Kaskus

Story

celoteh.singkatAvatar border
TS
celoteh.singkat
Haru no Kaze
Haru no Kaze

Mekarnya Sakura mungkin adalah pertanda kebahagiaan bagi kita berdua. Entah ini mungkin hanya berlaku bagi kita berdua atau memang orang-orang Jepang menganggapnya seperti itu. Bunga ini jugalah yang jadi pertanda kesedihan bagi kita, tapi lagi-lagi Sakura menjadi ujung penantian kebahagiaan kita. Dan disinilah kita, memulai, berjuang dan mengakhiri hubungan dengan sebuah ikatan suci pernikahan.


Satu


Langit malam kota Kyoto bertabur putihnya salju, tahun ini menjadi lebih dingin dari tahun-tahun yang sudah terlewati.


“Samui…”


Lelaki itu bergumam, giginya menggertak dia sangat kedinginan. Tahun ini menjadi begitu kelabu, pada dasarnya dia tidak menyukai musim dingin, ditambah ini adalah momen terberat baginya. Segala macam benturan permasalahan membuatnya merasa lelah. Jika bukan karena keluarga mungkin dia sudah gila dibuatnya.


“Sial..”


Udara yang semakin dingin membuatnya begitu kesal. Dia berjalan gontai menuju tempat tinggalnya sambil sesekali menghembuskan nafas yang bercampur asap tembakau.


“Dari mana saja kamu ?”


Lelaki itu tidak menjawab, dia hanya berlalu. Seperti hembusan angin musim dingin yang perlahan berlalu. Meski begitu si penanya tidak kesal, dia sangat tahu penyebabnya.


Malam ini telah selesai baginya, dia hanya ingin melupakan semua sesak di dada, semua rasa lelah yang berkecamuk di seluruh rongga tubuhnya. Dia memejamkan matanya, menunggu pagi datang, membiaskan semua kenangan buruk yang sudah terjadi.


Sulit baginya memejamkan mata, dia bahkan mengingat kembali saat ponselnya berbunyi seminggu yang lalu, panggilan suara dari sang Mama.

“Sudah saatnya kamu pulang Ken !”


“Hmm, tidakkah Mama bersedia memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya disini. Lagipula aku sudah lebih bahagia disini.”


“Ken, lebih baik bersama Mama dan Papa sekarang.”


“Baiklah”


Kenichi Al Faruq


~ Pagi Hari ~


Pagi itu, meski pikirannya masih bercampur aduk, Kenichi memutuskan untuk membantu Yoshiki dan Ayame menyiapkan bahan-bahan untuk kedai ramen. Ini sudah menjadi rutinitasnya, namun kali ini terasa berbeda, seolah-olah setiap gerakan tangannya lebih berat karena beban pikiran yang tak kunjung hilang.
Ken mulai dengan merapikan meja kerja di dapur, lalu mengambil beberapa sayuran segar dari lemari es. Saat dia memotong wortel dan daun bawang, Yoshiki berdiri di sebelahnya, mengiris daging dengan ketelitian yang luar biasa. Suara pisau yang beradu dengan talenan adalah satu-satunya yang terdengar selama beberapa saat.

“Jadi, kapan rencananya kamu akan membicarakan ini lebih lanjut dengan orang tuamu ?” tanya Yoshiki, akhirnya memecah keheningan. Tatapan Yoshiki tetap terfokus pada irisan daging di depannya.

Ken berhenti sejenak, menatap sayuran yang sudah hampir selesai dipotongnya. “Aku belum tahu, Paman. Aku belum siap.”

Yoshiki mengangguk pelan, tidak memaksakan jawabannya. "Aku paham. Tapi cepat atau lambat, kamu harus membuat keputusan."

Sementara itu, Ayame yang berada di sisi lain dapur, sedang meracik kaldu ramen. Dia menoleh ke arah Kenichi dengan senyumnya yang lembut, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya. “Ken-Chan, kamu tahu kami sangat peduli padamu. Apapun keputusanmu nanti, kami tetap disini untuk mendukungmu. Tapi yang terpenting, pikirkan baik-baik masa depanmu.”

Kenichi menghela napas, mencoba meredakan rasa sesaknya. "Aku tahu, Bibi. Tapi, aku merasa seperti gagal."

Ayame meletakkan sendok besar yang dia gunakan untuk mengaduk kaldu, lalu menghampiri Ken dan meletakkan tangan di pundaknya. “Gagal itu bagian dari proses belajar, Ken-Chan. Tidak ada yang sempurna. Yang terpenting kamu mau bangkit dan terus mencoba. Kami tahu kamu mampu.”

Ken menatap Bibinya itu, mencoba menelan kata-katanya. Ada kenyamanan di sana, tapi juga sebuah dorongan halus yang membuatnya berpikir lebih jauh tentang apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hidupnya.

Setelah beberapa menit dalam keheningan lagi, Yoshiki menghela napas panjang. "Hari ini sepertinya kita akan sibuk. Mungkin cuaca dingin membuat orang-orang ingin semangkuk ramen." Dia melirik Ken dengan senyuman tipis. “Kau masih ingat cara melayani pelanggan dengan baik, kan?”

Ken tersenyum kecil, mencoba melepaskan sedikit ketegangan. "Tentu saja. Aku tidak lupa."

Meski beban pikiran masih berat, setidaknya Ken merasa sedikit lebih ringan di antara orang-orang yang selalu mendukungnya. Sementara salju terus turun di luar, aroma ramen yang sedang dimasak mulai memenuhi udara, menandai awal hari yang penuh tantangan namun juga penuh harapan.

Hari itu Ken habiskan di kedai ramen. Ken mengingat saat masih sekolah dasar dirinya tidak bisa membantu Paman dan Bibinya, lalu dengan telaten keduanya mengajari Ken bagaimana cara membuat ramen serta melayani pelanggan. Sejak 5 tahun lalu Yoshiki memutuskan hanya menjual ramen halal, kedainya jadi bertambah ramai.

Setelah selesai dengan urusan kedai, Ken kembali ke kamarnya, bersih-bersih lalu merebahkan tubuhnya di futon. Kenichi memberanikan diri untuk mengirim chat ke Mama nya bahwa dia sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Setelah itu dia membuka aplikasi Line, menulis pesan ke group yang berisi Yuki dan Kaito, sahabatnya. Mereka ingin menghabiskan waktu bersama Kenichi sebelum lelaki itu benar-benar meninggalkan Jepang.

Malam bertambah dingin, dia sudah menyalakan penghangat juga sudah memakai pakaian hangat, ditambah selimut tebal, dia benar-benar membenci musim dingin. Ken menaruh ponselnya di nakas, dia mencoba masuk ke alam mimpi secepatnya.
.
.
Pagi ini seperti yang dijanjikan, Kenichi, Yuki, dan Kaito memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil di dekat Gion. Kafe itu terkenal dengan suasana tradisional Jepang yang tenang, tepat di tengah hiruk pikuk kota Kyoto. Ketiganya duduk di dekat jendela, memandang keluar pada jalanan yang sebentar lagi mungkin akan dipenuhi oleh salju.

"Jadi, Ken-Chan.."Kaito mulai sambil menyeruput kopinya, "Bagaimana apakah sudah 100% siap ?"
Kenichi menyesap kopinya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kurasa bukan tentang siap atau tidak, tapi inilah yang terbaik saat ini. Sudah terlalu banyak yang terjadi di sini."

Yuki menatap Ken dengan tatapan serius. "Haruna, kah?" tanyanya hati-hati.

Ken terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya salah satunya, akan butuh waktu lebih banyak untuk memperbaiki semuanya."

Kaito menepuk bahu Ken dengan lembut. "Aku mengerti Ken-chan, kami pasti akan merindukanmu kawan."

Yuki mengangguk setuju. "Yosh, bersiaplah Ken-Chan, selama satu minggu kita akan menjelajah Kyoto seperti para turis !"

Hari Pertama: Kuil Fushimi Inari dan Jalanan Gion

Pagi hari di Fushimi Inari terasa dingin,  musim dingin masih menyelimuti Kyoto. Kenichi, Yuki, dan Kaito menaiki tangga yang dikelilingi ribuan torii merah yang membentang sepanjang jalan menuju kuil. Mereka bertiga berlari seperti anak kecil, saling tertawa dan sesekali bercanda.

"Kau masih ingat waktu kita kabur dari latihan klub sepak bola ke sini dulu?" Kaito tertawa, sambil melirik Yuki.

Yuki ikut menimpali sambil tertawa. "Dan akhirnya kita kena hukuman lari keliling lapangan, sampai Ken-Chan waktu itu hampir menangis haha."

Kenichi tersenyum tipis, mengingat masa itu. "Aku hanya tidak suka lari tanpa alasan," jawabnya sambil menendang salju tipis di jalan.

Saat mereka sampai di puncak, Kenichi berhenti sejenak, memandang ke arah kota Kyoto dari kejauhan. Ada perasaan campur aduk di hatinya. Kota ini adalah tempat semua kenangan manis dan pahit bercampur. Setiap sudutnya mengingatkannya pada Haruna, terutama di kuil ini, tempat mereka pernah berjalan bersama, bergandengan tangan, penuh senyuman. Kini, hanya bayangan yang tersisa.

"Kau memikirkan Haruna, ya?" tanya Yuki dengan hati-hati, melihat perubahan raut wajah Kenichi.

Kenichi hanya mengangguk pelan. "Ya, aku tak bisa menghilangkan semua kenangan itu begitu saja."

Yuki dan Kaito saling bertukar pandang, tahu bahwa luka Kenichi masih belum sembuh sepenuhnya. Tapi mereka juga tahu, ini adalah langkah awal baginya untuk benar-benar melanjutkan hidup.

Malam harinya, mereka berjalan-jalan di distrik Gion yang dipenuhi lampion-lampion tradisional. Suasana hangat kedai-kedai teh dan restoran menambah keindahan malam. Mereka mampir ke sebuah kedai teh kecil milik Saito, di mana aroma teh hijau yang harum mengalir ke tenggorokan mereka.

“Ken, ingat waktu kita dulu datang ke sini dengan Haruna?” tanya Kaito, membangkitkan kenangan.
Kenichi menatap ke luar jendela, “Ya. Kami sering berjalan-jalan di jalanan kuno ini, menikmati kebersamaan.”

Saat mereka selesai minum, Kenichi tidak bisa menahan senyumnya saat mengenang tawa Haruna. “Dia selalu membuatku tertawa, bahkan saat aku sedang stres dengan ujian,” katanya pelan.

Mereka berjalan di sepanjang jalan, kenangan akan Haruna menyertai setiap langkahnya. Dia merenung, mengingat senyuman Haruna yang pernah menjadi cahaya hidupnya, tetapi kini berubah menjadi bayangan masa lalu yang sangat menyakitkan.


Hari Kedua: Arashiyama dan Hutan Bambu

Di Arashiyama, mereka menikmati keindahan hutan bambu yang tenang. Udara dingin tidak mengurangi pesona tempat itu. Saat berjalan di antara bambu yang menjulang tinggi, Yuki memulai percakapan ringan tentang rencana masa depan mereka.

“Aku masih belum yakin dengan pilihanku,” kata Yuki sambil memandangi deretan bambu. “Tapi, setidaknya aku yakin akan mencapainya.”

“Yuki, kau selalu meragukan dirimu sendiri,” kata Kaito. “Kau hanya perlu percaya bahwa apapun yang kau pilih, kau akan baik-baik saja.”

Kenichi mendengarkan percakapan itu dalam diam, namun pikirannya terus kembali ke masa-masa ketika dia dan Haruna sering berjalan di sini. Di bawah naungan bambu-bambu raksasa ini, dulu mereka saling berbagi rahasia dan mimpi. Sekarang, semuanya hanya tersisa sebagai kenangan pahit yang sulit untuk dilupakan.

“Ken-Chan?” Kaito menyadari keheningan Kenichi.

Kenichi tersenyum samar. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit mengenang masa lalu.”

Sore harinya, mereka duduk di pinggir sungai di Jembatan Togetsukyo, tempat Kenichi dan teman-temannya dulu sering nongkrong setelah pulang sekolah. Salju tipis mulai turun, dan ketiganya duduk diam, menikmati keheningan alam.

“Dulu kita sering bermain di sini,” kata Kenichi, mengenang. “Setiap sore, kami berbagi mimpi dan bercanda, terutama Haruna.”

“Momen-momen itu pasti sangat berharga,” kata Yuki. “Bukan hanya karena itu menyenangkan, tapi juga karena itu bagian dari diri kita.”

Hari Ketiga: Kuil Kiyomizu dan Pasar Nishiki

Saat mereka mencapai Kuil Kiyomizu-dera, suasana nostalgia menyelimuti hati Kenichi. Teras kuil itu memberikan pemandangan luas kota Kyoto yang tertutup salju. Kenichi ingat pernah berdiri di tempat ini bersama Haruna, saat mereka berbicara tentang masa depan dan impian mereka untuk kuliah di universitas yang sama.

“Ini tempat di mana kau pertama kali menyatakan cinta pada Haruna, kan?” tanya Kaito sambil tersenyum kecil.

Kenichi mengangguk, memandangi teras kuil itu. “Ya. Aku ingat dia tertawa dan bilang aku terlalu serius.”
Yuki menepuk pundak Kenichi. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita semua membuat keputusan yang salah di masa lalu.”

Kenichi tersenyum lemah. “Kurasa aku lebih takut mengingat bagaimana aku kehilangan dia. Bukan hanya sebagai kekasih, tapi sebagai teman.”

Setelah mengunjungi kuil, mereka berjalan-jalan di Pasar Nishiki. Aroma masakan Jepang memenuhi udara. Kaito, yang terkenal rakus, langsung memesan berbagai makanan. Mereka mencicipi takoyaki, dango, dan membeli beberapa oleh-oleh. Suasana pasar yang ramai setidaknya membuat Kenichi sedikit melupakan kesedihannya.

“Kau ingat saat Haruna mencoba memasak untukmu?” tanya Kaito.

Kenichi tertawa, “Dia membakar nasi dan kita berdua hanya bisa tertawa sambil memesan makanan dari luar.”

Hari Keempat: Kembali ke Sekolah Dasar

Hari keempat membawa mereka ke sekolah dasar, tempat Kenichi, Yuki, dan Kaito pertama kali bertemu. Aula besar yang dulu penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi. Ketiganya berdiri di sana, memandang lapangan tempat mereka dulu bermain sepak bola.

“Kau ingat waktu kita hampir menghancurkan jendela ruang guru?” Kaito tertawa terbahak-bahak.
Kenichi tertawa kecil. “Ya, dan kau lari lebih cepat dari siapapun karena takut dimarahi.”

Mereka berkeliling sekolah, melihat kelas-kelas lama dan mengingat guru-guru yang pernah mendidik mereka. Kenangan itu membuatnya tersenyum, betapa sulitnya dia beradaptasi lalu hidup berkelanjutan. Mungkin inilah satu-satunya tempat yang tidak berhubungan dengan Haruna.

To Be Continued....

Haloo, Celoteh Singkat here emoticon-Wowcantikemoticon-Wowcantik
Mohon maaf apabila banyak typo, jika berkenan boleh lah cendolnya emoticon-Cendol (S)emoticon-Cendol (S)

pulaukapokAvatar border
yanagi92055Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
262
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan