Kaskus

Hobby

salim357Avatar border
TS
salim357
Adventure Pendekar Sinting
Adventure Pendekar Sinting

Sima Kelantara, lebih dikenal dengan Pendekar Sinting, adalah sosok pendekar yang tampak konyol dan lucu, namun memiliki kekuatan luar biasa yang sering membuat lawan meremehkannya. Dalam petualangannya, ia tak hanya menghadapi pertempuran fisik, tetapi juga dilema moral yang menuntut kecerdikan dan kebijaksanaan. Bersama adiknya Melati, sahabatnya Gembul yang ceroboh namun setia, dan Roro Kencana yang anggun dan bijaksana, Pendekar Sinting melawan tokoh-tokoh sakti yang menindas rakyat lemah.

Tokoh-tokoh sakti ini menggunakan kekuatan hitam untuk menguasai desa-desa, merampas kebebasan, dan memperbudak rakyat tak berdosa. Masing-masing musuhnya memiliki ilmu sakti yang hampir tak terkalahkan—dari kemampuan mengendalikan unsur alam, hingga menguasai sihir hitam yang mematikan. Namun, di balik sikap jenakanya, Pendekar Sinting memiliki keilmuan silat tingkat tinggi yang dipadu dengan strategi tak terduga, membuatnya mampu mengalahkan lawan dengan cara yang tak biasa.

Dalam setiap pertarungannya, Pendekar Sinting sering mengeluarkan kalimat-kalimat jenaka yang penuh humor, namun di balik kelucuannya tersimpan kekuatan yang tak terbantahkan. Kejenakaan yang ia tampilkan sering kali menipu lawan, membuat mereka lengah, hingga pada akhirnya mereka jatuh di bawah kekuatannya.

Sementara eski begitu, perjalanan Sima tidak mudah. Tokoh-tokoh sakti yang dihadapinya semakin kuat, memaksanya untuk menggunakan bukan hanya ilmu fisik, tetapi juga strategi licik dan kerjasama dengan teman-temannya. Apakah Pendekar Sinting, dengan segala keanehan dan kejenakaannya, mampu membasmi semua tokoh sakti dan membebaskan kaum tertindas? Perjalanan ini penuh ketegangan, pertempuran epik, dan momen-momen romantis yang turut mewarnai kisahnya.

Pertarungan di Pesisir Utara

Malam telah turun dengan pekatnya di pesisir pantai utara. Suara ombak menghantam karang mengiringi suasana malam yang hening. Di sebuah pondok sederhana yang menghadap laut, keluarga Dewi Arum dan Ningrum Sari sedang berkumpul, menikmati makan malam yang sederhana, namun penuh kehangatan. Sima dan Dewi Melati saling bercanda, mengingat perlombaan mereka siang tadi.

"Melati, jangan terlalu senang dulu. Kakang belum mengeluarkan seluruh kemampuanku tadi," ujar Sima sambil tertawa.

"Heh, alasan saja Kakang! Aku tahu, kau memang sengaja kalah, bukan?" balas Melati dengan senyuman penuh kemenangan.

Sementara tiba-tiba, keheningan malam itu terpecah oleh bunyi lonceng dari kejauhan, diiringi angin dingin yang tiba-tiba berhembus kencang. Dewi Arum dan Ningrum Sari seketika memasang wajah waspada. Mereka tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

"Ini bukan angin biasa ..." gumam Dewi Arum.

Sima yang tadinya bersantai, kini berdiri dan matanya menatap tajam ke arah luar pondok. "Biyung, ada seseorang yang datang... dan dia tidak bermaksud baik."

Belum sempat mereka merespon, tiba-tiba pintu pondok terbuka dengan keras, dan di ambang pintu tampak seorang pria berjubah hitam dengan wajah tertutup cadar. Mata pria itu menyala merah, memancarkan aura kebencian yang dalam.

"Pendekar Sinting! Kau dan keluargamu harus membayar atas apa yang telah dilakukan oleh leluhurmu!" teriak pria itu, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Dewi Arum dan Ningrum Sari segera berdiri, siap menghadapi ancaman yang datang. Sima dan Dewi Melati juga segera mempersiapkan diri, namun Sima merasa ada yang ganjil dengan kehadiran pria itu. Ia tidak seperti musuh biasa. Energi yang dipancarkannya begitu kuat, seakan-akan menguasai alam sekitar.

"Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Dewi Arum dengan tegas.

Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya dan dari telapak tangannya muncul angin hitam yang langsung menghantam ke arah mereka. Sima dengan cepat mendorong Melati ke samping dan menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menghindar. Namun, serangan itu tidak berhenti, justru semakin kuat dan merusak pondok tempat mereka berdiri.

"Kita tidak bisa bertarung di sini! Kita harus keluar!" teriak Sima sambil berlari keluar dari pondok, diikuti oleh Dewi Arum, Ningrum Sari, dan Dewi Melati.

Di luar, pertarungan pun tak terhindarkan. Sima dan Melati segera berhadapan dengan pria berjubah hitam itu. Melati dengan cekatan melompat dan melemparkan serangan telapak anginnya, namun pria itu hanya tertawa dan menghilang seperti bayangan. Dalam sekejap, ia muncul di belakang Melati dan mengayunkan tangannya.

"Tidak semudah itu!" seru Sima, yang dengan cepat menahan serangan itu dengan jurus andalannya, Tangan Angin Bayu. Kedua kekuatan itu bertemu, dan ledakan besar terjadi, memecah kegelapan malam.

Namun, pria itu hanya tersenyum dingin. "Kalian pikir bisa mengalahkanku dengan kekuatan seperti itu? Aku datang untuk menuntut balas! Dan kalian tidak akan lepas dari tanganku!"

Sima dan Melati mulai merasakan tekanan yang luar biasa dari lawan mereka. Ini bukan pertarungan biasa. Pria berjubah hitam itu menggunakan kekuatan yang sangat aneh, kekuatan yang berasal dari dunia gelap. Dewi Arum dan Ningrum Sari juga merasakan ada yang tidak beres. Mereka tahu, kekuatan pria itu bukan hanya sekedar ilmu silat biasa, tetapi ada kekuatan supranatural di dalamnya.

Di tengah pertarungan yang semakin sengit, tiba-tiba terdengar suara lembut, namun penuh wibawa dari kejauhan.

"Berhenti, wahai jiwa yang terjebak dalam dendam."

Semua mata tertuju pada seorang pria tua yang datang dengan tongkat kayu di tangannya. Wajahnya tenang, namun matanya menyimpan kebijaksanaan yang mendalam.

"Siapa kau?" tanya pria berjubah hitam dengan nada marah.

"Aku adalah sahabat leluhur Sima dan Melati. Aku tahu siapa kau, dan dendammu tidak akan menyelesaikan apapun," ujar pria tua itu dengan tenang.

Pria berjubah hitam tampak ragu sejenak, namun kebencian di matanya tidak memudar.

"Tidak ada yang bisa menghentikan balas dendamku! Mereka harus membayar!"

Sima dan Melati yang sudah kelelahan kini berdiri di belakang pria tua itu. Mereka tidak tahu siapa dia, namun entah mengapa, mereka merasakan kehadirannya membawa kedamaian. Pertarungan sepertinya akan berlanjut, namun sebelum serangan selanjutnya dilancarkan, pria tua itu mengayunkan tongkatnya ke udara. Dalam sekejap, angin berhenti, dan suasana menjadi hening.

"Dendam hanya akan membawa kehancuran bagi dirimu sendiri. Jika kau tetap melanjutkan ini, kau tidak akan pernah menemukan kedamaian," ujar pria tua itu.

Pria berjubah hitam terdiam, tampak bergumul dengan perasaannya sendiri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menghela napas panjang dan menghilang dalam kabut malam.

Sima dan Melati hanya bisa terdiam. Mereka selamat, tetapi apa yang baru saja terjadi masih menjadi misteri. Siapa pria tua itu? Dan apa maksud dari semua ini?

Malam itu, pertarungan usai, namun mereka tahu bahwa ini belum akhir dari perjalanan mereka. Pria berjubah hitam mungkin akan kembali, dan rahasia masa lalu leluhur mereka perlahan-lahan mulai terungkap...

***

"Biyung, aku akan pergi meninggalkan pesisir utara ini," kata Sima sambil memeluk kedua ibunya, Dewi Arum dan Ningrum Sari.

"Aku pun ikut menemani Kakang Sima, Biyung." Kini Melati pun bergantian memeluk kedua ibunya.

"Jaga, diri kalian anak-anakku," kata Dewi sambil tersenyum penuh kebanggaan kepada putra dan putrinya itu.

"Berhati-hatilah Sima, dan jaga baik-baik adikku, Melati," kata Nimgrum Sari sambil mengusap-mengusap kepala Sima dan Melati penuh dengan kasih sayang.

Pagi yang cerah menyambut lembah Gunung Merapi. Kabut tipis yang biasanya menyelimuti lereng kini terangkat, memperlihatkan pemandangan yang megah. Di satu sisi lembah, Sima Kelantara, si Pendekar Sinting, berjalan dengan langkah santai. Sesekali ia bersiul sembari melompat-lompat kecil. Penampilannya selalu mengundang tawa—pakaiannya yang lusuh, sandal sebelah hilang, dan rambut acak-acakan seperti baru saja bangun tidur. Meskipun tampak konyol, Sima dikenal sebagai pendekar yang sangat sakti, bahkan lawan-lawannya sulit menebak kapan dia serius atau sedang bercanda.

Di belakangnya, Dewi Melati yang berjalan dengan anggun sambil menggulung rambutnya, merasa kesal.

"Kakang, bisakah kau sedikit lebih normal?" Melati mendesis, tangannya terlipat di depan dada.

"Heh? Apa maksudmu, Melati? Aku ini sempurna!" Sima tertawa lebar, sambil memainkan ranting kayu yang ia temukan di jalan, berpura-pura seperti sedang bertarung melawan musuh khayalan.

"Normal?! Kakang Sima dan normal itu seperti langit dan bumi!" Sahut seorang pria berbadan besar yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan. Pria itu bernama, Kakang Gembul, seorang pendekar tambun yang juga teman lama Sima. Gembul dikenal karena perutnya yang selalu lapar dan tak kenal kenyang, namun ilmunya tak kalah hebat. Meski badannya gemuk, gerakannya cepat bak kijang.

sumber cerita

Jangan lupa baca yaa... GRATIS!
emoticon-shakehand 2emoticon-Hammer2 emoticon-2 Jempol
Diubah oleh salim357 04-11-2024 17:36
0
19
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan