- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
KNPB serukan aksi tolak transmigrasi pada 15 November


TS
mabdulkarim
KNPB serukan aksi tolak transmigrasi pada 15 November

Pasukan militan KNPB. - Jubi/Larius Kogoya.
SHARE
Jayapura, Jubi – Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat atau BPP KNPB menyerukan kepada seluruh rakyat Papua, dari Sorong sampai Samarai untuk menggelar aksi demo damai menolak program transmigrasi yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Sebab, menurut KNPB, program transmigrasi pada hakikat bukan penyetaraan pembangunan dan kesejahteraan untuk orang Papua. Akan tetapi, transmigrasi menambah penderitaan dan persoalan baru, serta marginalisasi orang asli Papua atau OAP.
“Aksi demo damai penolakan program transmigrasi di seluruh tanah air Papua Barat akan dilakukan pada Jumat, 15 November 2024. Ingat, Papua tolak transmigrasi. Papua bukan tanah kosong,” kata Ketua I BPP KNPB Warius Sampari Wetipo alias Warpo, di Kota Jayapura, Papua, Jumat (1/11/2024).
Wetipo mengatakan, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa Tanah Papua akan dijadikan tujuan utama transmigrasi. Kemudian menjanjikan kepada transmigran per kepala keluarga akan diberikan lahan dua hetare, serta diberi pelatihan bertani.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia ini juga sedang merampas dua juta hektare tanah masyarakat adat di Animha, Merauke, untuk diolah menghidupi rakyat transmigran.
“Rakyat harus sadar, kenapa kita saat ini menjadi minoritas di atas tanah adat kita sendiri? Itu karena transmigrasi yang sudah dimulai di zaman kolonial Presiden Suharto. Dan program tersebut mengecil usai Suharto dilengserkan, tetapi Prabowo ingin menghidupkan kembali dalam skala besar. Untuk itu, KNPB sebagai media rakyat bangsa Papua Barat, mengimbau dan mengajak seluruh elemen masyarakat di tanah air Papua Barat untuk sadar, bangkit, bersatu, melawan program kolonial ini,” katanya.
Menurutnya, program transmigrasi adalah bentuk ketidakmampuan negara, dalam meredam aspirasi Papua merdeka. Maka, negara menjajah orang asli Papua, dan perlahan-lahan dimusnahkan. Wetipo menyebutnya dengan istilah genosida, ekosida, etnosida.
“Kita sedang musnah, kawan! Semakin banyak transmigrasi [transmigran] datang, semakin banyak juga aparat kolonial akan datang ke Tanah Papua Barat. Kita akan tunduk ditindas, sementara masyarakat transmigrasi (pendatang) dilindungi hak hidupnya oleh para TNI dan Polri. Ini berarti semakin banyak dan semakin cepat lagi kita akan habis,” ujarnya.
Badan Pengurus Partai Bintang Timur atau PBT Papua Yulvin Mote mengatakan program transmigrasi itu program penjajahan kepada orang asli Papua. Kemudian akan terjadi perampasan tanah adat, hingga OAP menjadi minoritas di tanah sendiri.
“Kami menolak program transmigrasi ini, karena tidak menguntung[kan] bagi orang Papua. Orang Papua butuh hari ini adalah butuh tenaga pendidikan dan kesehatan, untuk mendidik dan mengobati orang Papua,” katanya. (*)
https://jubi.id/mamta/2024/knpb-seru...a-15-november/
Transmigrasi di Papua, ancaman bagi masa depan masyarakat adat dan lingkungan

Anggota DPD RI Agustinus R. Kambuaya menyuarakan keprihatinan atas program transmigrasi di Papua. (Sorong, 01/11/2024) – Jubi/Gamaliel M. Kaliele.
SHARE
Sorong, Jubi – Anggota DPD RI periode 2024-2029, Agustinus R. Kambuaya, menyoroti dampak transmigrasi terhadap politik, masa depan masyarakat adat, dan lingkungan di Tanah Papua.
Menurutnya, program transmigrasi yang diarahkan ke wilayah timur Indonesia, khususnya Papua, menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat dan komunitas adat Papua.
Agustinus menyatakan, walaupun program transmigrasi dianggap mampu mendorong pemerataan ekonomi di daerah-daerah timur, gelombang penolakan terus meningkat. “Berbagai elemen masyarakat Papua telah menyuarakan keberatan mereka, menilai program transmigrasi sebagai ancaman terhadap identitas, budaya, dan lingkungan hidup mereka,” ungkapnya.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa kebijakan transmigrasi di Papua tidak selalu berjalan sesuai harapan. Banyak transmigran yang ditelantarkan, menghadapi akses jalan yang sulit, keterbatasan irigasi, dan minimnya dukungan untuk menjual hasil pertanian. Kondisi ini justru menyebabkan ketidaknyamanan di antara warga transmigran dan penduduk asli Papua, bahkan memperburuk hubungan sosial di antara keduanya.
Senator asal Papua Barat, Paul Finsen Mayor, menyoroti masalah ini dalam rapat paripurna DPD RI, meminta perhatian pemerintah agar isu ini tidak dianggap remeh. “Isu transmigrasi bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut identitas dan hak-hak masyarakat adat,” tegasnya.
Menurutnya, tantangan utama yang dihadapi Papua saat ini adalah kebutuhan akan data yang jelas mengenai jumlah Orang Asli Papua (OAP) sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Data kependudukan yang akurat sangat penting untuk memastikan anggaran dan kebijakan Otsus sesuai sasaran, namun upaya ini masih terkendala oleh kurangnya data yang terintegrasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), serta Badan Pusat Statistik (BPS).
“Data ini penting untuk menentukan alokasi anggaran yang tepat dan menjaga hak masyarakat asli Papua di tengah meningkatnya gelombang transmigrasi,” kata Agustinus.
Di tengah isu transmigrasi, Yaye Blesmargi, pemuda adat dari Sorong Selatan, mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait dampak transmigrasi dan proyek besar di Papua yang seringkali mengorbankan hak masyarakat adat. “Lahan Papua terus dieksploitasi oleh perusahaan besar, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat yang bergantung pada tanah ini,” ungkap Yaye.
Ia juga menyampaikan tuntutannya kepada Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan rencana pendirian Batalyon Infanteri di lima daerah di Papua sebagai bagian dari Program Ketahanan Pangan.
“Kami menolak keterlibatan TNI dalam proyek bisnis yang merusak tanah Papua dan melanggar hak masyarakat adat,” tambahnya.
Yaye menegaskan bahwa Solidaritas Rakyat Papua akan terus menolak transmigrasi ke tanah Papua. Ia juga mengecam berbagai investasi yang dianggap merusak lingkungan, memicu krisis iklim, dan memperburuk pemanasan global. Menurutnya, kehadiran proyek-proyek besar di Papua, termasuk yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), telah merusak hutan dan sumber daya alam secara masif.
“Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Papua untuk menyadari ancaman transmigrasi yang berpotensi mengarah pada pemusnahan etnis secara perlahan. Transmigrasi bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga ancaman eksistensial bagi masyarakat adat di Papua,” tegas Yaye.
Isu ini telah memunculkan gelombang solidaritas dari masyarakat dan gerakan pro-demokrasi yang menuntut pencabutan UU Omnibus Law dan Otsus. Mereka menganggap bahwa Otsus hanya berfungsi sebagai “akal-akalan” pemerintah pusat untuk mempertahankan kontrol atas tanah Papua.
Transmigrasi, bagi masyarakat adat Papua, dianggap sebagai ancaman serius yang harus dihadapi dengan persatuan dan konsolidasi. Masa depan masyarakat adat Papua bergantung pada upaya mempertahankan hak-hak mereka di tengah berbagai ancaman yang datang dari luar. (*)
https://jubi.id/domberai/2024/transm...an-lingkungan/
penolakan atas transmigrasi
0
193
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan