat tidak ribut. Ini bentuk ketidakpedulian terhadap aspirasi publik. Sebagai lembaga negara dengan fungsi legislasi, DPR seharusnya menjadi contoh dalam menaati aturan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Selain itu, mahasiswa UI ini juga menyoroti perubahan signifikan dalam revisi UU TNI, seperti perluasan peran TNI dalam jabatan sipil dan perpanjangan usia pensiun. Mereka menilai bahwa kebijakan ini berpotensi mengganggu keseimbangan sistem pemerintahan dan demokrasi di Indonesia.

Strategi mahasiswa dalam mengajukan uji formil sehari setelah pengesahan undang-undang ini bertujuan untuk menjaga perhatian publik terhadap isu tersebut. Mereka juga berharap, dengan adanya gugatan ini, pemerintah akan lebih berhati-hati dalam mengambil langkah selanjutnya, termasuk keputusan Presiden Prabowo dalam menandatangani undang-undang tersebut.

Selain upaya hukum melalui MK, mahasiswa UI juga terus menggalang dukungan publik melalui media sosial dan aksi advokasi lainnya. Mereka menegaskan, gerakan ini bukan hanya representasi dari sekelompok mahasiswa, melainkan gerakan masyarakat sipil yang lebih luas dalam menjaga demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.

“Kami menggunakan apa yang kami punya, yaitu ilmu hukum yang kami pelajari di kampus, untuk memperjuangkan keadilan dan kepentingan rakyat. Ini adalah bentuk kontribusi kami sebagai mahasiswa hukum dalam menjaga sistem hukum yang adil dan transparan di negara ini,” pungkas Abu Rizal Biladina.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Selain dari mahasiswa, pengesahan UU TNI ini pun segera menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat sipil, termasuk lembaga pemantau hak asasi manusia dan demokrasi, Imparsial. Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, juga menilai proses legislasi yang dilakukan menunjukkan pengabaian terhadap prinsip transparansi dan partisipasi publik.

“Proses pembahasan revisi ini sangat tertutup, terburu-buru, dan minim partisipasi publik. Pembahasan yang dilakukan di hotel dan pada hari libur semakin menunjukkan rendahnya komitmen DPR terhadap keterbukaan,” ujar Ardi Manto Adiputra kepada insider, Rabu, 2 April 2025.

Menurutnya, pengesahan revisi UU TNI ini tidak menjawab permasalahan mendasar dalam reformasi militer. Beberapa aspek krusial seperti reformasi peradilan militer, modernisasi alat utama sistem senjata (Alutsista), kesejahteraan prajurit, serta transparansi dan akuntabilitas di lingkungan TNI tidak mendapat perhatian dalam revisi tersebut. Sebaliknya, regulasi baru ini justru memperluas peran TNI di sektor sipil dan melonggarkan pengaturan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang dinilai berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

Ardi juga menyoroti adanya permohonan Judicial Review (JR) terhadap UU TNI yang diajukan Kolonel Sus Prof. Dr. Mhd. Halkis, MH, seorang anggota TNI aktif sekaligus akademisi di Universitas Pertahanan. Dalam dokumen permohonannya, terdapat usulan untuk memperluas kompetensi jabatan sipil bagi prajurit TNI aktif serta menghapus larangan keterlibatan prajurit dalam bisnis.

“Jika permohonan JR ini dikabulkan, maka ini akan menjadi langkah mundur yang serius. ]b\Reformasi TNI bertujuan membatasi peran militer dalam ranah sipil, bukan malah memperluasnya,[/b]” tegas Ardi.

Sebagai langkah hukum, Imparsial bersama koalisi masyarakat sipil juga berencana mengajukan Judicial Review terhadap revisi UU TNI. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk koreksi atas cacat formil maupun materiil dalam pengesahan undang-undang tersebut. Namun, menurut Ardi, tim JR masih menghadapi kendala teknis dalam mempersiapkan substansi gugatan karena UU TNI yang telah disahkan DPR belum dimuat di lembaran negara. Akibatnya, mereka belum dapat memastikan draft final mana yang resmi disahkan DPR.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Seorang mahasiswa berorasi saat aksi terkait revisi UU TNI di depan Gerbang Pancasila, Gedung DPR RI Jakarta, Kamis, (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/tom)
Ardi juga menyoroti peran mahasiswa dalam aktivisme hukum yang semakin berkembang. Menurutnya, sudah banyak mahasiswa fakultas hukum dari berbagai kampus yang menggugat undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan tak sedikit di antaranya yang dikabulkan. Ia menilai positif tren ini sebagai secercah harapan di tengah defisit budaya politik.

“Ketika budaya politik mengalami defisit, budaya hukum justru tumbuh berkembang di kalangan orang muda dan mahasiswa. Ini adalah hal yang patut diapresiasi karena menunjukkan kesadaran hukum yang tinggi di generasi muda,” ujar Ardi.

Empat hari menjelang lebaran Idulfitri, tepatnya Kamis 27 Maret 2024 demonstrasi mahasiswa yang menolak pengesahan Undang-Undang TNI masih terjadi di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Demonstrasi di Jakarta tersebut bukan kali pertama dilakukan, begitu juga dengan daerah lain di Indonesia yang bergerak secara serentak. Ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan menyuarakan penolakannya terhadap dwifungsi TNI, agar prajurit tidak diberikan kewenangan lebih di ranah sipil.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) disaksikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan), Adies Kadir (ketiga kanan) dan Saan Mustopa (kedua kiri) pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.)
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai pecahnya demonstrasi di seluruh pelosok Tanah Air sebagai puncak kekecewaan publik terhadap DPR, Pemerintah, dan segenap partai politik sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam praktik bernegara secara demokratis. Terlebih mereka saling berpangku tangan untuk mengesahkan RUU TNI di tengah kekecewaan tersebut.

Peneliti Formappi Lucius Karus menyebut, kekecewaan publik secara khusus dialamatkan kepada DPR yang dirasa berjarak dengan masyarakat sejak 2014. Kemudian, kekecewaan ini juga dialamatkan pada gelaran Pemilu 2019 dan 2024 yang dianggap tidak melahirkan anggota DPR yang benar-benar merepresentasikan kepentingan publik sehingga kekecewaan itu kian menjadi-jadi.

“Sebaliknya DPR justru terjebak dalam kompromi politik elit yang menempatkan mereka hanya sebagai tukang stempel. DPR hanya menjadi alat penguasa. Jabatan wakil rakyat hanya tameng untuk menjalankan kepentingan elit,” kata Lucius kepada insider, Kamis, 27 Maret 2025.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Bagi Lucius, persekongkolan antara DPR dan elit secara telanjang ditunjukkan melalui pembentukan legislasi yang kemudian melahirkan banyak UU baru melalui revisi yang dilakukan. Ada sekian banyak RUU yang dicetuskan sejak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menurut catatan Lucius dilakukan secara manipulatif untuk memenuhi keinginan elit semata.

Revisi UU lainnya pun bermunculan, seperti RUU Mahkamah Konstitusi (MK), RUU Kejaksaan, RUU Desa, RUU Cipta Kerja, Perpu Ciptaker, RUU Pilkada, UU Ibu Kota Nusantara (IKN), UU Minerba, UU BUMN, hingga UU TNI yang baru saja disahkan. Semua revisi yang kemudian disahkan menjadi UU dilakukan secara sadar dan sengaja mengakali publik dengan berpura-pura melibatkan masyarakat formalistik, kemudian proses pembahasannya dilakukan secepat kilat dan tertutup.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Seperti jamak diketahui, kekhawatiran publik akan kembalinya dwifungsi TNI sudah disuarakan sebelum RUU TNI disahkan, namun DPR seakan tidak mempedulikan protes tersebut. Lucius mengira demonstrasi akan terus terjadi sepanjang DPR dan Pemerintah acuh tak acuh menanggapi suara yang dilontarkan publik. DPR maupun Pemerintah, kata Lucius, seharusnya merespons dengan cara membenahi kembali UU TNI secara partisipatif.

Lucius juga memastikan, demonstrasi yang dilakukan berjilid-jilid itu dilakukan secara spontanitas dan bukan by design oleh kekuatan politik tertentu. Lucius menyebut, apabila demonstrasi itu by design maka tidak akan terjadi semasif yang dilakukan saat ini.

Belum selesai soal RUU TNI, muncul kabar bahwa DPR sedang menyibukkan diri untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), lalu revisi UU Polri, Kejaksaan, dan lainnya. Menurut Lucius, boleh saja DPR membahasnya – apalagi rencana revisi itu sudah masuk ke Prolegnas-- asalkan dilakukan dengan kesadaran dan kontrol publik yang ketat. DPR tidak boleh sesuka hati dan harus menjelaskan substansi perubahan dalam UU.

DPR juga harus memastikan, prosedur yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak ada yang diabaikan, begitu juga dengan keterbukaan dan partisipasi dari masyarakat. “Jika kesalahan yang sama masih dilakukan DPR, artinya ujian dari sikap publik sesungguhnya tengah menanti. Dan bukan tak mungkin konsolidasi sikap penolakan publik itu berujung pada sesuatu yang tidak terbayangkan oleh DPR dan Pemerintah,” imbuhnya.

Perihal rencana revisi UU Polri, Lucius menyebut belum ada pembicaraan secara substansi yang dibahas oleh DPR. Kendati demikian, berkaca pada RUU TNI yang dianggap penuh siasat DPR dan dilakukan tergesa-gesa, maka wajar saja muncul kekhawatiran di benak publik kejadian serupa akan berulang. Apalagi, RUU Polri juga sempat dibahas di DPR pada periode 2019-2024 walau urung dilanjutkan.

Lucius menganggap kekuatan TNI, Polri, dan Kejaksaan akan menjadi instrumen yang dapat mengendalikan semua nafsu kekuasaan, mulai dari hal keamanan hingga proses penegakan hukum yang bisa dikendalikan. “Kebebasan menjadi mudah dikendalikan ketika pemerintah menginginkan stabilitas, dan instrumen hukum menjadi alat ampuh untuk memudahkan kendali atas parpol dan juga figur-figur berpengaruh tetapi sekaligus punya celah kasus,” tandasnya.

Perkara munculnya kabar bahwa DPR sedang menyiapkan beberapa RUU pasca pengesahan UU TNI, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Hasbiallah menyebut, sudah sewajarnya KUHAP direvisi lantaran sudah berusia 43 tahun sejak diundangkan pada 1981. Ia menilai, KUHAP sudah tidak relevan dengan situasi dan dinamika masyarakat yang terus mengalami perkembangan dalam berbagai aspek. “Revisi KUHAP ini juga agar lebih selaras dengan KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026 mendatang,” katanya kepada INISIDER, Kamis, 27 Maret 2025.

Ia menyebut revisi KUHAP merupakan usulan inisiatif DPR dan Pemerintah yang telah sepakat untuk melakukan pembahasan bersama-sama usai menerima Surat Presiden (Surpres) dan Presiden Prabowo. Pembahasan lanjutan akan dilakukan pada masa sidang akan datang setelah masa reses. Menurutnya, DPR dan Pemerintah menargetkan untuk menuntaskan pembahasan revisi KUHAP maksimal dalam dua kali sidang. “Insya Allah paling lambat akhir tahun ini kita sudah punya KUHAP yang baru,” ucapnya.

Setelah UU TNI Kini Giliran Polri dan Kejaksaan
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKB DKI Jakarta ini mengungkapkan pasal-pasal yang akan menjadi pembahasan utama dalam revisi KUHAP, antara lain perihal Restorative Justice dalam penanganan kasus Penghinaan Presiden, penggunaan kamera CCTV dalam proses pemeriksaan dan penahanan, dan Advokat tidak bisa dituntut pada saat melakukan pembelaan perkara selama tidak melanggar hukum dan etika. Selama pembahasan tersebut, ia memastikan pihaknya akan bersikap transparan serta melibatkan masyarakat, akademisi, dan stakeholder lainnya hingga akhir pembahasan.

Namun, terkait rencana pembahasan RUU Polri, ia menyebut DPR belum menerima Surpres hingga 26 Maret 2025, sehingga pihaknya belum bisa melakukan pembahasan RUU Polri. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad juga mengaku DPR belum menerima surat dari Presiden untuk memulai pembahasan. “Prinsipnya DPR siap membahas RUU Polri dan RUU Kejaksaan setelah menerima Surpres terkait,” tuturnya.

Saat ditanya perihal Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) serta draf RUU Polri yang beredar di media sosial, ia mengaku tidak mengetahuinya dan meminta agar menunggu draf resmi yang dikeluarkan pemerintah dan DPR. "Kita sudah sepakat kemarin sebelum reses ada beberapa kebijakan atau formulasi baru tentang pembahasan undang-undang di DPR apakah itu nanti, tunggu saja demikian ya," ucap Dasco.

https://www.inilah.com/setelah-uu-tn...-dan-kejaksaan

dinamika RUU
matt.gaperAvatar border
pengikut.setanAvatar border
pengikut.setan dan matt.gaper memberi reputasi
2
324
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan