Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Kewenangan pusat di Papua pasca-DOB dinilai darurat HAM

Kewenangan pusat di Papua pasca-DOB dinilai darurat HAM
Timoteus Marten

Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua Emanuel Gobay di Jayapura, Rabu (8/4/2024). -Jubi/CR-11
SHARE
Jayapura, Jubi – Pada prinsipnya kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan. Kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan. Serta kewenangan tertentu di bidang lain, yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur pada Pasal 4, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Hal tersebut dikatakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, seperti dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Rabu (11/12/2024).

“Pada prakteknya pemerintah pusat lebih fokus menjalankan kewenangan bidang politik luar negeri dan pertahanan keamanan, serta kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua yang ditolak oleh mayoritas masyarakat Papua, tanpa menjalankan kewajiban perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), Undang-Undang Dasar 1945 di Tanah Papua,” katanya.

Dia mengatakan, setelah DOB Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Barat Daya, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Tengah berjalan, rupanya hanya menjadikan jalan baru kasus HAM dan hak masyarakat adat Papua di segala sektor.

Baik di sektor sipil, politik, ekonomi,sosial dan budaya di seluruh Tanah Papua. Yang menunjukkan Papua menjadi darurat pelanggaran HAM dan hak masyarakat adat Papua.

Dia mencontohkan kasus pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dianggap melanggar hak masyarakat adat Papua di seluruh Tanah Papua.

Selain itu, tidak adanya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, adalah tanggung jawab negara di sektor sipil-politik, dalam kasus pembubaran demo damai di Merauke, Jayapura dan Manokwari.

Dia melanjutkan, masih tingginya stigma terhadap Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mengakibatkan seluruh aktivitasnya ditanggapi secara represif. Misalnya pada pembubaran dan kriminalisasi aksi KNPB, serta penetapan dua tersangka pada 16 Agustus 2024 di Expo-Waena, dan pembubaran dan penetapan tersangka atas tiga aktivis KNPB pascaaksi di Lingkaran Abepura, 15 November 2024.

“Yang menunjukkan fakta pelanggaran Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Pokok dan Standar HAM dalam tugas Kepolisian.”

Selain itu, katanya, dropping pasukan keamanan di Papua tanpa mengikuti ketentuan Pasal 17 – Pasal 20, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, memicu konflik bersenjata TNI/Polri dengan TPNPB/OPM, hingga menimbulkan pelanggaran HAM. Dia mencontohkan kasus pengungsian

di Intan Jaya pada Januari 2024, hingga mengakibatkan 2.000 orang mengungsi ke gereja. Di Paniai ada 500 orang mengungsi ke gereja pada Januari 2024, Pegunungan Bintang pada Desember 2024 terdapat 84 orang mengungsi, yang terdiri atas balita 54 jiwa, ibu hamil 5 jiwa, lansia 23 jiwa dan pasien berat 2 orang.

Pengungsi itu, katanya, tidak ditangani oleh PMI sesuai prinsip dalam Konvensi Jenewa yang telah disahkan dalam Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 Tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949, yang menjadi dasar pembentukan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.

“Dan juga meningkatnya kasus penembakan, pembunuhan dan penyiksaan terhadap warga sipil di Kabupaten Puncak Papua pada Maret 2024, penangkapan dan penyiksaan terhadap anak di Yahukimo pada Februari 2024, penembakan terhadap Tobias Silak dan Naro Dapla oleh Oknum Anggota Satgas Damai Cartens Sekla pada 20 Agustus 2024 di Yahukimo,” katanya.

Dengan demikian, untuk mengakhiri persoalan politik Jakarta-Papua, katanya, perlu dipikirkan alternatif lain seperti penyelesaian konflik Aceh dan Timor Timur.

Kewenangan pusat di Papua pasca-DOB dinilai darurat HAM
Payung dan tenda milik pedagang OAP yang berjualan sayur-mayur dan ubi-ubian tepat di pinggir jalan. – Jubi/Engel Wally
Di sektor ekonomi, katanya, pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten/kota lebih memberikan ruang lebar kepada perusahaan, baik BUMN, maupun swasta yang ditunjukkan dengan pemberian izin kepada berbagai perusahaan. Bahkan negara melalui kementerian terkait sibuk melelang eksploitasi sumber daya alam Papua kepada berbagai perusahaan, tetapi mengabaikan perjuangan buruh. Seperti dalam kasus mogok 8.300 buruh PT Freeport Indonesia pada 1 Mei 2017 sampai Desember 2024 yang belum diselesaikan.

“Di atas itu, mayoritas buruh perusahaan sawit di Tanah Papua yang status ketenagakerjaannya sebagai Buruh Harian Lepas (BHL), sehingga mereka hanya mendapatkan upah yang dihitung per hari kerja. Dalam sebulan upahnya sangat di bawah dari upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah,” katanya.

Dengan kondisi status BLH juga membuat hak-hak buruh yang dijamin dalam BPJS tidak terkaver, yang menyulitkan buruh untuk mendapatkan hak-haknya.

“Kondisi itu semakin terpelihara akibat Dinas Ketenagakerjaan Provinsi maupun Kabupaten/Kota mengabaikan tugasnya untuk mendesak perusahaan membentuk Serikat Pekerja di lingkungan Perusahaan, Perusahaan mendaftarkan seluruh Buruh sebagai anggota BPJS dan membayarkan upah sesuai upah Minimum sesuai kebijakan provinsi dan kabupaten/kota di dalamnya,” katanya.

Sikap Dinas Ketenagakerjaan Provinsi dan Kabupaten/Kota, katanya, membuat perusahaan seenaknya mem-PHK secara sewenang-wenang terhadap buruhnya. Hal itu dialami beberapa buruh PT Rimba Matoa Lestari dan Buruh PT Pos Indonesia Cabang Jayapura.

Bahkan mengkriminalisasi buruh selanjutnya menetapkan PHK dengan dalil mangkir sebagaimana dialami buruh PT Tandan Sawita Papua dan Buruh PT Rimba Matoa Lestari.

Selain itu, katanya, adapula kasus perburuhan yang telah diputuskan agar perusahaan mengembalikan buruh untuk bekerja kembali, dalam mediasi dan telah terterah dalam risalah mediasi yang dibuat oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi atau Kabupaten.

Namun, perusahaan tetap mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial dan dalam keputusannya Hakim Pengadilan hubungan Industrial mengabaikan putusan mediasi terkait perintahkan buruh dipekerjakan kembali dan menerima gugatan perusahaan sehingga buruh di-PHK menggunakan putusan hakim pengadilan hubungan industrial, sebagaimana dialami oleh beberapa buruh PTFI tahun 2024, yang menunjukkan kesan bahwa hakim Pengadilan Hubungan Industrial menjadi tangan Panjang Perusahaan karena mengabaikan ketentuan Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur pada Pasal 151 ayat (1), Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Melalui situasi diskriminasi dalam perlakukan terhadap Perusahaan yang dispesialkan sementara Buruh yang diabaikan oleh pemerintah Pusat maupun Provinsi dan Kabupaten/kota di seluruh Tanah Papua yang didukung dengan adanya Undang Undang Cipta Kerja secara langsung dapat memberikan Gambaran bahwa Buruh di Papua akan dikuras tenaganya demi peningkatan modal pemilik saham dalam perusahaan dan Negara melalui Pajak dengan status bukan sebagai Pekerja Tetap atau Buruh Tetap dan dapat diperlakukan seenaknya oleh Perusahaan yang akan didukung oleh Hakim Pengadilan Hubungan Industrial maupun pihak Kepolisian dalam Kasus kriminalisasi Buruh yang dilakukan oleh Manajemen Perusahaan.

Kewenangan pusat di Papua pasca-DOB dinilai darurat HAM

Sektor Sosial melalui kebijakan Politik Pertahanan Keamanan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang diartikan dengan Pendropan Pasukan tanpa mengikuti ketentuan Pasal 17 – Pasal 20, Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang telah memicu terjadinya Konflik Bersenjata Antara TNI-Polri dengan TPN PB telah melahirkan Pengungsian Internal yang mayoritas diisi oleh Anak-Anak akhirnya terpaksa Putus sekolah karena tidak terfasilitasi sebagaimana yang dialami oleh anak-anak Pengungsi dari Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak Papua, Kabupaten Maybrat dan lain sebagainya. Diatas kondisi itu, sampai saat ini ada ribuan bahkan ratusan ribu Guru honorer di seluruh Tanah Papua sedang berjuang agar Pemerintah mengangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil namun belum dijawab oleh pemerintah sebagaimana yang dialami oleh beberapa Perjuangan Guru Honorer di beberapa Kabupaten dan Kota di seluruh Provinsi di Tanah Papua yang belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sampai hari ini semakin menunjukan kondisi pemenuhan hak atas pendidikan yang sangat memprihatinkan.

Sementara itu, dalam rangka pengembangan kepentingan Ekonomi Politik dalam pengolahan Sumber Daya Alam Papua menggunakan pendekatan skema Proyek Strategis Nasional di Pangan dan Energi di Kabupaten Merauke yang dilakukan tanpa memiliki AMDAL dan Izin Lingkungan yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (1), Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengolahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup menjadi bukti sedang dan akan terjadi pelanggaran hak atas lingkungan yang sehat bagi Masyarakat Sekitarnya. Melalui fakta Proyek Strategis Nasional Pangan dan Energi di Merauke akan mengalihkan Hutan Adat Papua dan lahan gambut papua di Merauke menjadi lahan Sawah dan kebun Tebu maka jelas-jelas menunjukan bukti bahwa Proyek Strategis Nasional akan melahirkan Banjir yang akan membahayakan Masyarakat sekitar dan tentunya akan semakin meningkatkan Pemanasan Bumi.

Kewenangan pusat di Papua pasca-DOB dinilai darurat HAM
Masyarakat adat melakukan aksi di depan Kantor Kementerian Pertahanan, di Jakarta, Rabu (16/10/2024). Dalam aksi itu, mereka mendesak Presiden RI dan Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, segera menghentikan PSN Merauke. – IST
Pada prinsipnya pengembangan kepentingan Ekonomi Politik dalam pengolahan Sumber Daya Alam Papua dengan skema Proyek Strategis Nasional di seluruh Tanah Papua (Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Sorong, Kabupaten Keerom, Kabupaten Bintuni dan Kabupaten Fakfak) dilakukan dengan cara mengabaikan ketentuan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat (Baca : Pasal 18b ayat (2), Undang Undang Dasar 1945) dan ketentuan “Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan” (Baca : Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021) sehingga berdampak pada terjadinya pelanggaran Hak Masyarakat Adat seperti a. hak atas hutan adat; b. hak atas pembangunan; c. hak atas spiritual dan kebudayaan; d. hak atas lingkungan hidup; e. hak untuk menyelenggarakan pemerintahan adat; f. hak atas kekayaan intelektual; dan g. hak atas wilayah kelola Kawasan perairan. Selain itu, Hak Atas Tanah Adat dan Hak Atas Sumber Daya Alam sebagaimana diatur pada Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16, Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Papua sebagaimana dialami oleh Masyarakat Adat Marind khususnya Marga Gebze, Marga Moiwend, Marga Balagaize, Marga Kwipalo yang beberapa waktu lalu melakukan aksi protes mengenakan busana tradisional baik di tempat tinggalnya hingga ke Jakarta.

Kewenangan pusat di Papua pasca-DOB dinilai darurat HAM
Peta kawasan PSN Merauke yang dipaparkan dalam seminar bertajuk “PSN Merauke: Dampaknya pada Masyarakat Adat dan Alam Papua” di Jakarta. – Tangkapan layar youtube Jakartanicus
Melalui fakta seluruh Masyarakat Adat Papua khususnya Masyarakat Adat Marind khususnya Marga Gebze, Marga Moiwend, Marga Balagaize, Marga Kwipalo selama ini memenuhi kebutuhan Pokok (makan, tempat tinggal dan pakaian) menggunakan pengetahuan tradisional dari Wilayah Adat Miliknya sehingga dengan melihat fakta kepentingan Ekonomi Politik dalam pengolahan Sumber Daya Alam Papua dengan skema Proyek Strategis Nasional di Kabupaten Merauke yang telah mengalihkan fungsikan Hutan Adat Papua dan lahan gambut di Merauke menjadi lahan Sawah dan kebun Tebu akan mengarahkan terjadinya Tindakan “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; dan/atau menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya” sebagaimana diatur pada Pasal 8 huruf b dan huruf c, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Tindakan Genosida.

Sesuai dengan tugas pendirian lima Batalyon yaitu 1. Yonif 801/Kesatria Yuddha Kentswuri bermarkas di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, 2. Yonif 802/Wimane Mande bermarkas di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, 3. Yonif 803/Nduka Adiyatma Yuddha bermarkas di Kabupaten Boven digoel, Provinsi Papua Selatan, 4. Yonif 804/Dharma Bakti Asasta Yuddha bermarkas di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan dan 5. Yonif 805/Kesatria Satia Waninginap bermarkas di Kabupaten, Sorong, Provinsi Papua Barat Daya sebagai penyangga daerah rawan di lima daerah Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional di seluruh Tanah Papua maka secara langsung menunjukkan bukti TNI akan melakukan tugas di luar dari perintah Pasal 7 ayat (1), ayat (2), Undang Undang Nomor 35 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia dan jelas-jelas menunjukan fakta TNI melakukan tindakan yang dilarang yaitu Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan Bisnis sebagaimana diatur pada Pasal 39 angka 3, Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dengan melihat fakta Proyek Strategis Nasional telah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan dan bahkan berdampak pada terjadinya dugaan Tindakan genosida sehingga dikhawatirkan semua pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia itu akan dilakukan secara sistematik dan struktur oleh Tentara Nasional Indonesia yang ditugaskan untuk mendukung Proyek Strategis Nasional di Tanah Papua.

Sesuai dengan fakta Gugatan Frengky Woro (Masyarakat Adat Awyu) melawan Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan Surat Rekomendasi Kepada PT. Indo Asiana Lestari yang ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia serta melihat pengalaman Kasus pelanggaran HAM Berat Paniai yang diputuskan bebas oleh Hakim Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar sudah dapat menunjukan bukti bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak memiliki niat untuk MEMBERIKAN HAK ATAS KEADILAN KEPADA MASYARAKAT ADAT PAPUA KORBAN PELANGGARAN HAK MASYARAKAT ADAT sebagaimana perintah ketentuan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), Undang Undang Dasar 1945 di Tanah Papua.

Berdasarkan uraian sudah dapat disimpulkan bahwa setelah 2 (dua) tahun Proyek Daerah Otonomi Baru (DOB) Ala Jakarta di Papua telah menjadi jalan raya terjadinya Pelanggaran HAM dan Hak Masyarakat Adat di Tanah Papua demi mewujudkan kepentingan Ekonomi Politik atas Pengolahan Sumber daya alam Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bekerJa sama dengan Perusahaan atas backup-an Tentara Nasional Indonesia sesuai Kebijakan Perkimpoian Antara Kepentingan Pertahanan Keamanan Wilayah Papua dengan Kepentingan Ekonomi Politik Pengolahan Sumber Daya Alam Papua yang telah disatukan dalam Proyek Strategis Nasional yang didukung oleh lima Batalyon di Papua yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat sesuai Pasal 4, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021. Atas dasar itu secara langsung telah menunjukan bukti bahwa PRAKTEK KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DI PAPUA PASCA PENERAPAN PROYEK DAERAH OTONOMI BARU PAPUA MENCIPTAKAN KONDISI DARURAT HAM DAN HAK MASYARAKAT ADAT PAPUA.

Kewenangan pusat di Papua pasca-DOB dinilai darurat HAM
Marga Amotey dari suku Mandobo di Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, menolak kehadiran Perusahaan Sawit Papua Berkat Pangan (PSPBP) di tanah ulayat leluhur mereka. Penolakan tersebut ditegaskan dalam rapat yang digelar di kampung Patriot, Distrik Arimop, Kabupaten Boven Digoel, 11–13 Oktober. – IST
Dengan demikian maka bersama dengan perayaan Hari Hak Asasi Manusia sehingga kami Lembaga Bantuan Hukum Papua menggunakan kewenangan Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia (Pasal 100, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM) menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Presiden Republik Indonesia, Gubernur Dan Bupati/Walikota Se-Tanah Papua Segera Wujudkan Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Adalah Tanggung Jawab Negara, Terutama Pemerintah Sesuai Pasal 28i ayat (4), Undang Undang Dasar 1945 di Tanah Papua;

2. Mahkama Agung Republik Indonesia wajib melindungi Hak Masyarakat Adat Papua dari ancaman Proyek Strategis Nasional dengan Pendekatan Militer di Papua;

3. Ketua DPR RI dan DPD RI segera mengkaji ulang Kebijakan Pertanahan Keamanan dan Kebijakan Ekonomi Politik Pengolahan Sumber daya Alam Papua dalam Proyek Strategis Nasional yang telah melanggar HAM dan Hak Masyarakat Adat Papua;

4. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia segera cabut Proyek Strategis Nasional di Merauke yang dijalankan tanpa AMDAL yang telah melanggar HAM dan Hak Masyarakat Adat Papua dan akan meningkatkan Krisis Iklim Dunia;

5. Mentri HAM Republik Indonesia segera mengusulan Kebijakan Penyelesaiakan Persoalan Politik Antara Indonesia dan Papua sesuai Pengalaman Aceh atau Pengalaman Timor Timur untuk mengakhiri Konflik Bersenjata yang melahirkan Pengungsi di Papua.

6. Panglima TNI segera bubarkan 5 (lima) Batalyon Penyangga Daerah Rawan Di Lima Daerah Papua Untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Pemerintah dalam Proyek Strategis Nasional di seluruh Tanah Papua sebagai bentuk pemenuhan ketentuan Prajurit Tidak Terlibat Kegiatan Bisnis;

7. Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia segera selesaikan Persoalan 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia yang melakukan Mogok Kerja dari tanggal 1 Mei 2017 sampai Desember 2024;

8. Kapolri segera perintahkan Kapolda Papua beserta Penyidiknya segera tangkap dan proses hukum oleh Oknum Anggota Satgas Damai Cartens Sekla pelaku penembak Tobias Silak dan Naro Dapla di Kabupaten Yahukimo;

9. Kapolda di seluruh Tanah Papua wajib melindungi Kebebasan Berekspresi Di Tanah Papua sesuai Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009. (*)
https://jubi.id/rilis-pers/2024/kewe...i-darurat-ham/
Masalah HAM dan adat di Papua
0
260
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan