- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Seabad Pramoedya: Pencerahan di Kuburan Kecil


TS
InRealLife
Seabad Pramoedya: Pencerahan di Kuburan Kecil
https://www.kompas.id/artikel/seabad...-kuburan-kecil

Memperingati 100 tahun Pramoedya, novel-novelnya dicetak ulang, dimulai dari Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca).
Kaskuser sudah baca?

Quote:
Seabad Pramoedya: Pencerahan di Kuburan Kecil
Hilmar Farid mengutarakan pentingnya mengenang tokoh Pramoedya Ananta Toer dengan banyak pemikiran yang relevan dengan masa sekarang dan masa depan.
Oleh Ignatius Nawa Tunggal
29 Jan 2025 13:00 WIB · Tokoh
Sisi-sisi manusiawi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) selalu menarik untuk digali, seperti kebiasaan bekerja tiada henti dan hanya istirahat tatkala bakar-bakar sampah di sore hari. Kemudian ketika di bangku sekolah dasar pernah tidak naik kelas sebanyak tiga kali meski ayahnya kepala sekolah di situ.
Di tanah kelahirannya, Blora, Jawa Tengah, orang-orang menyebut Pramoedya mengalami pencerahan di salah satu kuburan kecil. Di tempat tersembunyi itulah Pramoedya muda pernah menumpahkan kekesalan hatinya. Itu karena ia dianggap bodoh, terutama oleh ayahnya sendiri.
Perbincangan-perbincangan tentang Pramoedya itu muncul tatkala penyelenggara kegiatan Seabad Pramoedya Ananta Toer menggelar konferensi pers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (21/1/2025). Beragam agenda untuk perayaan sekaligus peringatan 100 tahun Pramoedya direncanakan berlangsung satu tahun penuh sejak dicanangkan tepat pada tanggal kelahiran Pramoedya, 6 Februari 2025. Pencanangannya di Blora.
Selama tiga hari berturut-turut pada 6-8 Februari 2025 diagendakan peresmian nama Jalan Pramoedya Ananta Toer, pameran sketsa, dan patung interpretasi Pramoedya, memorial lecture, diskusi kebudayaan, pembacaan surat-surat Pramoedya untuk keluarga, monolog, pemutaran film Bumi Manusia, dan sebagainya.
Di konferensi pers itu hadir narasumber putri Pramoedya, Astuti Ananta Toer; Bupati Blora Arief Rohman; mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid; pematung Dolorosa Sinaga; Happy Salma; dan Gilang Ramadhan, sebagai anak Ramadhan KH (rekan Pramoedya).
Astuti menceritakan kenangan bersama ayahnya, yang disebut selalu bekerja tiada henti dan istirahat ketika bakar-bakar sampah pada sore hari. Hilmar Farid mengutarakan pentingnya mengenang tokoh Pramoedya Ananta Toer dengan banyak pemikiran yang relevan dengan masa sekarang dan masa depan.
Sekolah Pramoedya
Ketika panitia dari Blora diminta menyampaikan agenda perayaan Seabad Pramoedya Ananta Toer, koordinator seksi acara panitia perhelatan ini, Eko Arifianto, sekilas menyampaikan rangkaian acara yang dipersiapkan. Kemudian Eko menyinggung salah satu mata acara pembacaan surat-surat Pramoedya kepada keluarga oleh murid-murid SMP Negeri 5 Blora.
Ternyata gedung SMP Negeri 5 dulunya adalah sekolah rendah atau setingkat sekolah dasar bernama Institut Boedi Oetomo (IBO). Kebetulan, ayah Pramoedya bernama Mastoer menjadi kepala sekolah tersebut. Di situ pula Pramoedya mengenyam pendidikan dasar hingga tuntas meski pernah tiga kali tidak naik kelas.
”Di dekat sekolah itu ada kuburan yang tidak terlalu luas. Di kuburan itu ada pohon jarak dan di situlah Pramoedya memperoleh pencerahan pertama kali,” ujar Eko yang juga warga asli Blora.
Eko tidak merinci pencerahan yang dimaksud. Kepada Kompas, Eko menceritakan, di dekat pohon jarak di kuburan kecil itu Pramoedya sering menyendiri dan menangis.
Beberapa hari berikutnya, Minggu (26/1/2025), Eko menyampaikan sebuah tulisan tentang pencerahan Pramoedya yang dimaksud. Ia mengawali dengan mengutip pernyataan Pramoedya yang pernah disampaikan bahwa semuanya berawal dari persoalan keluarga.
Eko mengisahkan figur ayah Pramoedya, Mastoer, dulunya seorang bintang kelas di sekolah. Pramoedya sebagai anak sulung dari delapan bersaudara. Mastoer punya harapan terlampau besar terhadap Pramoedya, tetapi Pramoedya malah kerap mengecewakan dirinya.
Untuk menamatkan pendidikan tingkat dasar, semestinya butuh tujuh tahun. Pramoedya membutuhkan 10 tahun karena tiga kali tidak naik kelas.
Institut Boedi Oetomo didirikan dokter Soetomo, pendiri organisasi Boedi Oetomo, pada 1917. Ini sekolah bagi pribumi.
Pada 1918 Soetomo pindah tugas ke Surabaya. Pengelolaan sekolah dilanjutkan Mastoer dan maju pesat. Akan tetapi, pada 1932, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar yang mengakibatkan penutupan Institut Boedi Oetomo ini.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah meminjam gedung dan fasilitas sekolah itu untuk dijadikan Sekolah Teknik Negeri (STN) Blora. Di sekitar tahun 1980 gedung itu dihibahkan dan menjadi SMP Negeri 5 Blora hingga sekarang.
”Saat bersekolah di Boedi Oetomo, nilai bahasa Belanda Pramoedya di bawah sekolah Gubermen sehingga membuatnya minder kalau bergaul dengan anak-anak sekolah Gubermen,” ujar Eko.
Ayahnya, Mastoer, juga merasa malu. Pramoedya pada akhirnya tumbuh dengan perasaan rendah diri dan takut mengutarakan pendapat.
”Pram mengidap inferiority complex. Dari keadaan seperti itu, Pramoedya mulailah menulis,” kata Eko.
Suatu kali ketika Pramoedya lulus pendidikan tingkat dasar ingin melanjutkan ke MULO. Ia datang kepada ayahnya dan dijawab dengan keras, ”Anak bodoh, kembali ke SD!”
Saat tahun ajaran baru Pramoedya kembali ke SD dan ditanya salah satu gurunya dalam bahasa Belanda. "Mengapa kembali ke sini? Kan, kamu sudah lulus."
Seketika Pramoedya mengambil buku-bukunya dan lari menuju kuburan di dekat sekolah itu yang dikenal angker di Kelurahan Tambahrejo, Blora. Pikiran dan hatinya kalut. Pramoedya memegang sebatang pohon jarak dan menjerit sekencang-kencangnya.
Peristiwa inilah yang dimaksud Eko sebagai pencerahan yang diraih Pramoedya pertama kali. Sebuah titik balik, di mana Pramoedya yg semula "bodoh", berubah tidak bodoh dan penuh tanggung jawab dan kelak membawa semua adiknya pindah ke Jakarta.
Pram kelak tumbuh di Jakarta, membiayai adik-adiknya dan sekolahnya sendiri hingga jadi sastrawan berkualitas dan produktif.
Penuh tanggung jawab
Astuti membenarkan kisah ayahnya, Pramoedya, sewaktu tumbuh remaja memang dalam kondisi lemah. Selepas studi di IBO, Oemi Saidah, ibu Pramoedya, menyekolahkan Pramoedya ke Radio Vackschool, sekolah telegraf di Surabaya, periode 1940 – 1941.
“Pada 1942 ibunya meninggal di usia sekitar 34 tahun. Akhirnya, Pram beserta adik-adiknya pindah ke Jakarta,” ujar Astuti.
Menurut Astuti, Pramoedya sebagai anak sulung memiliki rasa tanggung yang kuat. Di Jakarta Pramoedya melanjutkan sekolah dan bekerja untuk menafkahi adik-adiknya. Pramoedya tidak lagi menjadi manusia yang lemah. Hingga akhirnya ia tumbuh menjadi sastrawan dengan karya-karya sastra yang terkenal di dunia. Sebagian dari sekitar 50 karya sastranya bahkan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa di dunia.
“Pramoedya adalah sosok penting yang patut dikenang. Peringatan seabad Pramoedya ini langkah penting dan strategis,” pungkas Hilmar Farid.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2025 di halaman 13 dengan judul "Seabad Pramoedya: Pencerahan di Kuburan Kecil".
Penulis:Ignatius Nawa Tunggal | Editor:Moh. Hilmi Faiq | Penyelaras Bahasa:Kusnadi .
Hilmar Farid mengutarakan pentingnya mengenang tokoh Pramoedya Ananta Toer dengan banyak pemikiran yang relevan dengan masa sekarang dan masa depan.
Oleh Ignatius Nawa Tunggal
29 Jan 2025 13:00 WIB · Tokoh
Sisi-sisi manusiawi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) selalu menarik untuk digali, seperti kebiasaan bekerja tiada henti dan hanya istirahat tatkala bakar-bakar sampah di sore hari. Kemudian ketika di bangku sekolah dasar pernah tidak naik kelas sebanyak tiga kali meski ayahnya kepala sekolah di situ.
Di tanah kelahirannya, Blora, Jawa Tengah, orang-orang menyebut Pramoedya mengalami pencerahan di salah satu kuburan kecil. Di tempat tersembunyi itulah Pramoedya muda pernah menumpahkan kekesalan hatinya. Itu karena ia dianggap bodoh, terutama oleh ayahnya sendiri.
Perbincangan-perbincangan tentang Pramoedya itu muncul tatkala penyelenggara kegiatan Seabad Pramoedya Ananta Toer menggelar konferensi pers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (21/1/2025). Beragam agenda untuk perayaan sekaligus peringatan 100 tahun Pramoedya direncanakan berlangsung satu tahun penuh sejak dicanangkan tepat pada tanggal kelahiran Pramoedya, 6 Februari 2025. Pencanangannya di Blora.
Selama tiga hari berturut-turut pada 6-8 Februari 2025 diagendakan peresmian nama Jalan Pramoedya Ananta Toer, pameran sketsa, dan patung interpretasi Pramoedya, memorial lecture, diskusi kebudayaan, pembacaan surat-surat Pramoedya untuk keluarga, monolog, pemutaran film Bumi Manusia, dan sebagainya.
Di konferensi pers itu hadir narasumber putri Pramoedya, Astuti Ananta Toer; Bupati Blora Arief Rohman; mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid; pematung Dolorosa Sinaga; Happy Salma; dan Gilang Ramadhan, sebagai anak Ramadhan KH (rekan Pramoedya).
Astuti menceritakan kenangan bersama ayahnya, yang disebut selalu bekerja tiada henti dan istirahat ketika bakar-bakar sampah pada sore hari. Hilmar Farid mengutarakan pentingnya mengenang tokoh Pramoedya Ananta Toer dengan banyak pemikiran yang relevan dengan masa sekarang dan masa depan.
Sekolah Pramoedya
Ketika panitia dari Blora diminta menyampaikan agenda perayaan Seabad Pramoedya Ananta Toer, koordinator seksi acara panitia perhelatan ini, Eko Arifianto, sekilas menyampaikan rangkaian acara yang dipersiapkan. Kemudian Eko menyinggung salah satu mata acara pembacaan surat-surat Pramoedya kepada keluarga oleh murid-murid SMP Negeri 5 Blora.
Ternyata gedung SMP Negeri 5 dulunya adalah sekolah rendah atau setingkat sekolah dasar bernama Institut Boedi Oetomo (IBO). Kebetulan, ayah Pramoedya bernama Mastoer menjadi kepala sekolah tersebut. Di situ pula Pramoedya mengenyam pendidikan dasar hingga tuntas meski pernah tiga kali tidak naik kelas.
”Di dekat sekolah itu ada kuburan yang tidak terlalu luas. Di kuburan itu ada pohon jarak dan di situlah Pramoedya memperoleh pencerahan pertama kali,” ujar Eko yang juga warga asli Blora.
Eko tidak merinci pencerahan yang dimaksud. Kepada Kompas, Eko menceritakan, di dekat pohon jarak di kuburan kecil itu Pramoedya sering menyendiri dan menangis.
Beberapa hari berikutnya, Minggu (26/1/2025), Eko menyampaikan sebuah tulisan tentang pencerahan Pramoedya yang dimaksud. Ia mengawali dengan mengutip pernyataan Pramoedya yang pernah disampaikan bahwa semuanya berawal dari persoalan keluarga.
Eko mengisahkan figur ayah Pramoedya, Mastoer, dulunya seorang bintang kelas di sekolah. Pramoedya sebagai anak sulung dari delapan bersaudara. Mastoer punya harapan terlampau besar terhadap Pramoedya, tetapi Pramoedya malah kerap mengecewakan dirinya.
Untuk menamatkan pendidikan tingkat dasar, semestinya butuh tujuh tahun. Pramoedya membutuhkan 10 tahun karena tiga kali tidak naik kelas.
Institut Boedi Oetomo didirikan dokter Soetomo, pendiri organisasi Boedi Oetomo, pada 1917. Ini sekolah bagi pribumi.
Pada 1918 Soetomo pindah tugas ke Surabaya. Pengelolaan sekolah dilanjutkan Mastoer dan maju pesat. Akan tetapi, pada 1932, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar yang mengakibatkan penutupan Institut Boedi Oetomo ini.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah meminjam gedung dan fasilitas sekolah itu untuk dijadikan Sekolah Teknik Negeri (STN) Blora. Di sekitar tahun 1980 gedung itu dihibahkan dan menjadi SMP Negeri 5 Blora hingga sekarang.
”Saat bersekolah di Boedi Oetomo, nilai bahasa Belanda Pramoedya di bawah sekolah Gubermen sehingga membuatnya minder kalau bergaul dengan anak-anak sekolah Gubermen,” ujar Eko.
Ayahnya, Mastoer, juga merasa malu. Pramoedya pada akhirnya tumbuh dengan perasaan rendah diri dan takut mengutarakan pendapat.
”Pram mengidap inferiority complex. Dari keadaan seperti itu, Pramoedya mulailah menulis,” kata Eko.
Suatu kali ketika Pramoedya lulus pendidikan tingkat dasar ingin melanjutkan ke MULO. Ia datang kepada ayahnya dan dijawab dengan keras, ”Anak bodoh, kembali ke SD!”
Saat tahun ajaran baru Pramoedya kembali ke SD dan ditanya salah satu gurunya dalam bahasa Belanda. "Mengapa kembali ke sini? Kan, kamu sudah lulus."
Seketika Pramoedya mengambil buku-bukunya dan lari menuju kuburan di dekat sekolah itu yang dikenal angker di Kelurahan Tambahrejo, Blora. Pikiran dan hatinya kalut. Pramoedya memegang sebatang pohon jarak dan menjerit sekencang-kencangnya.
Peristiwa inilah yang dimaksud Eko sebagai pencerahan yang diraih Pramoedya pertama kali. Sebuah titik balik, di mana Pramoedya yg semula "bodoh", berubah tidak bodoh dan penuh tanggung jawab dan kelak membawa semua adiknya pindah ke Jakarta.
Pram kelak tumbuh di Jakarta, membiayai adik-adiknya dan sekolahnya sendiri hingga jadi sastrawan berkualitas dan produktif.
Penuh tanggung jawab
Astuti membenarkan kisah ayahnya, Pramoedya, sewaktu tumbuh remaja memang dalam kondisi lemah. Selepas studi di IBO, Oemi Saidah, ibu Pramoedya, menyekolahkan Pramoedya ke Radio Vackschool, sekolah telegraf di Surabaya, periode 1940 – 1941.
“Pada 1942 ibunya meninggal di usia sekitar 34 tahun. Akhirnya, Pram beserta adik-adiknya pindah ke Jakarta,” ujar Astuti.
Menurut Astuti, Pramoedya sebagai anak sulung memiliki rasa tanggung yang kuat. Di Jakarta Pramoedya melanjutkan sekolah dan bekerja untuk menafkahi adik-adiknya. Pramoedya tidak lagi menjadi manusia yang lemah. Hingga akhirnya ia tumbuh menjadi sastrawan dengan karya-karya sastra yang terkenal di dunia. Sebagian dari sekitar 50 karya sastranya bahkan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa di dunia.
“Pramoedya adalah sosok penting yang patut dikenang. Peringatan seabad Pramoedya ini langkah penting dan strategis,” pungkas Hilmar Farid.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2025 di halaman 13 dengan judul "Seabad Pramoedya: Pencerahan di Kuburan Kecil".
Penulis:Ignatius Nawa Tunggal | Editor:Moh. Hilmi Faiq | Penyelaras Bahasa:Kusnadi .
Memperingati 100 tahun Pramoedya, novel-novelnya dicetak ulang, dimulai dari Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca).
Kaskuser sudah baca?
Diubah oleh InRealLife 02-02-2025 14:45






scorpiolama dan 2 lainnya memberi reputasi
3
239
Kutip
25
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan