Kaskus

Story

ddandrnAvatar border
TS
ddandrn
Puisi Tentang Bullying: Suara dari Hati yang Terluka

Puisi Tentang Bullying: Suara dari Hati yang Terluka

puisi tentang bullying 8 bait



Aku pernah duduk termenung, menatap layar kosong, mencoba menulis puisi yang mengungkapkan rasa sakit karena bullying. Tapi, setiap kali mulai, kenangan itu menyeruak lagi. Ada banyak emosi bercampur—sedih, marah, bingung. Saat itu, aku sadar, puisi bukan sekadar kata-kata indah; ia adalah jembatan untuk mengungkapkan apa yang tak mampu disampaikan secara langsung.

Ketika pertama kali aku menulis puisi tentang bullying, rasanya seperti membuka luka lama. Salah satu baitnya berbunyi, "Ejekan mereka seperti hujan, datang tanpa henti, membasahi jiwa yang ingin sembunyi."Kata-kata itu lahir dari pengalaman nyata. Waktu sekolah dulu, ada masa-masa di mana aku merasa tak cukup baik. Bukan karena aku percaya, tapi karena terus-menerus mendengar ejekan itu—berat badan, cara bicara, sampai hal-hal kecil yang aku pikir tak penting.

Tapi di situlah letak keindahan puisi. Ia bisa menjadi tempat pelarian sekaligus senjata untuk melawan rasa sakit. Ketika mulai menulis, aku belajar memahami bahwa bullying adalah masalah besar yang sering kali diremehkan. Aku menemukan bahwa banyak orang di luar sana merasa seperti aku, hanya ingin didengar, ingin dianggap cukup.

Jika kamu ingin menulis puisi tentang bullying, mulailah dengan kejujuran. Tulis apa yang kamu rasakan tanpa terlalu memikirkan rima atau gaya. Misalnya, satu bait sederhana seperti:

"Luka di luar mungkin sembuh,
Tapi kata-kata tajam itu terus membekas.
Aku ingin melawan, ingin bebas,
Tapi suaraku hilang, terbungkam."


Salah satu pelajaran terbesar dari menulis puisi tentang bullying adalah, kamu tak hanya berbicara untuk dirimu sendiri. Kamu juga memberi suara kepada mereka yang belum berani bicara. Setiap bait bisa menjadi pelipur lara, setiap baris bisa menjadi pengingat bahwa mereka tidak sendirian.

Jujur saja, aku pernah merasa frustrasi ketika orang-orang menganggap puisi semacam ini terlalu kelam atau emosional. Tapi bukankah itu tujuan seni? Menggugah emosi, memancing refleksi? Ketika aku membaca ulang puisi yang kutulis, ada semacam kelegaan. Seolah-olah, aku telah berbagi sebagian beban dengan dunia.

Jadi, jika kamu merasa tak tahu harus mulai dari mana, mulailah dengan satu kata. Sakit. Dari situ, biarkan kata-kata lain mengalir. Dan ingatlah, puisi tentang bullying bukan hanya tentang melukiskan luka, tapi juga menyampaikan harapan.
Misalnya, bait terakhir bisa berbunyi:

"Mungkin aku kecil, mungkin aku lemah,
Tapi suaraku tak akan pernah padam.
Hari ini aku bangkit, aku berjuang,
Karena dunia ini tak boleh dikuasai kegelapan."


Dan begitulah, delapan bait lahir dari pengalaman dan harapan. Semoga puisi yang kamu tulis nanti menjadi lentera, baik bagi dirimu sendiri maupun bagi orang lain yang membacanya.

Kunjungi Blog Prosa dan Puisi: ddandrn
0
29
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan